Misteri yang Belum Terpecahkan : Fakta dalam Sejarah “Pertumbuhan” Bumi Kreasionisme vs Teori Evolusi

Fu Yao

Belakangan ini kita telah membahas banyak ramalan, juga membahas tidak sedikit bencana. Ledakan gunung berapi, gempa besar, berbaliknya kutub magnet bumi, komet menabrak bumi, dan lain sebagainya. Ada yang mengatakan, jika semua ramalan itu menjadi kenyataan, maka kita sekarang tengah memasuki lagi semacam era kepunahan massal spesies.

Kepunahan Massal Spesies

Faktanya dalam kehidupan bumi yang begitu panjang, bumi telah mengalami tidak hanya satu kali krisis seperti ini. Kalangan ilmu pengetahuan beranggapan, selama 500 juta tahun terakhir, peristiwa kepunahan spesies dalam skala besar di bumi telah terjadi setidaknya lima kali, yang mengakibatkan 75% hingga 90% spesies di bumi musnah dalam sekejap. Kepunahan dinosaurus pada 66 juta tahun silam adalah kali terakhir yang terdekat dengan kita.

Bagaimana dinosaurus itu punah? Rata-rata kalangan ilmiah kini beranggapan, adalah akibat adanya sebuah asteroid yang menabrak bumi. Setelah tertabrak dengan begitu kerasnya, bumi mulai “berdarah”, dan sejumlah besar lava dan magma pun menyembur keluar, abu yang sangat tebal telah memblokade sinar matahari, suhu di bumi pun turun secara drastis, mahluk hidup tidak mampu bertahan hidup, mulailah terjadi kepunahan secara luas.

Akibat adanya sebuah asteroid yang menabrak bumi, dan setelah tertabrak, abu yang sangat tebal telah memblokir sinar matahari, suhu di bumi pun turun drastis, mahluk hidup termasuk dinosaurus tidak mampu bertahan hidup, mulailah terjadi kepunahan secara luas. (Shutterstock)

Lalu bagaimana dengan empat kali kepunahan massal sebelumnya? Kepunahan yang pertama terjadi sekitar 400 juta tahun silam, penyebab langsungnya adalah sebuah supernova meledak. Setelah meledak memancarkan sinar Gamma yang menghancurkan lapisan ozon bumi, akibatnya sinar ultraviolet dari matahari langsung menerpa bumi, dan menyebabkan hampir seluruh mahluk hidup di bumi terpanggang sampai mati.

Sekitar 100 juta tahun kemudian, bumi kembali dipenuhi kehidupan, tanaman mulai tumbuh subur. Akan tetapi, karena tumbuhan terlalu banyak, muncul lagi masalah lain, yakni kandungan oksigen di atmosfir bertambah banyak, sementara karbondioksida berkurang drastis, akibatnya bumi menjadi dingin, dan memasuki periode zaman es, banyak mahluk hidup mati membeku, lagi-lagi telah terjadi kepunahan massal berikutnya.

Berlalu lagi 100 juta tahun, atau sekitar 250 juta tahun silam, lava di bawah permukaan Siberia mendadak menyembur keluar dalam skala luas, yang mengakibatkan hampir seluruh mahluk hidup di lautan dan 70% mahluk hidup di daratan punah. Ini juga merupakan peristiwa kepunahan spesies berskala terbesar di muka bumi, pada era tersebut trilobita yang waktu itu menguasai bumi, seperti dinosaurus, punah seluruhnya.

Kemudian berlalu lagi sekitar 50 juta tahun silam terjadi sekali lagi peristiwa kepunahan massal. Kali ini alasannya tidak jelas, namun dalam sekejap memusnahkan lawan-lawan dari dinosaurus di muka bumi. Setelah itu perkembangan dinosaurus sangat pesat, kemudian mereka menguasai bumi. Tapi seperti yang kita sebutkan di paling awal bahwa pada akhirnya dinosaurus pun tidak luput dari takdir kepunahannya.

Katastrofisme

Sampai disini, ada yang mungkin bertanya, yang dijelaskan disini sepertinya sesuatu yang nyata, tetapi peristiwa ratusan juta tahun silam, bagaimana manusia modern bisa mengetahuinya dengan begitu jelas? Para ilmuwan mengatakan, kami mempunyai fosil. Coba Anda lihat, fosil dinosaurus yang dapat ditemukan saat ini adalah dari 66 juta tahun silam, sementara fosil Trilobita, tidak bisa ditemukan lagi setelah 260 juta tahun silam. Masih ada fosil berbagai jenis mahluk prasejarah telah menjelaskan bumi adalah melalui sekali demi sekali peristiwa kepunahan yang berlangsung hingga hari ini. Menurut perkiraan, sejak bumi dilahirkan, mahluk hidup yang pernah muncul lalu mengalami kepunahan mencapai lebih dari 98%.

