Home Blog Page 1843

Gedung Putih Mengecam ‘Penggunaan Kekuatan yang Tak Tepat’ oleh Polisi Hong Kong Ketika Menangkap Ratusan Orang

0

Frank Fang – The Epochtimes

Gedung Putih mengkritik polisi Hong Kong setelah bentrok dengan pengunjuk rasa di Universitas Politeknik Hong Kong baru-baru ini. 

“Kami mengutuk penggunaan kekuatan yang tidak adil dan mendesak semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan dan terlibat dalam dialog yang konstruktif,” demikian diungkapkan seorang pejabat senior AS yang tidak disebutkan namanya dalam pemerintahan Presiden Trump, menurut laporan Reuters.

Pejabat itu menambahkan: “Seperti yang dikatakan Presiden, Amerika Serikat mengharapkan Beijing untuk menghormati komitmennya di bawah Deklarasi Bersama Tiongkok-Inggris dan untuk melindungi kebebasan, sistem hukum, dan jalan hidup demokratis Hong Kong.”

Bentrokan di Politeknik Hong Kong dimulai  pada Minggu 17 November dan berlangsung hingga matahari terbit pada Senin 18 November. Saat itu,  polisi menembakkan gas air mata, meriam air, dan mengerahkan alat sonik terhadap pengunjuk rasa yang melemparkan bom bensin dan menembakkan panah.

Perseteruan sengit antara kedua belah pihak adalah hasil dari pengunjuk rasa yang memblokir terowongan lintas-jalan dekat universitas. Langkah itu sebagai upaya menekan pemerintah Hong Kong untuk memenuhi lima tuntutan mereka, termasuk hak pilih universal.

Polisi menerobos pintu masuk utama universitas tempat para pemrotes menahan barikade darurat sekitar pukul 5:30 pagi waktu setempat. Polisi juga melakukan sejumlah penangkapan.

Polisi sejak itu melakukan penangkapan besar-besaran di daerah dekat Chichen Golden Plaza, yang berjarak sekitar 5 menit berjalan kaki dari  Politeknik Hong Kong. Media Hong Kong melaporkan bahwa polisi telah menangkap sedikitnya 100 orang. 

Beberapa dari mereka berusaha masuk ke universitas untuk mendukung aksi protes.

Polisi juga menangkap Lo Kin-hei, wakil ketua Partai Demokrat Hong Kong, dengan belasan lainnya dari Energy Plaza, yang berjarak sekitar 500 meter dari Politeknik Hong Kong

Di luar Hotel Icon, yang berjarak sekitar 3 menit berjalan kaki dari Politeknik Hong Kong, polisi menangkap setidaknya 40 orang, menurut media Hong Kong. Alasan penangkapan belum dikonfirmasi. 

Beberapa pemrotes yang ditangkap mengenakan pakaian hitam, yang telah digunakan  banyak pendemo sejak aksi protes dimulai pada Juni lalu.

Sebelumnya, media Hong Kong melaporkan bahwa masih ada sekitar 500 pemrotes yang terjebak di dalam Politeknik Hong Kong. Ketika mereka mencoba meninggalkan kampus, mereka dipaksa kembali oleh gas air mata dari polisi. Upaya pengunjuk rasa untuk meninggalkan Politeknik Hong Kong datang setelah pengumuman yang direkam sebelumnya oleh pimpinan Kampus Teng Jin-Guang sekitar pukul 7 pagi waktu setempat. 

Teng mengatakan bahwa dia telah mencapai kesepakatan dengan polisi untuk gencatan senjata dengan syarat bahwa pengunjuk rasa tidak melakukan penggunaan kekerasan.

 Teng Jin-Guang  juga mengklaim, memiliki izin dari polisi agar pengunjukrasa meninggalkan kampus dengan damai. Ia mengatakan, secara pribadi akan menemani pendemo ke kantor polisi, untuk memastikan bahwa kasus mereka akan diproses secara adil.

Sejak itu, petinggi kampus dikritik karena gagal menjaga mahasiswanya, termasuk dari presiden serikat mahasiswa Politeknik Hong Kong, Derek Liu.

Serikat mahasiswa Politeknik Hong Kong menyerukan kepada komunitas internasional untuk mengikuti aksi protes di kampusnya. Ia juga mendesak warga Hongkong lainnya untuk terus melakukan aksi mogok, ketika berbicara dengan siaran radio lokal pada pagi hari tanggal 18 November.

Dewan Demokrasi Hong Kong yang bermarkas di Washington, AS, menyerukan kepada Gedung Putih, Departemen Luar Negeri AS, dan para pemimpin di Kongres untuk bertemu dengan duta besar Tiongkok untuk Amerika Serikat, Cui Tiankai. Pertemuan itu menegaskan kepada Tiongkok, bahwa AS tidak akan mentolerir Pemerintah Hong Kong dan tindakan keras polisi terhadap warganya sendiri,” menurut cuitannya pada 17 November.

Front Hak Asasi Manusia Sipil atau Civil Human Rights Front, penyelenggara utama di belakang banyak pawai besar dalam beberapa bulan terakhir, mengeluarkan pernyataan di Facebook nya pada tengah malam pada 18 November. Seruannya mendesak kepolisian Hong Kong untuk berhenti menggunakan kekuatan hukum terhadap pengunjuk rasa.

Civil Human Rights Front juga mendesak komunitas internasional untuk bergabung dengan permohonan warga Hong Kong. Hal demikian untuk mengurangi kekerasan negara, dan mundurnya polisi anti huru hara dari kampus. 

Sejumlah anggota parlemen AS  menanggapi kekerasan di Politeknik Hong Kong.

Senator Josh Hawley  dalam cuitannya pada 17 November, mengutuk serangan polisi terhadap mahasiswa yang tidak berdaya, dengan mengatakan “Beijing mendorong Hong Kong ke dalam keadaan pengepungan.”

Anson Chan, mantan kepala sekretaris Hong Kong, mengatakan seperti dilansir RTHK bahwa Politeknik Hong Kong menghadapi “krisis kemanusiaan” dan mendesak pemimpin Hong Kong Carrie Lam untuk memerintahkan polisi untuk berhenti menggunakan senjata kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

Sebanyak 24 anggota parlemen dari kubu pro-demokrasi Hong Kong, dalam pernyataan bersama pada 18 November, mendesak polisi dan pengunjuk rasa di Politeknik Hong Kong  mengambil langkah mundur untuk mengurangi peningkatan krisis.

Pernyataan tersebut mendesak kepada Komunitas internasional  agar mengekang dan menghentikan kekerasan polisi di lingkungan kampus. (asr)


FOTO : Pada 19 November 2019, ketika ambulans meninggalkan Universitas Politeknik Hong Kong, polisi menangkap orang yang ingin pergi. Angka tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang ditangkap besar. (Yu Tianyou / Epoch Times)

Ingin Kendalikan Internet Mungkin adalah Alasan Nyata Penyerbuan Polisi ke Chinese University of Hong Kong

0

Tang Jingyuan

Polisi Hong Kong telah menyerbu beberapa universitas beberapa hari lalu. Polisi berusaha melakukan penangkapan, dan terlibat bentrok dengan mahasiswa yang mendirikan barikade untuk mempertahankan kampus. 

Secara khusus, Chinese University of Hong Kong (CUHK) tampaknya menjadi fokus utama polisi. Bahkan menjadi medan pertempuran literal. 

Melansir dari The Epochtimes, banyak mahasiswa Chinese University of Hong Kong  mencurigai bahwa tujuan sebenarnya dari kepolisian adalah untuk mengendalikan internet. Dikarena pusat internet Hong Kong yang menangani 99 persen lalu lintas internet kota ini, terletak di dalam kampus Chinese University of Hong Kong.  

Polisi telah menembakkan beberapa putaran gas air mata, peluru karet,bean bag rounds dan meriam air pada Selasa 12 November lalu. 

Mahasiswa kemudian membalasnya dengan melemparkan batu bata dan bom bensin ke polisi. 

Setidaknya 60 siswa terluka, beberapa dipukul di kepala. Seorang wartawan di tempat kejadian, juga terkena peluru karet di kepala dan kehilangan kesadaran, menurut laporan media setempat.

Bahkan Wakil Kanselir Chinese University of Hong Kong Rocky Tuan, yang mencoba bernegosiasi dengan polisi sebagai penjaga perdamaian, termasuk di antara mereka yang terkena dampak gas air mata.

Banyak yang bertanya-tanya mengapa polisi Hong Kong fokus pada Chinese University of Hong Kong, ketika hampir semua universitas di Hong Kong terlibat dalam protes anti-pemerintah. 

Terlebih lagi, polisi tampaknya sangat bertekad untuk mengambil kendali kampus. 

Muncul pertanyaan adakah yang unik dan spesial dengan Chinese University of Hong Kong? Jawabannya iya. 

Chinese University of Hong Kong adalah universitas tuan rumah Hong Kong Internet eXchange -HKIX-  sebuah pusat pertukaran internet Hong Kong.

HKIX adalah proyek kerja sama yang diprakarsai oleh Pusat Layanan Teknologi Informasi Chinese University of Hong Kong , yang menyediakan layanan gratis. Sekarang dioperasikan oleh HKIX Limited, anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Chinese University of Hong Kong  Foundation.

Fungsi HKIX adalah untuk menghubungkan penyedia layanan internet -ISP -di Hong Kong sehingga lalu lintas intra-Hong Kong dapat dipertukarkan secara lokal tanpa routing melalui Amerika Serikat atau negara lain. 

Sekitar 99 persen lalu lintas internet Hong Kong melewati pusat ini. Menurut Cloudflare, HKIX adalah titik pertukaran internet terbesar yang berada di Asia.

Banyak mahsiswa Chinese University of Hong Kong mencurigai bahwa polisi benar-benar mengejar HKIX.  Dikarenakan mengambil kendali HKIX, berarti Komunis Tiongkok dapat mematikan internet atau memantau komunikasi internet.

Berdasarkan situasi saat ini, otoritas Hong Kong lebih cenderung mengendalikan internet daripada mematikannya. Secara teori, setiap pesan yang melalui pusat HKIX dapat dicegat dan dipantau jika polisi mendapatkan akses ke pusat.

