Sup Ular di Hong Kong Kian Menghilang, Namun Masih Dimasak di Dapur Berusia Puluhan Tahun

EtIndonesia. Saat Hong Kong bersiap menyambut Tahun Ular pada hari Rabu (29/1), Chau Ka-ling dengan cekatan memegang seekor ular hidup di restorannya yang telah berdiri selama puluhan tahun, seolah-olah sedang menggendong hewan peliharaan.

Sebagai salah satu penjaga terakhir industri sup ular tradisional di kota itu, Chau masih menyimpan tiga ekor ular hidup untuk sesekali dipamerkan dalam laci kayu yang dulunya dipenuhi lebih banyak ular untuk dimasak.

Hidangan yang telah lama dihargai dalam budaya Tiongkok selatan karena dipercaya dapat menghangatkan tubuh di musim dingin ini kini semakin langka.

Didirikan oleh ayah Chau pada tahun 1960-an, restoran Shia Wong Hip dulunya menyembelih ular hidup untuk diolah menjadi hidangan. Dalam bahasa Kanton, “Shia Wong” berarti “Raja Ular”.

Di bawah bimbingan ayahnya, Chau belajar menangkap dan menyembelih ular serta membuat sup, hingga akhirnya dikenal sebagai “Ratu Ular” di Hong Kong.

Sebuah foto koran yang dipajang di dinding restoran mengabadikan keberhasilannya menangkap ular kobra raja berbisa sepanjang lebih dari 2 meter pada tahun 1997 di kantor polisi maritim pedesaan Hong Kong atas permintaan pihak berwenang.

Namun, restoran ini—seperti kebanyakan kedai sup ular lainnya di kota—beralih menggunakan daging ular beku dari Asia Tenggara setelah wabah SARS pada tahun 2003 yang menewaskan 299 orang di Hong Kong. Para ilmuwan menghubungkan asal-usul virus tersebut dengan satwa liar.

Tulang ular kemudian direbus bersama tulang ayam dan babi selama setidaknya enam jam untuk membuat kaldu dasar.

Selanjutnya, kaldu ini direbus kembali dengan daging ular, ayam suwir, ham, jamur, dan kulit jeruk mandarin sebelum akhirnya dikentalkan dengan tepung pati.

Saat semangkuk sup disajikan, pelanggan biasanya menambahkan daun lemon dan keripik renyah sebagai pelengkap.

Daging ular, yang memiliki tekstur mirip ayam setelah dimasak, kaya akan protein dan rendah lemak.

Selama musim dingin, Chau dapat menjual hingga 800 mangkuk sup per hari dengan harga berkisar antara 7 dolar hingga 11 dolar. Namun, angka ini turun drastis menjadi 100 mangkuk atau kurang di musim panas, ketika hidangan ini kurang diminati.

Sejumlah kedai sup ular telah tutup setelah pandemi COVID-19 dan karena para koki senior mulai pensiun, menyisakan hanya sekitar 20 kedai yang masih beroperasi.

Namun, Chau bertekad mempertahankan bisnisnya selama mungkin, meskipun dia pesimistis mengenai masa depan industri ini.

Dia bahkan berkata bahwa jika keponakannya ingin meneruskan usahanya, dia lebih menyarankan mereka untuk belajar membuat makanan penutup saja.

“Ini bukanlah industri yang menghasilkan banyak uang, jadi saya rasa tidak ada anak muda yang tertarik untuk terjun ke dalamnya,” ujarnya. (yn)

Sumber: nypost

FOKUS DUNIA

NEWS