Baron Georges Cuvier (1769-1832), adalah fans berat katostrofisme. Ia mengemukakan, setiap suatu kurun waktu tertentu bumi akan mengalami bencana besar, dan bencana yang terakhir telah tercatat dalam “Kitab Kejadian” pada Alkitab. Itulah bencana air bah. (public domain by wikipedia)

Kemudian berdasarkan landasan ini, ada ahli geologi yang lantas mengemukakan teori “katastrofisme”, yang beranggapan bahwa sejarah bumi mengalami siklus yang berulang, dan pernah terjadi berulang kali bencana besar, setiap kali dalam bencana, spesies lama punah, kemudian tercipta lagi spesies baru.

Maka, siapakah yang menimbulkan bencana-bencara tersebut, lalu siapakah yang menciptakan spesies baru? Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab oleh ilmu pengetahuan. Jadi ada ilmuwan yang menentang pandangan ini, perubahan bumi berasal dari partikel-partikel kecil yang terakumulasi dalam jangka waktu panjang, kesemuanya terjadi setahap demi setahap, tidak ada bencana yang terjadi mendadak. Inilah yang disebut “gradualisme”. Kemudian “gradualisme” memberi pondasi teori bagi “teori evolusi”.

 Ratusan tahun terakhir, di dunia geologi, perdebatan antara “gradualisme” dengan “katastrofisme” tidak pernah berhenti. Pertanyaan yang sangat besar adalah tentang spesies. Sebenarnya spesies baru itu telah diciptakan, atau muncul karena sintasan yang paling layak dalam jangka waktu panjang dan berevolusi?

Kisah Seekor Gajah

Kemudian “bapak paleontologi” yang merupakan naturalis asal Prancis yakni Georges Cuvier pun tampil dan mengatakan, kalian tidak usah bertengkar, satu jenis spesies tidak mungkin berevolusi menjadi jenis spesies yang lain, dan suatu jenis spesies yang telah terbentuk tidak akan berubah lagi.

Tahun 1796, ia menulis sebuah tesis, yang mengisahkan cerita tentang seekor gajah judulnya “Mémoires sur les espèces d’éléphants vivants et fossils” yang terbit pada 1800. Dalam tesis itu ia menjelaskan bahwa ia telah menganalisa tulang pada gajah Asia dan gajah Afrika, lalu memperoleh kesimpulan, keduanya bukan satu spesies. Dengan kata lain, kedua jenis gajah itu walaupun sangat mirip, tapi mereka bukan kerabat. Dalam tesisnya Cuvier juga telah menganalisa tulang belulang mamut si gajah Siberia yang telah punah pada 3.700 tahun yang lalu. Mamut itu walaupun juga memiliki belalai panjang dan gading besar seperti gajah, tapi menurut Cuvier, lewat analisa terhadap fosilnya, mamut juga merupakan suatu spesies yang independen, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan gajah Asia maupun gajah Afrika.

Demi membuktikan teorinya tentang spesies tidak berubah, ia telah mulai meneliti mumi. Ia pernah menjadi anggota Komite Kerajaan Napoleon, hubungan keduanya cukup baik. Ketika Napoleon menaklukkan Mesir, telah dibawanya beberapa sosok mumi sebagai hasil pampasan perang. Cuvier pun memintanya untuk diteliti. Setelah diteliti ia menemukan bahwa para mahluk hidup ribuan tahun silam tidak berbeda dengan mahluk hidup di zaman sekarang.

Namun suara yang menentangnya pun muncul dengan cepat. Mereka mengatakan, dibandingkan dengan sejarah bumi yang telah mencapai milyaran tahun, apalah artinya waktu yang hanya ribuan tahun itu? Evolusi spesies harus melalui waktu jutaan tahun agar bisa terlihat. Cuvier pun tidak mau kalah, ia mengatakan dari pengalaman penelitian fosil yang kaya ia menjelaskan, fosil sejenis mahluk hidup biasanya tidak akan perlahan berubah menjadi fosil mahluk hidup jenis lain. Dalam kesimpulan tesisnya Cuvier mengatakan, “Seluruh fakta ini mengarah pada satu kesimpulan. Yang tidak terbantahkan adalah, dunia kita sebelumnya telah dihancurkan oleh semacam bencana.”