Tak perlu dikatakan, rezim komunis Tiongkok dan penguasa boneka Hong Kong mereka, memang memiliki motivasi untuk mengendalikan dan memantau internet.

 Bagi para pemimpin top Komunis Tiongkok, dengan cepat menumpas protes di Hong Kong sekarang menjadi tugas politik nomor satu, dibandingkan prioritas lebih tinggi daripada negosiasi perdagangan AS-Tiongkok.

Sebelumnya, seorang pejabat tinggi Hong Kong pro komunis Tiongkok, Ip Kwok-him pernah mengatakan pada sebuah program radio lokal pada Senin 7 Oktober, bahwa pemerintah sangat terbuka terhadap usulan pelarangan orang-orang mengakses internet, jika aksi protes terus berlanjut.

Ketika itu, Radio Komersial Hong Kong mengundang dua pejabat Hong Kong, Ip Kwok-him dan James To Kun-su. Mereka ketika itu berbincang dalam program pagi hari dengan tema “Mulailah pada Hari yang Cerah.” Mereka berbicara tentang dampak larangan penggunaan masker hingga menyinggung soal internet.

Ip Kwok-him  adalah anggota tidak resmi Dewan Eksekutif Hong Kong, sebuah organisasi mirip kabinet yang terdiri dari 16 anggota resmi dan 16 anggota tidak resmi yang menasihati pemimpin Hong Kong. Ia adalah delegasi lokal ke legislatif stempel rezim komunis Tiongkok, Kongres Rakyat Nasional. Sedangkan, James To Kun-su adalah seorang anggota parlemen dan pengacara pro-demokrasi lokal. (asr)

FOTO : Para pengunjuk rasa bereaksi setelah polisi menembakkan gas air mata di Universitas Cina Hong Kong (CUHK), di Hong Kong pada 12 November 2019. (Dale de la Rey / AFP via Getty Images)

Senator AS Mengutuk Serangan Pembakaran yang Menyasar Tempat Percetakan Koran Epoch Times Hong Kong

0

Eva Pu – The Epochtimes

Sejumlah senator Amerika Serikat,  pada 19 November mengutuk serangan pembakaran yang menyasar tempat percetakan koran Epoch Times edisi Hong Kong. Serangan tersebut adalah bagian dari “Gangguan” dan bukti terbaru bahwa rezim Komunis Tiongkok tidak akan menepati janjinya di Hong Kong.

Sejumlah anggota parlemen AS menyampaikan komentarnya pada Selasa petang segera setelah Senat AS dengan suara bulat mengesahkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong, yang akan menjadi pesan kuat bagi Beijing bahwa penindasan dan kekerasan bukan jawaban bagi rakyat Hong Kong. 

Demonstran telah turun ke jalan-jalan sejak Juni lalu untuk menentang meluasnya pengaruh Komunis Tiongkok, yang mana secara terus-menerus menekan kebebasan dasar rakyat Hong Kong.

Hong Kong diserahkan kepada pemerintahan Komunis Tiongkok pada tahun 1997 oleh Inggris, di bawah jaminan bahwa otonomi Hong Kong tetap dipertahankan.

Pada Selasa dini hari 19 November 2019, empat penyerang dengan mengenakan penutup wajah, dua di antaranya membawa tongkat serta membawa wadah berisi cairan yang mudah terbakar ke mesin percetakan The Epoch Times edisi Hong Kong. Para pelaku nampaknya menyamar seperti demonstran. Setelah menuangkan cairan ke lantai, mesin cetak, dan tumpukan kertas di dekatnya, para pelaku langsung membakarnya. 

Peristiwa itu diduga sebagai taktik intimidasi terbaru dari Komunis Tiongkok untuk mencegah  Epoch Times melaporkan topik-topik yang sensitif terhadap rezim Tiongkok.

Sebagai contoh menurut pernyataan resmi The Epoch Times yang berbunyi : “surat kabar itu telah berusaha keras untuk melaporkan situasi di sana kepada orang-orang Hong Kong dan dunia, dan telah berbicara untuk gerakan demokrasi Hong Kong.” 

Menanggapi insiden itu, Senator AS Josh Hawley menyebutnya “sangat mengganggu.”

“Setiap serangan terhadap kebebasan pers adalah serangan terhadap kebebasan yang dijanjikan kepada rakyat Hong Kong, ini merupakan serangan terhadap fungsi dasar demokrasi,” demikian menurut pernyataannya. 

Senator John Cornyn  mengatakan bahwa dia “tidak terkejut,” tetapi “sangat kecewa” melihat tindakan kejadian seperti itu. 

“Kebebasan pers adalah tugas pertama para tiran dan saya pikir itulah yang sebenarnya mereka coba lakukan,” katanya.

Senator Ben Cardin mengatakan bahwa api menandakan “kecenderungan yang sangat mengganggu” dan contoh dari apa yang berfungsi sebagai “dorongan” bagi dia dan rekan-rekannya di Senat untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang tersebut.

Dia melanjutkan dengan menyebutkan penindasan yang sedang berlangsung terhadap minoritas agama di Tiongkok, termasuk Muslim yang menunaikan agama dari etnis Uighur dan minoritas lain di wilayah barat laut Xinjiang, dan kebebasan berekspresi — yang mana semuanya berada di jalur yang salah di Tiongkok.”

“Hanya rezim totaliter yang takut dengan apa yang ditulis oleh pers,” demikian yang disampaikan oleh  Senator Bob Menendez. 

“Jika Anda memiliki kebenaran di pihak Anda, Anda tidak pernah takut dibaca oleh pers,” tambahnya. 

Senator Bob Menendez mengatakan, tindakan seperti itu  merupakan pelanggaran terhadap jenis hak dasar yang ia dukung di Amerika Serikat. 

Pembakaran tersebut telah merusak dua mesin cetak, empat gulungan kertas cetak, dan beberapa tumpukan koran di pabrik. Total kerugian akibat pembakaran tersebut masih dihitung. (asr)

Universitas-Universitas Australia Mengadopsi Pedoman untuk Menggagalkan Campur Tangan Asing

0

Reuters

Pemerintah Australia menetapkan pedoman terbaru pada 14 November untuk melawan kekuatan asing yang memberikan pengaruh di universitas-universitas negeri kangguru itu, di tengah meningkatnya kekhawatiran atas kegiatan Tiongkok.

Universitas-universitas yang berkomitmen pada kode baru ini akan berbagi intelijen dunia maya dengan badan-badan keamanan nasional, mengungkap mitra penelitian di luar negeri, dan membuat daftar transaksi keuangan dengan negara lain.

Menteri Pendidikan Australia, Dan Tehan kepada wartawan di Canberra setelah penerbitan pedoman tersebut mengatakan, ancaman campur tangan asing berada pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. 

Melansir dari Reuters yang dikutip oleh The Epochtimes, pemerintah Australia membentuk satuan tugas pejabat intelijen dan eksekutif universitas tahun ini untuk membuat aturan baru, di tengah serangkaian serangan siber yang menargetkan universitas dan kekhawatiran bahwa Komunis Tiongkok dapat memengaruhi penelitian dan mahasiswa.

Di masa depan, universitas akan mendeklarasikan transaksi keuangan asing dengan register yang sama digunakan oleh pelobi Australia untuk negara-negara asing, yang mana menyatakan diri mereka agen asing.

Pedoman tersebut juga meningkatkan persyaratan tentang universitas yang bermitra dengan negara asing dalam proyek penelitian. Kini, fasilitas pendidikan tinggi harus meninjau hak kekayaan intelektual dan mempertimbangkan apakah organisasi militer asing dapat mengambil manfaat dari setiap temuan.

Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton mengatakan pada bulan lalu Beijing menargetkan universitas-universitas nasional. Langkah tersebut memicu ketegangan dengan mitra dagang terbesar Australia.

Ditanya tentang kebijakan baru itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Komunis Tiongkok, Geng Shuang mengatakan urusan itu adalah internal Australia. 

Akan tetapi, Komunis Tiongkok berharap Australia dapat menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan dan non-diskriminasi dalam hal kerjasama pendidikan luar negeri.

Mahasiswa asing bernilai sekitar 35 miliar dolar Australia, setahun untuk ekonomi Australia. Pelajar dari Tiongkok daratan terhitung sekitar sepertiga dari jumlah itu dan Australia khawatir bahwa Tiongkok dapat menggunakan posisi tersebut untuk mendapatkan pengaruh atas universitas-universitasnya.

Namun demikian, komunis Tiongkok Beijing menuduh Australia mengadopsi “mentalitas Perang Dingin.

Hubungan antara Australia dan Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, tegang karena kekhawatiran Australia akan aktivitas Tiongkok, baik di Australia maupun di kawasan Pasifik.

Ketegangan antara kedua negara semakin diperburuk ketika intelijen Australia menyebut Tiongkok bertanggung jawab atas serangan siber di parlemen nasional dan tiga partai politik terbesar, sebelum pemilihan umum pada bulan Mei lalu. (asr)

Dua Orang Terinfeksi Wabah Maut Hitam di Beijing, Sumber Penyakit Menjadi Misteri

0

Li Xinru – Epochtimes.com

Pada Selasa (12/11/2019) Rumah Sakit Distrik Chaoyang Beijing mengonfirmasikan, dua pasien dari Mongolia Dalam terinfeksi “wabah pneumonia” atau black death atau maut hitam yang sangat menular. Angka kematian akibat wabah ini sangat tinggi. Akan tetapi informasi yang dibocorkan dokter ini telah dihapus. 

Sumber penyakit menjadi misteri, komunis Tiongkok kemudian memerintahkan diskusi skrining (deteksi dini dari suatu penyakit) dan pengendalian terkait plague/pes/sampar dan masyarakat dilanda kekhawatiran dengan wabah mematikan ini.

Kasus di Beijing Tersebar Luas di WeChat

Pada selasa 12 November lalu, kabar tentang kasus wabah di Rumah Sakit Chaoyang Beijing tersebar luas di WeChat. 

Kepala keluarga seorang siswa bermarga Li mengatakan di komunitas WeChat, agar tidak membawa anak-anak ke Rumah Sakit Chaoyang. 

Seluruh departemen darurat telah diisolasi dan ditutup. Li mengatakan bahwa dampak dari wabah itu setara dengan wabah SARS di masa lalu, ia menghimbau sebaiknya waspada.

Polisi Bersenjata Blokir Ruang Gawat Darurat dan Area sekitar

Sekitar jam 4 sore pada hari itu, reporter dari media Caixin Beijing mendapati pasien di bagian gawat darurat Rumah Sakit Chaoyang sangat jarang. Hanya ada 1 atau 2 pasien. Sementara di apotik rumah sakit, dan ruang laboratorium tidak ada seorang pun yang lewat. 

Area infus juga tertutup sepenuhnya, dan semua kursi tampaknya telah diganti dengan yang baru, ini bisa dilihat dari penutup plastiknya yang belum sempat dilepas.

Pemilik toko peralatan medis di seberang gedung rumah sakit mengatakan bahwa malam sebelumnya (11/11/2019), pintu ruang gawat darurat dijaga ketat. 

Seorang lelaki tua yang tinggal di sekitar mengatakan, dia melihat polisi bersenjata memblokade area dekat ruang gawat darurat dan membuat garis polisi.

Pada 12 November 2019, dua pasien dari Mongol yang didiagnosis terinfeksi wabah pneumonia oleh dokter di Beijing sedang mendapatkan perawatan intensif di distrik Chaoyang Beijing. 

Dokter juga mengatakan bahwa pneumonia yang diderita oleh kedua pasien ini cukup fatal dan dapat mengancam jiwa.

Meskipun Rumah Sakit Chaoyang Beijing mengatakan: “Tidak perlu panik, semuanya terkendali.” Tetapi ketika ditanya reporter “The Economic Observer”, semuanya terkendali, apakah itu berarti “dua pasien tersebut telah melewati masa kritis”, namun, petugas rumah sakit itu mengatakan : Pasien sudah dipindahkan ke rumah sakit lain.

Tak lama kemudian, Sina Weibo melaporkan bahwa pasien telah dipindahkan ke Rumah Sakit Ditan Beijing. Rumah Sakit Ditan adalah salah satu rumah sakit yang ditunjuk untuk perawatan pasien SARS selama periode wabah SARS di Beijing.

Informasi yang dibocorkan dokter Rumah Sakit Chaoyang Dihapus

Menurut laman The New York Times, dokter Li Jifeng yang menangani dua pasien dengan pes di Rumah Sakit Chaoyang Beijing sempat menuliskan di platfrom media sosial WeChat tentang pasien yang dirawat sejak 3 November 2019. 

Dia menuliskan bahwa salah satu pasien adalah pria setengah baya yang mengalami demam dan merasa kesulitan bernapas selama 10 hari. Sementara pasien lainnya adalah istri si pasien yang juga mengalami demam dan masalah pernapasan.

“Selama saya menjadi dokter spesialis, saya menemukan gejala familiar atas berbagai penyakit. Namun kali ini saya memeriksa dan memeriksa lagi, saya tak bisa menebak patogen pneumonia ini, saya merasa jarang menemui penyakit seperti ini,” tulis dokter Li.

Namun tak lama kemudian Li Jifeng menghapus tulisannya di WeChat tentang pasien dari Provinsi Mongolia Dalam itu. Sementara pihak Rumah Sakit Chaoyang Beijing juga menolak memberikan komentar.

Skrining Diskusi dan Pengendalian Terkait Plague/Pes/Sampar

Menurut instruksi yang dilihat the New York Times, badan peninjau komunis Tiongkok menginstruksikan agregator berita online domestik Tiongkok untuk “menyaring dan mengendalikan” diskusi online berita terkait wabah.

Komunis Tiongkok memiliki sejarah menutup-nutupi dan menunda pengumuman tentang wabah penyakit menular, yang menyebabkan banyak orang menjadi panik. Beberapa netizen menulis di Weibo: “Wabah pes itu bukan yang paling menakutkan, tapi yang mengerikan adalah menutupi informasi.”

Sumber Penyakit Menjadi Misteri

Bulan lalu, pihak berwenang mengatakan mereka akan meningkatkan tindakan karantina untuk mencegah wabah memasuki Tiongkok. Sebelumnya dilaporkan Madagaskar pernah dilanda penyebaran wabah yang cepat.

Masih belum jelas kapan kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Tiongkok. Akan tetapi netizen bertanya mengapa butuh waktu lama bagi pihak berwenang untuk mendiagnosis dan mengungkap kasus penyakit ini.

Netizen lain juga meminta pemerintah untuk mengumumkan bagaimana prosesnya pasien-pasien ini tiba di Beijing dari Mongolia Dalam. Jika pasien datang dengan transportasi umum, “Berapa banyak orang yang terkontak dengannya ?”

Netizen itu menulis: “Saya yang tinggal sekitar 2 km dari Rumah Sakit Chaoyang merasa menggigil mendengar wabah mematikan itu.”

“Sungguh menakutkan, wabah menyebar melalui saluran pernapasan!” “Saya tidak bisa tidak menjadi panik sekarang …harus memakai masker saat keluar!”

Penggembala: Pemerintah daerah setempat tidak menginformasikan tentang wabah

Sejumlah penggembala di Mongolia Dalam mengatakan kepada Radio Free Asia, bahwa pemerintah setempat tidak memberi tahu mereka tentang wabah tersebut. “Tidak pernah diberitahu, kami juga belum pernah mendengarnya,” kata pengembala itu. 

Penggembala lain mengatakan, dia tahu wabah bisa menyebar dengan cepat, dan bisa berakibat fatal. Tapi dia tidak pernah mendengar ada wabah di daerahnya.

Wabah dikategorikan sebagai salah satu wabah maut hitam ini memang merupakan salah satu penyakit yang paling ditakutkan. Wabah pes tersebar akibat infeksi bakteri ini ditularkan melalui gigitan dari kutu dan hewan lain yang terinfeksi. 

Infeksi bakteri ini dapat berkembang menjadi tiga bentuk wabah dengan gejala yang berbeda, yaitu wabah pes berupa pembengkakan kelenjar getah bening, wabah septikemia yang menginfeksi darah, serta wabah pneumoia yang menginfeksi paru-paru. angka kematian hampir 100%. 

Wabah yang paling mematikan dan pernah beberapa kali tercatat dalam sejarah semuanya terkait erat dengan wabah pes yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Sebanyak tiga wabah epidemi dalam sejarah manusia

Wabah pertama, wabah Justinianus menghilang dari pertengahan abad ke-6 hingga abad ke-8, menewaskan ratusan juta jiwa di Eropa dan Asia.

Wabah kedua, dari pertengahan abad ke-14, wabah maut hitam merenggut korban sekitar 25 juta jiwa atau lebih dari sepertiga populasi Eropa pada masa 1347 hingga 1351.

Wabah ketiga, yang dimulai pada paruh kedua abad ke-19, bermula di provinsi Yunnan, Tiongkok kemudian menyebar ke India. Berbeda dengan wabah lainnya yang hanya terjadi di satu benua, wabah pes ketiga menyebar hingga hampir ke seluruh dunia karena mobilitas penduduk saat itu sudah cukup tinggi.

Tidak hanya manusia, tikus-tikus yang membawa bakteri penyebab penyakit pun ikut melanglang buana dengan menumpang kapal uap dan menularkan penyakitnya pada manusia. 

Setelah itu, ada wabah pes Shanxi, dan wabah pes kedua di Tiongkok Timur Laut, lalu wabah pes di bagian lain Eropa dan Asia. Hingga setelah tahun 1930-an abad ke-20, wabah baru menghilang. Puluhan juta orang tewas akibat wabah di seluruh dunia. (jon/asr)

FOTO : Rumah Sakit di Distrik Chaoyang Beijing mengonfirmasi bahwa dua pasien dari Mongolia Dalam terinfeksi  “wabah pneumonia” atau wabah yang dikenal dengan Black Death-wabah Maut Hitam yang sangat menular. Komunis Tiongkok memerintahkan diskusi skrining (deteksi dini dari suatu penyakit) dan pengendalian terkait plague/pes/ sampar. Orang-orang dilanda kepanikan tentang kemungkinan penyebaran wabah maut hitam ini. (JAY DIRECTO / AFP melalui Getty Images)

Seorang Ilmuwan Mengakui Bersalah Mencuri Teknologi Baterai Lithium dari Perusahaan Energi AS

0

Frank Fang – The Epochtimes

Seorang ilmuwan Tionghoa yang dituduh mencuri lebih dari 1 miliar dolar AS, rahasia dagang dari mantan majikannya. Ia telah mengaku bersalah atas tuduhannya.

Pria bernama Hongjin Tan berusia 35 tahun itu, seorang penduduk tetap yang sah di AS. Ia seorang associate ilmuwan untuk perusahaan energi yang berbasis di Oklahoma mulai Juni 2017 hingga Desember 2018. 

Dia ditugaskan untuk bekerja dengan tim mengembangkan teknologi baterai generasi mendatang untuk sistem baterai berbasis lithium.

Baterai lithium banyak digunakan dalam gadget elektronik, seperti smartphone, laptop, dan tablet.

Pada 12 November, Tan mengaku bersalah atas pencurian rahasia dagang, transmisi rahasia dagang yang ilegal, dan kepemilikan rahasia dagang yang tidak sah, menurut siaran pers resmi dari Departemen Kehakiman AS.

Hongjin Tan telah mengaku dengan sengaja menyalin dan mengunduh materi penelitian, tanpa menerima izin dari atasannya, sesuai dengan perjanjian pembelaannya.

Menurut siaran pers Departemen Kehakiman AS, Hongjin mengunduh ratusan file ke thumb drive pada 11 Desember 2018. Ia kemudian mengajukan pengunduran dirinya pada hari yang sama. 

Keesokan harinya, dia kembali ke perusahaan. Ia mengklaim bahwa dirinya lupa menyerahkan thumb drive, sebelum meninggalkan perusahaan.

Ditemukan bahwa lima file telah dihapus dari thumb drive dan penyelidikan FBI berikutnya menunjukkan, bahwa Hongjin Tan telah mengunduh lima file yang sama ini ke hard drive komputer pribadinya.

John C. Demers, asisten Jaksa Agung Amerika Serikat untuk Divisi Keamanan Nasional, dalam siaran pers menyatakan, permohonan bersalah Hongjin Tan terus mengisi rangkaian pencurian kekayaan intelektual Amerika di Tiongkok. Ia ditangkap pada 20 Desember tahun lalu. 