Tesis ini kemudian juga menjadi tonggak sejarah bagi ilmu paleontologi. Faktanya seumur hidupnya Cuvier terus menentang teori evolusi. Disini juga dijelaskan, walaupun kita semua tahu teori evolusi dikemukakan oleh Darwin, tapi teori yang mengatakan bahwa spesies akan berevolusi seiring dengan berjalannya waktu sudah dikemukakan oleh ilmuwan sejak abad ke-17. Cuvier sangat menentang teori evolusi semacam ini, ia adalah fans berat katostrofisme. Ia mengemukakan, setiap suatu kurun waktu tertentu bumi akan mengalami bencana besar, dan bencana yang terakhir telah tercatat dalam “Kitab Kejadian” pada Alkitab. Itulah bencana air bah.

Sayangnya Cuvier meninggal dunia pada 1832, dan 27 tahun kemudian “On the Origin of Species” karya Darwin pun muncul, teori evolusi mulai menguasai dunia ilmu pengetahuan, “katastrofisme” pun perlahan mulai dilupakan. Akan tetapi hingga abad ke-20, seorang tokoh legendaris muncul, pembicaraan tentang katostrofisme pun kembali hadir dalam wawasan orang banyak. Dia adalah seorang geolog asal AS yakni J. Harlen Bretz (1882-1981). Dimanakah letak legenda Bretz? Ia telah membuktikan keberadaan bencana air bah tersebut.

Mengungkap “Tanah Keropeng

Yang menarik perhatian Bretz adalah dataran tinggi Kolumbia di timur Negara Bagian Washington, AS. Dataran tinggi yang luas itu terdapat ratusan air terjun yang mengering (Dry Falls). Di sebuah air terjun kering di daerah gurun pada bagian tengah, jika terdapat air, maka besarnya akan mencapai 10 kali lipat air terjun Niagara. Tak hanya itu, di lahan ini terdapat ngarai kering yang aneh, tumpukan batu kerikil yang setinggi gedung pencakar langit, sebuah lubang raksasa yang mampu menampung sebuah kota, dan berbagai benda-benda aneh lainnya. Terutama di bagian tenggara Negara Bagian Washington, dan lahan pertanian dengan ngarai seolah dihancurkan lalu disatukan kembali, para petani setempat menyebutnya “Channeled Scablands (tanah gersang keropeng yang dilintasi kanal-kanal. Red.)”. Bagi ahli geologi, keberadaan scablands ini ibarat sebuah misteri.

Gambar: Detail karya Michelangelo “The Deluge”, yang dilukis di Kapel Sistine di Vatikan. (Area publik)

Tahun 1909, seorang guru SMA berusia 27 tahun yang bernama Bretz itu pergi ke University of Washington untuk melihat peta Columbia Plateau, dan didapati di sisi barat Quincy Basin terdapat sebuah air terjun kering raksasa, apabila dengan kondisi normal, airnya akan mengalir ke dalam sebuah ngarai yang dalamnya mencapai ratusan kaki, di bawah ngarai itu adalah Sungai Columbia. Dari mana asalnya begitu banyak air di dataran tinggi, bagaimana pula air terjun kering terbentuk di masa itu?

Bretz pun bertanya pada seorang guru yang berada di sampingnya waktu itu, tapi guru itu menjawab tidak tahu. Demi mengungkap misteri itu, Bretz memutuskan untuk berpindah jurusan dan mendalami geologi lalu ia mengambil gelar doktor dalam ilmu geologi di University of Chicago. Tahun 1922 studinya lancar dan ia lulus serta kembali ke Washington, kemudian mulai menelusuri dataran tinggi yang misterius itu. Selama lebih dari setengah tahun eksplorasi, ia memperoleh kesimpulan yang sekaligus mencengangkan dirinya sendiri, yaitu bencana air bah berskala besar yang langka dalam sejarah bumi itu pernah melanda seluruh dataran tinggi Kolumbia, merobek lapisan tanah serta bebatuan di sana waktu itu, dan dalam tempo beberapa hari telah mengukir sejumlah ngarai dan air terjun tersebut.

Tahun 1923 Bretz mempublikasikan tesis tersebut bahwa hanya air bah-lah yang merupakan satu-satunya penjelasan bagi air terjun kering itu. Juga hanya air bah yang bersifat bencana dan ganas itu yang mampu menciptakan fitur geografis seperti “channeled scablands” tersebut.

Ia pun mengeluarkan selembar peta terperinci yang digambarnya sendiri, hasil gambarnya itu sangat akurat. Peta itu menunjukkan parit dan jalur sungai yang terbentuk pasca dataran tinggi itu disapu air bah. Ia berkata, jalur sungai ini hanya bisa terukir dengan air bah berkecepatan tinggi dan dahsyat. Tapi jika benar ada air bah sehebat itu, mengapa hanya dataran tinggi Kolumbia yang berkontur tanah seperti itu, dan tidak terjadi pada tempat-tempat lain? Bretz berkata, itu dikarenakan batuan basal di dataran tinggi Kolumbia agak rapuh, satu kali air bah berskala besar sudah cukup untuk merobek bebatuan itu, dan dalam semalam terbentuklah sebuah ngarai besar. 