Rahasia dagang yang dicuri Hongjin Tan diperkirakan bernilai sekitar 1,4 miliar hingga 1,8 miliar dolar AS, menurut pernyataan tertulis yang diajukan oleh FBI.

Menurut akun LinkedIn Tan, ia bekerja sebagai staf ilmuwan di Phillips 66, perusahaan energi multinasional yang berbasis di Oklahoma, sejak Mei 2017. 

Dalam uraian tugasnya, ia menulis bahwa ia melakukan proyek penelitian tentang “penyimpanan energi skala besar.”

Sebelum bekerja di Phillips 66, ia menghabiskan lebih dari 15 tahun di Institut Teknologi California, mendapatkan gelar Master dan Ph.D dalam ilmu material. Dia kemudian menjadi ilmuwan tamu di sekolah itu. Dia menerima gelar sarjana dalam fisika benda kental dan biofisika di Universitas Nanjing Tiongkok.

Menurut situs web Caltech, disertasi Ph.D nya difokuskan pada studi lithium iron phosphate, senyawa anorganik, sebagai bahan yang digunakan untuk baterai lithium.

Jaksa A.S. Trent Shores untuk Distrik Utara Oklahoma, dalam siaran pers mengatakan, Agresi ekonomi Tiongkok menjadi ancaman bagi industri teknologi tinggi Amerika yang sedang berkembang. Mata-mata industri seperti Hongjin Tan terlibat dalam spionase untuk mencuri rahasia perdagangan Amerika dan kekayaan intelektual yang lahir dari inovasi yang ada di dalam sistem pasar bebas AS. 

Hongjin akan dihukum pada 12 Februari 2020. Departemen Kehakiman tidak menentukan hukuman maksimum yang dihadapi Hongjing.

Jaksa federal telah mendakwa banyak periset dan ilmuwan Tionghoa yang diduga mencuri atau mencoba mencuri rahasia dagang dari majikan AS mereka.

Pada Agustus tahun lalu, seorang insinyur Tionghoa diperintahkan untuk membayar ganti rugi 66 juta dolar AS. Hal demikian setelah ia dinyatakan bersalah mencuri rahasia dagang dari majikannya, pembuat Lumileds LED yang berbasis di Amerika Serikat. Ia diketahui menyerahkan informasi hak milik kepada majikan barunya di Tiongkok. (asr)

The Point of No Return : Protes Hong Kong Mencapai Intensitas Baru, Mendorong Kekhawatiran akan Krisis Berkepanjangan

Cathy He – The Epochtimes

Krisis Hong Kong sudah memasuki babak baru The Path  of No Return atau jalan tak bisa kembali. Itu ketika, Hong Kong telah mengalami ledakan kebrutalan aparat dan kekisruhan selama hampir enam bulan aksi protes massa bergulir.  

Kini tingkat intensitas selama seminggu terakhir telah memicu kekhawatiran, bahwa krisis mungkin tidak akan pernah mencapai resolusi.

Melansir dari The epochtimes, krisis tersebut dimulai dengan kematian seorang mahasiswa 22 tahun pada 8 November, yang meninggal dunia karena luka-lukanya setelah jatuh dari garasi parkir. Ketika itu, di mana polisi telah menembakkan gas air mata untuk membubarkan para pengunjuk rasa. 

Insiden itu adalah kematian pertama terkait dengan tindakan polisi terhadap gerakan pro-demokrasi. Kematiannya memicu gelombang protes selama akhir pekan.

Pada pagi hari tanggal 11 November, seorang pemrotes yang tidak bersenjata ditembak dalam jarak dekat. Tembakan dilakukan oleh seorang perwira polisi. Ia adalah demonstran ketiga terluka oleh peluru tajam yang ditembakkan oleh polisi.

Tembakan itu memicu gelombang kemarahan terbaru kepada pihak berwenang Hong Kong, ketika para pemrotes menyerukan pemogokan di seluruh kota dan mengganggu lalu lintas. Tujuannya untuk mencoba menekan pemerintah Hong Kong agar mendengarkan tuntutan mereka.

Ketegangan meningkat pada 12 November, ketika pengunjuk rasa dan polisi terlibat dalam kebuntuan selama berjam-jam hingga larut malam di Chinese University of Hong Kong (CUHK). 

Polisi menembakkan sebanyak 1.567 tabung gas air mata, 1.312 butir peluru karet, dan 380 bean-bag bullets— sebagian besar di Chinese University of Hong Kong untuk membubarkan mahasiswa yang telah membuat blokade, melemparkan batu bata, dan melemparkan bom bensin untuk menjaga polisi dari kampus.

Sehari sebelumnya, polisi telah mendakwa Chinese University of Hong Kong, universitas lain, dan sebuah gereja untuk melakukan penangkapan. Tindakan tersebut adalah yang pertama kali ketika pihak berwenang memasuki properti itu untuk menindak para pengunjuk rasa.

Jason Ng, pengacara dan pencetus Kelompok Pengacara Progresif, kelompok pengacara lokal yang mengadvokasi untuk tujuan pro-demokrasi mengatakan, ketika semakin meningkatnya eskalasi baik dalam frekuensi maupun tingkatan, Itulah yang meresahkan. Dan  membuatnya memburuk adalah tidak ada lagi akhir yang terlihat. “

Arahan Dari Beijing?

Pemerintah Hong Kong telah menyatakan, bahwa tindakan tersebut diklaim dapat mengakhiri krisis, berulang kali menyalahkan “perusuh” karena mengintensifkan situasi. 

Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, pada konferensi pers baru-baru ini, sekali lagi bersumpah bahwa dia tidak akan menyerah pada tuntutan pemrotes. Apa yang disampaikan demonstran,  meliputi hak pilih universal dan penyelidikan independen terhadap dugaan kebrutalan polisi terhadap pengunjuk rasa.

Pernyataan Lam disampaikannya setelah berkunjung ke Beijing pada awal November lalu. Hal demikian ketika pemimpin Komunis Tiongkok Xi Jinping dan pejabat tinggi Komunis tiongkok yang mengawasi urusan Hong Kong secara terbuka mendukungnya dalam menangani aksi protes. 

Perjalanan itu dinilai oleh beberapa komentator sebagai tanda bahwa Lam menerima dukungan dari Beijing yang membuat sikapnya menjadi frontal terhadap para demonstran.

Jason Ng menilai, ada “perubahan luar biasa dalam perilakunya, baik dalam ucapan maupun tindakan,” sejak pertemuan Lam dengan para pemimpin Beijing.  Retorika yang digunakan oleh Lam telah menjadi tanpa kompromi.  

Jason Ng menambahkan bahwa tindakan polisi yang belum pernah terjadi sebelumnya selama seminggu terakhir, telah menunjukkan bahwa retorika seperti itu telah diimbangi dengan tindakan.

Dan Garrett, penulis buku “Counter-hegemonic Resistance in China’s Hong Kong: Visualizing Protest in the City,” melalui email kepada The Epoch Times edisi Amerika Serikat mengatakan, bahwa ada “pergeseran yang jelas” oleh otoritas Beijing dan Hong Kong ke arah keinginan untuk “menggunakan kekuatan mematikan” untuk menegaskan kembali kendali terhadap Hong Kong. 

Dan Garrett mengungkapkan, kepemimpinan komunis di Beijing tampaknya telah memutuskan, bahwa pengiriman militer Komunis Tiongkok untuk memadamkan protes tidak akan dapat dipertahankan. Pasalnya, potensi serangan balik internasional.  Oleh karena itu, mereka malah mengadopsi pendekatan polisi anti huru hara militerisasi untuk secara paksa memadamkan aksi protes.

 Garrett menilai, cara itu membutuhkan kampanye secara agresif untuk membingkai para pemrotes sebagai ekstremis dan teroris yang menggunakan kekerasan luar biasa, akhirnya mengharuskan dan melegitimasi penggunaan kekuatan mematikan. 

Rezim Komunis Tiongkok telah melakukannya selama berbulan-bulan. Para pejabat Komunis Tiongkok dan media yang dikelola pemerintah, sering membuat narasi para pemrotes sebagai penjahat dan “ekstremis.” Laporan media itu telah mendesak tanggapan keras oleh pemerintah setempat.

Geng Shuang, juru bicara kementerian luar negeri Komunis Tiongkok, pada jumpa pers reguler 13 November menyebut pengunjuk rasa dengan narasi  “musuh rakyat.” Narasi tersebut adalah kerap digunakan pemimpin Hongkong dengan kata-kata yang sama untuk menggambarkan pengunjuk rasa. 

Geng Shuang juga menegaskan kembali “dukungan tegas” rezim Beijing untuk pemerintah Hong Kong, polisi, dan pengadilan dalam mengambil yang disebutnya “langkah-langkah efektif untuk menghukum berat kegiatan ilegal dan kriminal.”

Garret menilai pada awal Juli lalu, bulan kedua aksi protes massa bergulir, ada indikasi oleh rezim Komunis Tiongkok akan mendorong respons polisi yang lebih kuat. Misalnya, editorial 22 Juli oleh surat kabar corong Komunis Tiongkok Global Times mengklaim, “Penyebab penting kekacauan Hong Kong terletak pada kekuatan polisi yang sangat terbatas.” Media tersebut juga menyerukan pencabutan “semua pembatasan” pada penegakan hukum.

Kemudian, para pejabat tinggi pada sidang pleno Partai Komunsi Tiongkok  yang diadakan pada akhir Oktober lalu, juga menekankan perlunya “menyempurnakan” “sistem hukum dan mekanisme penegakan hukum” Hong Kong untuk “menjaga keamanan nasional.”

Arahan tersebut tercermin dalam pernyataan baru-baru ini yang dibuat oleh pejabat senior rezim Komunis Tiongkok, seperti Zhang Xiaoming, direktur Kantor Urusan Hong Kong dan Makau dalam Dewan Negara yang mirip kabinet,  dalam sebuah artikel yang diterbitkan di situs resminya pada 9 November. mengatakan, bahwa memperkuat “kekuatan penegakan hukum” Hong Kong adalah tugas mendesak bagi pemerintah Hong Kong.

Kemarahan dan Keputusasaan

Aksi protes tidak menunjukkan tanda-tanda mengendur, dengan peningkatan kekerasan polisi dari hari ke hari yang memperburuk kekisurahan. 

Media sosial dibanjiri dengan rekaman video yang menunjukkan contoh-contoh agresi polisi, termasuk petugas memukuli demonstran yang lemah, dan penonton dan wartawan dengan menyemprotkan merica.

Sebuah video viral baru-baru ini memperlihatkan seorang petugas polisi menyemprot wajah seorang wanita, setelah dia berhadapan dengannya. Petugas itu menyemprotnya lagi ketika dia mencoba untuk menghalau petugas. Beberapa petugas kemudian menjegalnya terkapar ke jalanan.

Polisi Hong Kong juga mendapat kecaman internasional. Senator AS Jim McGovern baru-baru ini menggambarkan, para perwira polisi berada “di luar kendali.” Sementara Senator Marsha Blackburn, menyebut penembakan polisi baru-baru ini sebagai “Tiananmen 2.0,” mengacu pada tindakan keras berdarah terhadap pengunjuk rasa mahasiswa 30 tahun silam di Lapangan Tiananmen.

Sebuah laporan pada September dari Amnesty International menemukan bahwa polisi telah terlibat dalam “pola yang mengganggu taktik sembrono dan melanggar hukum terhadap orang-orang selama aksi protes.”

Jason Ng mengingatkan, anda tidak bisa mengharapkan pengunjuk rasa hanya berguling dan membiarkan anda memukul mereka, membiarkan anda menangkap mereka, membiarkan anda bahkan menembak mereka dengan peluru tajam. 

Tetapi semakin banyak pemrotes mendorong, semakin banyak alasan polisi harus menindak mereka. Jadi itu hanya menjadi seperti lingkaran setan.

Selain kemarahan publik, rasa putus asa yang tumbuh tampaknya telah menyebar di kalangan pengunjuk rasa. Seorang pekerja kantor bernama Chan kepada Epoch Times edisi Hong Kong, mengatakan dirinya sudah tidak berdaya dan ia kini sudah tidak mengetahui bagaimana mencapai cita-cita politiknya, 

Dia ikut serta dalam demonstrasi di kawasan pusat bisnis pada 13 November.

Chan, seorang alumni  Chinese University of Hong Kong, mengatakan ia memahami tindakan mahasiswa yang bentrok dengan polisi di universitas pada 12 November, salah satu konfrontasi paling intens sejak aksi protes massa dimulai.

Chan dengan menangis mengatakan, Mereka sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Mereka menggunakan jalan terakhir mereka. 

Ia berharap pemerintah dapat secara serius mempertimbangkan tuntutan para pemrotes dan menyelesaikan krisis yang terjadi. Jika tidak, maka akan ada banyak korban. Hong Kong akan menuju jalan yang tidak bisa kembali. 

Jason Ng percaya bahwa gerakan protes mungkin telah mencapai titik di mana itu “tidak akan pernah berakhir.” Bahkan jika kekisruhan mereda untuk sementara waktu, saat pemerintah bertindak dengan cara yang dianggap oleh para pemrotes sebagai tidak masuk akal, eskalasi lainnya akan terjadi. Selanjutnya, akan berubah menjadi “krisis bergulir di mana Hong Kong akan “mendidih terus-menerus selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun yang akan datang.” (asr)

Apakah Agresi Asing adalah Langkah Berikutnya Bagi Komunis Tiongkok?

0

oleh James Gorrie

Ekonomi melesu dan ketidakstabilan meningkat, dapat mendorong kepemimpinan Komunis Tiongkok kepada strategi petualangan ke luar negeri. Strategi itu digunakan sebagai jalan keluar dari krisis atas legitimasi Komunis Tiongkok. 

Komunis Tiongkok sedang dalam kondisi krisis. Hal demikian mungkin terlihat berlebihan, tetapi sebenarnya tidak sama sekali. Komunis Tiongkok sedang menghadapi tantangan terbesar pada kepemimpinannya sejak insiden Lapangan Tiananmen pada tahun 1989 silam. 

Faktanya, risiko terhadap legitimasi Komunis Tiongkok bahkan lebih meningkat pada hari ini.  Pasalnya, Komunis Tiongkok hanya dapat mengandalkan peningkatan tingkat ekspor ke Barat dan investasi langsung darinya. Tetapi, bukan itu masalahnya.

Perang dagang telah membantu membongkar dan memperburuk beberapa celah mendalam yang ada dalam hubungan antara rakyat Tiongkok dan kepemimpinan mereka. 

Keretakan ketidakpuasan itu telah ada di sana jauh sebelum Trump hadir.  Akan tetapi, ketika menjadi tumbuh lebih nyata, menimbulkan konsekuensi yang berpotensi menjadi bom waktu bagi Tiongkok dan kepemimpinannya.

Ketidakpuasan Komunis Tiongkok Menyakiti Loyalitas Partai

Keretakan yang terjadi tentu saja bukan hanya tentang Hong Kong atau bahkan Taiwan, meskipun keduanya adalah faktor yang pasti. 

Lebih konkretnya, itu adalah keterasingan mendalam yang dirasakan oleh sebagian besar penduduk daratan Tiongkok sehubungan dengan Komunis Tiongkok. Yang mana merupakan ancaman yang jelas. Bahkan kini, sebagai ancaman stabilitas domestik. Apalagi, hal demikian  bukan lagi sebuah rahasia di Tiongkok; semua penduduk sudah mengetahuinya.

Komunis Tiongkok tentu saja memahami posisi yang dihadapinya sekarang, bahwa sedang melemah di dalam pikiran para subyeknya. 

Dalam pidato di depan Kongres Nasional pada bulan Maret tahun ini, Perdana Menteri Li Keqiang, mengakuinya secara jujur. Ia mengatakan bahwa, “Ketidakstabilan dan ketidakpastian meningkat secara nyata dan risiko yang ditimbulkan secara eksternal sedang meningkat.” 

Li Keqiang juga mengakui bahwa masalah Tiongkok adalah “sejenis yang jarang terlihat selama bertahun-tahun.”

Dengan demikian, Komunis Tiongkok menghadapi ketidakpuasan publik yang tumbuh di berbagai bidang.  Tidak hanya soal ekonomi, meskipun faktor itu sangat dominan. Dikarenakan, pertumbuhan ekonomi merupakan pusat klaim  Komunis Tiongkok atas legitimasi politik. 

Kritik tambahan termasuk praktek korupsi negara yang merajalela, seperti pencurian properti dan bisnis negara, polusi yang tidak terkendali, layanan sosial yang buruk, termasuk tunjangan kesehatan dan pengangguran, serta banyak keluhan lainnya.

“Obat” Komunis Tiongkok untuk penyakit yang diderita negara, bagaimanapun, mungkin sama buruknya. Jika tidak lebih buruk, daripada penyakitnya.

Kekuatan dengan Biaya Berapapun adalah Prioritas Komunis Tiongkok

Beberapa orang mungkin masih percaya bahwa pertumbuhan ekonomi adalah prioritas utama Komunis Tiongkok, akan tetapi tidak samasekali. 

Tetap berada dalam kekuasaan adalah prioritas utama Komunis Tiongkok, menguasai ketidakstabilan internal adalah kunci untuk melakukannya. 

Memberikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan telah menjadi jantung dari upaya itu selama beberapa dekade. Akan tetapi, kini sudah tidak lagi terjadi. Lintasan ekonomi Tiongkok tetap menurun, setidaknya dalam waktu dekat. 

Kenyataan itu hanya mempercepat masalah Tiongkok dan juga reputasi  Komunis tiongkok yang kian memburuk. Hal demikian menjelaskan kontrol negara yang berkembang atas penduduk melalui “sistem kredit sosial” yang mencakup peningkatan pengawasan dan kekuatan hukuman.

Hal demikian, mungkin juga menjelaskan mengapa, setelah 40 tahun pemerintahan Komunis Tiongkok dengan konsensus, bahwa Komunis Tiongkok telah mengizinkan Xi Jinping untuk mengambil jubah pemimpin tertinggi, peran yang terakhir dipegang oleh Mao Zedong. 

Mereka mungkin telah memutuskan bahwa satu hal, tentang adanya kepribadian yang kuat dan karismatik, akan menghasilkan lebih banyak kesetiaan daripada suatu dewan para tetua berwatak apatis tanpa kepribadian. Tetapi, langkah itu turut menimbulkan dengan risiko yang juga serius. 

Mengkonsolidasikan kekuatan ke tangan satu orang, menurut definisi, merupakan faktor destabilisasi. Saluran-saluran informasi dan proses pengambilan keputusan dipersempit, perspektif awan paranoia politik dan penyelamatan diri mungkin datang dengan mengorbankan kebaikan yang lebih besar. Contoh-contoh sejarah dari ekses berbahaya dari aturan satu orang sudah banyak terjadi.

Terlebih lagi, beralih ke cara lama untuk menciptakan “pertumbuhan ekonomi” melalui pembangunan yang berlebihan juga akan terbukti sia-sia. Lebih lanjut, mendistorsi harga dan memicu penggelembungan tanpa memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Membangun lebih banyak jalan ke mana-mana dan kota-kota yang kosong, tidak akan merevitalisasi ekonomi Tiongkok.

Tekanan Akan Mengecilkan PDB Tiongkok dan Meningkatkan Ketidakstabilan

Lebih jauh, klaim Komunis Tiongkok bahwa hanya dengan cara itu yang bisa membimbing Tiongkok menuju masa depan yang makmur, sambil mengakui bahwa segala sesuatunya menjadi lebih buruk adalah pil yang sulit untuk ditelan masyarakat. 

Tidak diragukan lagi, cara itu adalah upaya untuk menumpuk kesabaran dan dukungan publik yang berkelanjutan untuk Komunis Tiongkok. Tetapi memesan tingkat kontrol yang diperluas atas ekonomi dan penindasan yang lebih besar dari ekspresi politik dan agama, tentunya dalam menghadapi kondisi yang memburuk juga tidak akan meningkatkan angka Produk Domestik Bruto.