Sayangnya tak lama setelah teori air bah tersebut dikemukakan Bretz, langsung dibantah oleh kalangan ilmu geologi. Karena teorinya ini membuat orang teringat akan kisah Nabi Nuh dalam “Alkitab”. Apakah kisah Tuhan menciptakan manusia adalah fakta? Tidak, ini adalah hal yang tak mungkin diakui oleh dunia ilmu pengetahuan.

Tahun 1927, Bretz pernah berpeluang meyakinkan para tokoh berpengaruh di kalangan geolog AS. Waktu itu, mereka mengundang Bretz untuk berpidato di Washington DC. Dalam pidatonya di hadapan para ahli itu Bretz mensimulasikan bagaimana suatu air bah berskala besar menerjang kawasan Kanada dan Amerika Utara, lalu berkumpul di tengah sebuah danau sementara, kemudian seperti air di bak mandi yang meluap dan menyapu dataran tinggi Kolumbia. Maka bagaimana banjir bandang itu terjadi? Bretz tidak bisa menjawabnya. Maka para tokoh berpengaruh tersebut lantas mengatakan, Anda tidak bisa meyakinkan kami. Sehingga teori air bah Bretz itu pun dikesampingkan.

Air Bah Prasejarah

Untungnya, sesampainya pada era 1940-an, seorang ahli geologi lain di luar dugaan telah membantu Bretz. Ia bernama Joseph Pardee. Pada 18 Juni 1940, dalam suatu repat di Seattle, Pardee menyampaikan tesisnya yang menjelaskan, sekitar 18.000 hingga 13.000 tahun silam, pada akhir periode zaman es, seiring dengan menghangatnya iklim, level air di danau glasial Missoula, negara bagian Montana, mulai meningkat dan akhirnya mengakibatkan bendungan es setinggi 2.000 kaki ambruk, dan air dengan volume sekitar 500 kubik mil menerjang keluar dengan cepat. Padahal satu-satunya jalur keluar bagi air tersebut hanya tanah di luarnya, yaitu dataran tinggi Kolumbia. Inilah air bah yang telah melanda dataran tinggi Kolumbia pada masa itu.

Setelah itu sejumlah ahli geologi lain juga berturut-turut mendapati banyak bukti terkait air bah tersebut. Sementara Bretz sendiri juga terus berupaya, selama 30 tahun kemudian terus mempublikasikan sampai 30 tesis untuk mendukung teorinya. Akhirnya mulai ada perubahan pada 1965,. International Association for Quaternary Research menggelar pertemuan di negara bagian Kolorado, bahkan secara khusus mengajak para pesertanya untuk meneliti dataran tinggi Kolumbia. Walaupun Bretz yang kala itu telah berusia lebih dari 80 tahun tidak ikut serta, tapi hari kedua organisasi tersebut mengirim telegram kepadanya yang mengatakan “Sekarang kami semua adalah penganut katastrofisme”.

Tahun 1972, badan antariksa AS yakni NASA telah mempublikasikan foto satelit berwarna yang pertama, di foto tersebut terlihat jelas parit seperti bekas luka pada dataran tinggi Kolumbia, yang sama persis dengan peta yang dilukis dengan tangan oleh Bretz pada 1920-an. Dengan demikian, gemparlah seluruh kalangan geologi.

7 tahun kemudian, yakni pada 1979, upaya keras Bretz yang telah berusia 96 tahun itu berhasil menantikan suatu akhir yang sempurna. The Geological Society of America menganugerahkan penghargaan tertinggi asosiasi tersebut kepadanya, yakni penghargaan medali Penrose GSA. Dalam pidato penganugerahan dikatakan, walaupun teori air bah Bretz selalu terdapat kontroversi, namun foto dari NASA “telah memberikan bukti yang jelas akan ruang lingkup dan karakter bencana prasejarah ini”.

Sejak saat itu, Bretz pun menjadi orang yang dipandang menghormati fakta, menentang dogmatisme, seorang yang visioner, dan dijuluki sebagai “bapak neokatastrofisme”. Ada yang mengatakan, warisannya bagi dunia, mungkin tidak hanya semacam teori, tapi juga keberanian dan sikap yang harus dimiliki oleh seorang pekerja sains sejati saat menghadapi keraguan. (Sud/whs)