Kenyataannya adalah bahwa ketika dampak perang dagang dengan Amerika Serikat semakin mendalam dan menyebar kepada ekonomi, kondisinya akan terus menurun. 

Pendekatan totaliter Komunis Tiongkok hanya akan menyebabkan ketidakstabilan yang lebih besar. Selain itu,  menghasilkan lebih banyak keresahan. Komunis Tiongkok menemukan dirinya dalam kondisi spiral ke bawah yang memburuk.

Memainkan Kartu Agresi Asing

Seperti dicatat dalam tulisan saya beberapa waktu sebelumnya, inisiatif “One Belt, One Road” China atau OBOR, juga dikenal sebagai Belt and Road, telah menjadi bagian dari upaya Komunis Tiongkok untuk memperluas jejak ekonomi, politik dan budaya. 

Akan tetapi, langkah itu belum memberikan sumber daya dan pertumbuhan ekonomi yang diperlukan untuk mengimbangi tantangan ekonomi saat ini.  Langkah itu juga tidak akan memanipulasi data PDB untuk konsumsi publik, cukup untuk mengubah kenyataan di lapangan.

Ketika kondisinya semakin memburuk, Komunis Tiongkok tentu saja akan memohon nasionalisme Tiongkok melawan Amerika Serikat. Yang mana biasanya, Amerika Serikat selalu  digambarkan atau dinarasikan sebagai orang asing yang suka campur tangan dan jahat. Itulah yang menjadikan Hong Kong dan Taiwan, sebagai alat propaganda yang baik sekali dan kuat. 

Pertimbangkan, misalnya, bahwa pendapatan per kapita Taiwan hampir dua setengah kali lipat dari daratan Tiongkok, sementara Hong Kong hampir empat kali lebih tinggi. Realitas sederhana ini adalah bukti yang tidak dapat disangkal, bahwa Komunis Tiongkok tidak diperlukan di Tiongkok untuk rakyat dan negara jika demi sebuah kemakmuran.

Akan tetapi alih-alih mengubah sistem politik dan ekonomi sebagai tanggapan terhadap fakta itu, yang mana tentunya akan berarti penghapusan Komunis Tiongkok dari Tiongkok. Komunis Tiongkok lebih memilih untuk mengubah fakta sebenarnya. 

Baik Taiwan dan Hong Kong bersekutu dengan Barat, khususnya, Amerika Serikat. Warga Hongkong yang mengibarkan bendera Amerika dan memohon kepada Amerika Serikat untuk perlindungan terhadap segala tindakan keras yang dilakukan oleh Komunis Tiongkok, telah memberikan Komunis tiongkok semacam kertas yang sempurna yakni kembalinya ancaman intervensi asing di Tiongkok.

Situasi Taiwan, dengan aliansi de facto dengan Amerika Serikat, mungkin bahkan lebih merupakan katalisator untuk intervensi militer komunis Tiongkok daripada Hong Kong. 

Xi Jinping secara eksplisit menyatakan bahwa “penyatuan kembali” dengan “provinsi yang membangkang” tidak bisa dihindari. Kebijakan agresif pemerintahan Trump mungkin telah mempercepat rencana itu.

Sejak Tahun 2016, Komunis Tiongkok sudah secara sistematis mengisolasi Taiwan dari sebagian besar sekutu regionalnya. Cara itu lebih dari sekadar hanya sebuah pesan. Caranya adalah upaya Komunis Tiongkok untuk mengatur meja politik regional sebelum mengambil tindakan politik, jika bukan militer terhadap Taiwan. 

Tuduhan Komunis Tiongkok terhadap Amerika Serikat tentang narasi “mencampuri urusan dalam negeri Tiongkok” dan “merusak kedaulatannya” dengan penjualan senjata ke Taipei, menggarisbawahi narasi ini.

Bersamaan itu, ketika keadaan menjadi lebih buruk di Tiongkok, semakin banyak ketidakstabilan akan meningkat dan kesabaran orang-orang terhadap Komunis Tiongkok akan terus menurun. 

Dinamika tersebut hanya akan memperdalam krisis terhadap Komunis Tiongkok. Bahkan membuat Tiongkok lebih mungkin beralih ke militerisme nasionalistik untuk mengalihkan fokus rakyat dari kondisi yang memburuk dan perjuangan mereka. (asr)

James Gorrie adalah penulis buku berjudul The China Crisis, opininya diterbitkan di The Epochtimes.

Senator Ungkapkan Keprihatinan Surat Kabar AS yang Terbitkan Propaganda Koran Sisipan Komunis Tiongkok

0

Nicole Hao

Senator AS menyuarakan “keprihatinan secara serius” tentang medai-media di Amerika Serikat yang menerbitkan koran sisipan berbayar ditempatkan oleh outlet media-media yang dikelola pemerintah Komunis Tiongkok. Sisipan tersebut memungkinkan rezim Beijing untuk mempromosikan propagandanya di luar negeri.

Senator Amerika Serikat, Rick Scott mendesak organisasi-organisasi berita untuk mempertimbangkan kembali kolaborasi mereka dengan China Daily. 

Hal demikian disampaikannya dalam suratnya pada tanggal 7 November kepada David Chavern, presiden dan chief executive officer dari News Media Alliance dan American Press Institute, sebuah kelompok industri media.

“Dengan memberikan bebas kendali kepada Komunis Tiongkok untuk mempublikasikan propaganda mereka bersama media kita, maka kita memberikan pemerintah Tiongkok kesempatan untuk mempromosikan nilai-nilai yang bertentangan dengan kebebasan yang dijamin dalam Bill of Rights kita,” demikian isi surat tulisan Scott.

China Daily adalah surat kabar yang memiliki 600.000 sirkulasi di luar negeri, diawasi oleh Departemen Publisitas Partai Komunis Tiongkok, badan pemerintah yang bertugas menyebarkan propaganda. 

Beberapa surat kabar utama di negeri itu, termasuk The Wall Street Journal, The New York Times, dan The Washington Post, menerbitkan suplemen dari koran berbahasa Inggris milik pemerintah Komunis Tiongkok itu.

“Di halaman depan China Daily edisi 6 November, sebuah cerita dimulai dengan mengatakan” Keinginan untuk demokrasi liberal gaya Barat adalah virus ganas yang menginfeksi tempat-tempat dengan sistem kekebalan ideologis yang lemah,  ini adalah propaganda yang memungkinkan surat kabar Amerika disandingkan dengan karya jurnalis mereka,” demikian tulisan Scott. 

Scott kemudian mendaftarkan beberapa pelanggaran rezim Komunis Tingkok, termasuk pencurian teknologi Amerika Serikat, penolakan untuk membuka pasarnya bagi bisnis asing, dan militerisasi di Laut Cina Selatan. 

Komunis Tiongkok juga membantah menekan kebebasan beragama di dalam negeri, dan menyangkal otonomi Hong Kong yang telah dijanjikannya ketika bekas koloni Inggris itu kembali ke pemerintahan Tiongkok pada 1997.

Legsilator Partai Republik AS itu juga mengkritik outlet media karena melalaikan nilai-nilai Amerika Serikat. Selain itu, menjual akses ke pembaca mereka dengan penawaran tertinggi.

“Ketika Anda mengizinkan China Daily untuk mendorong cita-cita penindasan mereka di negara kita, tanyakan kepada diri Anda sendiri, apakah publikasi Amerika diberi hak istimewa yang sama di Tiongkok atau mereka terikat oleh aturan hukum dan sensor Tiongkok?” demikian bunyi surat itu. 

“Berdasarkan rekam jejak mereka, saya pikir kita semua mengetahui jawaban untuk pertanyaan itu,” demikian tambah bunyi surat itu. 

Tanpa kebebasan pers di Tiongkok, rezim Komunis Tiongkok menekan outlet media asing yang beroperasi di negara itu. Media-media dipaksa untuk menyensor konten sendiri melalui ancaman tersirat, seperti mencabut atau menyangkal visa wartawan dan menutup situs web mereka.

Menjelang pemilu paruh waktu 2018 silam, sebuah surat kabar top di negara bagian Iowa memuat empat halaman China Daily. Isinya memuat artikel tentang dampak negatif perang dagang terhadap petani kedelai Amerika Serikat Iowa, produsen kedelai utama negeri paman SAM itu. 

Isi koran sisipan tersebut telah dipengaruhi oleh Beijing, secara dramatis menyebutnya mengurangi impor pertanian sebagai respons terhadap tarif AS terhadap barang-barang Tiongkok.

Presiden Donald Trump pada saat itu menegur rezim Komunis Tiongkok karena mencampuri pemilu AS dengan “iklan propaganda, dibuat agar terlihat seperti berita.” (asr)

FOTO : Senator Rick Scott (R-Fla.) Mengirim surat kepada David Chavern, presiden dan CEO dari News Media Alliance dan American Press Institute pada 7 November, memintanya untuk mendesak anggotanya untuk mempertimbangkan kembali kolaborasi mereka dengan China Daily, sebuah publikasi dimiliki oleh Partai Komunis Tiongkok. (Win McNamee / Getty Images, TONY KARUMBA / AFP via Getty Images / Epoch Times Composite)

Bentuk Pengamanan Perdagangan, KPPI Selidiki Membanjirnya Impor Sirop dari Tiongkok dan Filipina

0

ETIndonesia – Komite  Pengamanan  Perdagangan  Indonesia  (KPPI)  menetapkan  dimulainya penyelidikan  tindakan  pengamanan  perdagangan  (safeguards)  atas  lonjakan  volume  impor  produk  sirop fruktosa  dengan  nomor  Harmonized  System  (HS)  yaitu,  1702.60.20  pada  13  November  2019. 

Penyelidikan dilakukan berdasarkan permohonan PT Associated British Budi (PT ABB) penghasil produk sirop fruktosa pada 28 Oktober 2019 lalu.

“Berdasarkan  bukti  awal  pemohon,  KPPI  menemukan  adanya  lonjakan  volume  impor  produk  sirop  fruktosa. Selain itu, terdapat indikasi awal mengenai kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri,” ujar Ketua KPPI Mardjoko dalam keterangan tertulisnya yang dirilis Kemendag RI, Rabu (13/11/2019).

Kerugian serius atau ancaman kerugian serius itu terlihat dari beberapa indikator kinerja industri dalam negeri tahun  2015─2018. 

Indikator  tersebut  antara  lain  kerugian  finansial  akibat  menurunnya  volume  produksi, penjualan  domestik,  produktivitas  dan  kapasitas  terpakai,  jumlah  tenaga  kerja,  serta  pangsa  pasar  industri dalam negeri di pasar domestik.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam empat tahun terakhir (2015─2018), volume impor produk sirop fruktosa  yang  dimintakan  perlindungan  terus  mengalami  peningkatan  dengan  tren  sebesar  18,99  persen. Volume impor selama empat tahun terakhir masing-masing sebesar 67.244 ton, 106.566 ton, 138.997 ton, dan 109.884 ton.

Negara  asal  impor  produk  sirop  fruktosa  diantaranya  Tiongkok,  Filipina,  dan  negara  lainnya.  Impor  produk sirop  fruktosa  terbesar  berasal  dari  Tiongkok,  dengan  pangsa  impor  pada  2018  sebesar  94,01  persen, kemudian  tahun  2017  sebesar  98,06  persen,  dan  tahun  2016  sebesar  91,69  persen  dari  total  impor  produk sirop fruktosa.

KPPI  mengundang  pihak  yang  berkepentingan  untuk  memberikan  tanggapan  paling  lambat  lima  belas  hari sejak tanggal pengumuman dimulainya penyelidikan.

Untuk permintaan informasi terkait penyelidikan, dapat disampaikan secara tertulis ke alamat sebagai berikut: Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

Jl. M.I. Ridwan Rais No.5, Gedung I, Lantai 5, Jakarta 10110 Telp/Fax: (021) 3857758 E-mail: [email protected] Email: [email protected]

(asr)

Aktivitas Warga di Maluku Utara Kembali Normal Pasca Gempa Magnitudo 7,1 Berpotensi Tsunami yang Kemudian Dinyatakan Berakhir

0

EtIndonesia – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendapatkan informasi dari BPBD Halmahera Barat bahwa belum ada laporan dampak kerusakan maupun korban.

Warga diberitakan sebagian sudah kembali ke rumah mereka masing-masing dan beraktivitas normal.

Kepala Pelaksana BPBD Halmahera Barat Imron Loloroi mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan patroli dan pendataan terkait situasi di lapangan.

“Gempa susulan dirasakan cukup kuat,” tambah Imron melalui pesan digital pagi ini Jumat (15/11) yang diteruskan oleh Agus Wibowo Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB

Sementara itu, situasi Kota Bitung dalam kondisi normal. Namun masih ada masyarakat yang bertahan di tempat tinggi karena ada gempa susulan. Hingga saat ini belum ada laporan kerusakan dan korban jiwa.

Pantauan di Kota Ternate menggambarkan bahwa aktivitas masyarakat cenderung normal.

Pusdalops BNPB menerima informasi yang menyebutkan belum ada laporan warga kota terkait kerusakan, termasuk korban.

BPBD Kota Ternate masih intens melakukan pemantauan sambil mengkomunikasikan dengan pihak Kelurahan Mayau, Kecamatan Batang Dua serta pulau lain di wilayah terluar dari Kota Ternate yang berdekatan dengan pusat gempa. Pihak kelurahan setempat masih melakukan pendataan terkait kerusakan di wilayah tersebut.

BPBD Kota Ternate juga menginformasikan bahwa warga yang semalam menjauh dari pantai  pagi ini mulai berangsur kembali ke rumah. BPBD mengimbau untuk selalu siap siaga terkait dengan gempa susulan.

Data Pusdalops BNPB mencatat 2 orang mengalami luka atas nama Delvi Peo dan Mesin Bunga. Keduanya berasal dari Kecamatan Batang Dua, Kota Ternate.

Sedangkan dampak kerusakan, gempa memicu kerusakan di Kota Ternate seperti rumah dan rumah ibadah rusak ringan.

Pusdalops BNPB mencatat 6 rumah rusak ringan, di antaranya di Kelurahan Mayau 3 unit, Lekewi 2 dan Bido 1. Semuanya di Kecamatan Batang Dua, Kota Ternate, sedangkan 2 unit gereja rusak ringan di Kelurahan Bido dan Lelewi.

Upaya yang terus dilakukan yaitu melakukan koordinasi dengan BMKG, BPBD Kabupaten dan kota serta sektor terkait untuk mengidentifikasi korban kerusakan dan kerugian akibat gempa bumi.

Di samping itu, posko telah didirikan di Jalan Hasan Esa Takoma, Ternate.

Sebelumnya BMKG melaporkan gempa bumi dengan kekuatan M 7.1 pada 14 November 2019, pukul 23.17.43 WIB pada lokasi 1,67 LS 126.39 BT di kedalaman 173 Km. Gempa tersebut berpotensi tsunami.

Berdasarkan monitoring muka air Laut (Tide Gauge) menunjukan adanya perubahan muka air laut di Ternate setinggi 6 cm (23.43 WIB), Jailolo setinggi 9 cm (23.43 WIB) dan Bitung 10 cm tanggal 15 November 2019 (00.08 WIB) . Peringatan Dini Tsunami ini dinyatakan berakhir pada hari Jum’at tanggal 15 November 2019 pukul 01.45 WIB. (asr)

Produk Kapas yang Diduga Bersumber dari Kamp Kerja Paksa di Xinjiang Diminta Diblokir

0

Visiontimes.com

Komisi Eksekutif-Kongres AS untuk Tiongkok atau The U.S. Congressional-Executive Commission on China -CECC- telah meminta kepada Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan pemerintahan AS, untuk menegakkan hukum terkait pemblokiran impor barang yang bersumber dari kamp kerja paksa di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang  di Tiongkok.

The U.S. Congressional-Executive Commission on China menyatakan barang-barang dan pakaian yang dibuat di Xinjiang, atau dengan komponen yang diproduksi Xinjiang, beresiko dibuat dengan kerja paksa. 

Melansir dari visiontimes.com, Risiko dari kerja paksa begitu besar sehingga sulit, sehingga bagi perusahaan untuk melakukan uji tuntas yang sesuai terhadap rantai pasokan mereka di wilayah tersebut. 

Selain itu, bukti menunjukkan bahwa jika sebuah pabrik di Xinjiang mempekerjakan pekerja paksa, seluruh kelompok perusahaan yang mengendalikan pabrik kemungkinan dipengaruhi oleh kerja paksa. 

Komisi Eksekutif-Kongres AS untuk Tiongkok baru-baru ini mengadakan dengar pendapat, di mana para saksi memberikan kesaksian bagaimana pemerintah komunis Tiongkok memaksa Uighur dan minoritas Muslim  lainnya di Xinjiang menjadi buruh di luar kehendak mereka. 

Barang-barang yang diproduksi dilaporkan dijual oleh merek internasional, termasuk barang-barang seperti H&M, Adidas, dan Esprit. 

Sebuah laporan baru-baru ini dari  Center for Strategic and International Studies (CSIS) menemukan, bahwa industri pakaian jadi yang paling terpengaruh karena kerja paksa. 

Xinjiang bertanggung jawab atas lebih dari 80 persen produksi kapas Tiongkok. Sekalipun AS berhenti mengimpor pakaian dari Xinjiang, kemungkinan pakaian dari daerah lain di Tiongkok, akan memiliki komponen yang dibuat dari kamp kerja paksa di Xinjiang. 

Surat yang dikirim oleh komisaris Komisi Eksekutif-Kongres AS untuk Tiongkok meminta badan Pabean dan Perlindungan Perbatasan AS, untuk menyiapkan laporan tentang perusahaan garmen Tiongkok dan Hong Kong yang menggunakan bahan  diproses di Xinjiang. 

Perusahaan yang terbukti terlibat dalam kegiatan tersebut akan menghadapi tindakan tegas dari pihak berwenang. 

Sementara itu, American Apparel & Footwear Association -AAFA- telah mengeluarkan pernyataan sebagai tanggapan terhadap laporan CSIS, di mana organisasi mengumumkan komitmennya untuk menangani masalah kerja paksa.

American Apparel & Footwear Association dalam pernyataannya yang dirilis di fashionunited.com menyatakan, pihaknya telah bekerja erat dengan anggotanya untuk mendidik mereka dengan informasi yang tersedia tentang praktik perburuhan di provinsi Xinjiang, sehingga mereka dapat melakukan uji tuntas yang diperlukan untuk memastikan bahwa produk tidak dibuat atau menggunakan komponen yang disentuh oleh kerja paksa. 

Organisasi itu menyatakan,  kunci untuk berhasil mencegah kerja paksa adalah kolaborasi dan berbagi informasi dengan pemasok, pemerintah AS dan asing, LSM, lembaga think tank, dan pemangku kepentingan utama lainnya. 

Beberapa perusahaan teknologi AS terlibat dalam mendistribusikan aplikasi dan barang fisik perusahaan Tiongkok, yang mana dituduh terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dan di tempat lain. 

Dahua Technology, Hikvision, dan iFlytek adalah tiga perusahaan yang masuk daftar hitam pemerintah AS baru-baru ini. 

Perusahaan-perusahaan Amerika pada dasarnya dilarang menjual barang ke perusahaan-perusahaan tersebut.

Namun demikian, perusahaan teknologi besar AS seperti Amazon, Google, Apple, dan eBay telah diidentifikasi sebagai menjual produk dari tiga perusahaan Tiongkok ini. 

James Millward, seorang profesor di Sekolah Universitas Georgetown, mengatakan, orang-orang mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan itu adalah di antara pemasok rezim pengawasan di Xinjiang dan seluruh spektrum penahanan, hal demikian menunjukkan betapa sulitnya untuk mencoba menekan Komunis Tiongkok pada masalah tersebut seperti dikutip BuzzFeed.

Amazon dan eBay ditemukan mendaftarkan ratusan produk dari Hikvision dan Dahua.  Keduanya memproduksi teknologi pengawasan. Dahua memiliki lebih dari belasan aplikasi di Google dan toko aplikasi Apple, yang sebagian besar terkait dengan pengawasan. (asr)

Foto : Ilustrasi kapas (Pixabay)

Kanada Dukung Gugatan Kasus Genosida Myanmar Terhadap Minoritas Rohingya di Mahkamah Internasional

0

THE CANADIAN PRESS/The Epochtimes

Kanada mendukung gugatan genosida terhadap pemerintah Myanmar atas kekerasan sistemik yang memaksa lebih dari 700.000 Muslim Rohingya meninggalkan negara mereka.

Gambia mengajukan permohonan kasus genosida pada 11 November kepada Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda. Gugatan itu didukung Organisasi Kerjasama Islam (OKI), sebuah kelompok yang terdiri dari 57 negara Muslim.

Menteri Luar Negeri Kanada, Chrystia Freeland mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa langkah itu akan memajukan pertanggungjawaban atas kejahatan genosida, yang meliputi pembunuhan massal, diskriminasi sistemik, ujaran kebencian, dan kekerasan berbasis seksual dan gender.

Pemerintah Kanada akan mencari cara untuk mendukung upaya hukum Gambia. Untuk itu, ia mengatakan pemerintahnya akan meminta bantuan mantan pemimpin sementara Liberal dan politikus Bob Rae, yang juga menjabat sebagai utusan khusus Kanada untuk Myanmar.

“Kanada akan bekerja dengan negara-negara yang berpikiran sama untuk mengakhiri impunitas bagi mereka yang dituduh melakukan kejahatan paling buruk di bawah hukum internasional,” demikian pernyataan Menlu Kanada Freeland.

Chrystia Freeland menegaskan, memastikan para pelaku kekejaman tersebut dimintai pertanggungjawaban sangat penting untuk memberikan keadilan kepada para korban dan orang yang selamat, sambil membangun perdamaian dan rekonsiliasi yang abadi di Myanmar. 

Bob Rae, dalam laporannya tentang Myanmar yang dirilis tahun lalu, mendesak Kanada untuk memainkan peran utama dalam penuntutan internasional terhadap para pelaku kekerasan di negara Asia Tenggara itu.

Rae juga memprediksi tantangan hukum bagi komunitas internasional, jika ia memutuskan untuk mengejar penuntutan terhadap para pemimpin Myanmar atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Tantangan utama adalah menciptakan pengadilan yang kredibel dan independen yang dapat mendengarkan kasus tersebut. Bob Rae mencatat, bahwa pengadilan khusus dibentuk untuk menuntut kejahatan perang di Kamboja, Rwanda, dan bekas Yugoslavia.

Pada bulan September 2018, House of Commons atau parlemen Kanada dengan suara bulat mendukung mosi yang mengatakan kejahatan terhadap Rohingya adalah genosida. 

Mosi itu juga menegaskan kembali seruan kepada Dewan Keamanan PBB untuk merujuk Myanmar ke Pengadilan Kriminal Internasional.

Gerakan itu bertepatan dengan misi pencarian fakta PBB yang melaporkan militer Myanmar secara sistematis membunuh ribuan warga sipil Rohingya. Yang mana, membakar ratusan desa mereka dan terlibat dalam pembersihan etnis dan pemerkosaan massal oleh geng. Seruan itu menyerukan pucuk jenderal Myanmar untuk diselidiki dan dituntut karena genosida.

Sebuah pernyataan pada 11 November dari Human Rights Watch atas nama 10 organisasi non-pemerintah internasional mentyatakan, bahwa langkah oleh Gambia mewakili “pengawasan pengadilan pertama atas kampanye pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, dan kekejaman Myanmar lainnya terhadap Muslim Rohingya.

Tercatat, bahwa Kanada, Bangladesh, Nigeria, Turki, dan Prancis “telah menegaskan bahwa Myanmar melakukan genosida terhadap Rohingya.”

Pada Oktober 2018, Kanada juga menanggalkan status Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil Myanmar, tentang kewarganegaraan Kanada kehormatannya karena keterlibatannya dalam kekejaman. 

Aung San Suu Kyi telah terkenal selama beberapa dekade sebagai pemimpin yang secara damai menentang penguasa militer di negaranya.

Militer Myanmar melancarkan serangan terhadap Rohingya pada Agustus 2017. 

Sebagian besar etnis Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Pelarian mereka telah menciptakan salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia. (asr)


FOTO : Pengungsi Rohingya berjalan menuju sebuah kamp pengungsi setelah melintasi perbatasan di Anjuman Para dekat Cox’s Bazar, Bangladesh, 19 November 2017. (Reuters / Mohammad Ponir Hossain)

Venesia Mengalami Air Pasang Besar yang Sangat Jarang Terjadi Sebelumnya

0

Lin Lixia

Pada 12 November 2019 malam, Venesia yang dijuluki sebagai Kota Kanal di Italia tergenang  air karena air laut sedang pasang. Adegan genangan air yang paling langka sejak tahun 1966 itu menyebabkan sebagian tempat tergenang sampai 1.87 meter.

Sebagaimana disampaikan oleh pejabat kota Venesia bahwa banjir yang melanda seluruh kota itu menelan 2 orang korban tewas. 1 di antaranya adalah seorang kakek berusia 78 tahun. Hingga 13 November 2019, air pasang besar masih mengancam kota tersebut.

Menurut media Prancis ‘Le Monde’, kota Venesia tergenang oleh air pasang terbesar dalam bersejarah. Sekitar pukul 21:40 malam itu ketinggian air naik mencapai 1,87 meter, ketika ketinggian air mencapai 1,1 meter, kota telah memasuki kondisi siaga. Semua lalu lintas air terganggu.

Banyak bangunan dan toko di pusat kota Venesia telah tergenang air, menyebabkan kerusakan serius, terutama kerusakan pada artefak bersejarah yang bernilai tinggi. Walikota Venesia Luigi Brugnaro secara terbuka menyatakan bahwa Venesia mengalami malam bencana. 

Venesia pernah mengalami banjir besar pada tahun 1966 dengan ketinggian air genangan sampai 1.94 meter. Secara umum, sangat jarang Venesia tergenang air sampai ketinggian 1,4 meter saat air laut sedang pasang.

La place Saint-Marc, salah satu tempat terendah di Venesia, memiliki kedalaman air lebih dari 1 meter. Kali ini merupakan keenam kalinya Katedral St Mark  kebanjiran dalam 1200 tahun terakhir. Pihak berwenang terpaksa menurunkan petugas untuk menjaga bangunan sepanjang malam.

Pihak berwenang Venesia mengumumkan bahwa di pulau Pellestrina malam itu, seorang pria berusia 78 tahun tewas karena tersengat listrik saat banjir melanda.

Venesia dikenal sebagai kota paling indah di dunia dan menerima sekitar 20 juta orang wisatawan setiap tahunnya. Venesia memiliki populasi sekitar 260.000 jiwa dengan penduduk yang tinggal di daerah kota tua mencapai sekitar 60.000 jiwa. (sin)

Peringati 30 Tahun Runtuhnya Tembok Berlin, Pidato Mike Pompeo di Berlin Sebut Ancaman dari Komunis Tiongkok

0

Wang Yixiao melaporkan dari Berlin, Jerman

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo memperingatkan, bahwa momok komunisme belum lenyap, Amerika Serikat dan Eropa harus bersatu untuk membela kebebasan.

Dia menyebut langsung ancaman dari komunis Tiongkok  terhadap dunia dan mengklarifikasi bahwa rezim Komunis Tiongkok tidak sama dengan rakyat Tiongkok.

Hal demikian disampaikannya dalam pidato di Jerman yang menandai peringatan 30 tahun jatuhnya Tembok Berlin.  

Pompeo menyampaikannya saat berbicara di lembaga think tank Koerber Stiftung, yang terletak di dekat Gerbang Brandenburg yang terkenal di Berlin, Jerman, pada (8/11/2019). 

Dalam pidatonya, Pompeo mengatakan bahwa ketika Presiden Bush berkuasa, ada ahli yang mengatakan bahwa Tembok Berlin masih akan eksis selama 50 hingga 100 tahun lagi. Namun tidak lama kemudian, Tembok Berlin runtuh.

Dia mengatakan bahwa setelah 30 tahun runtuhnya Tembok Berlin,  tidak hanya harus merayakannya, tetapi juga harus bersatu untuk mempertahankan kebebasan dan nilai-nilai demokrasi. Karena prinsip kebebasan tidak terjadi begitu saja, momok komunisme saat ini belum lenyap sepenuhnya dan ancaman komunisme masih ada.

Pompeo memperingatkan bahwa kebijakan agresif komunis Tiongkok dan Rusia akan menimbulkan ancaman. Dia menyebutkan, Komunis Tiongkok membentuk visi baru otoriterianisme. Komunis Tiongkok juga menggunakan taktik dan metode untuk menekan rakyatnya sendiri yang akan sangat akrab bagi bekas Jerman Timur. 

Dia mengatakan bahwa Komunis Tiongkok mengganggu kedaulatan negara-negara tetangga, dan bahkan melecehkan dan memantau para pembangkang di Xinjiang dan Hong Kong, meskipun mereka telah  mengasingkan diri ke Jerman atau negara lain.

Pompeo dengan blak-blakan mengatakan bahwa teknologi pemantauan dari komunis Tiongkok sangat mengerikan, direktur intelijen Jerman juga mengatakan bahwa Huawei tidak dapat dipercaya, Huawei adalah alat dari komunis Tiongkok

Dalam menjawab pertanyaan awak media, Pompeo dengan jelas menyebutkan bahwa Amerika Serikat menargetkan rezim Komunis Tiongkok, bukan rakyat Tiongkok, merujuk pada kekuasaan totaliter komunis Tiongkok dan dampaknya terhadap dunia.

Mengenai masalah Hong Kong, Pompeo mengatakan bahwa Amerika Serikat telah dengan jelas menyatakan kepada pemerintah Tiongkok. Komunis Tiongkok harus mengimplementasikan komitmennya atas prinsip satu negara, dua sistem dan memungkinkan orang-orang Hong Kong untuk hidup dalam sistem yang berbeda. Ia berharap orang-orang Hong Kong tetap bertahan dalam kedamaian dan tanpa kekerasan, orang-orang yang mencintai kebebasan akan mendukung mereka dan semoga mereka mendapatkan hasil yang diharapkan.

Dia mengatakan bahwa meskipun Tembok Berlin telah runtuh, namun pemerintahan totaliter masih ada. 

Bagi para penguasa totaliter, peringatan 30 tahun runtuhnya Tembok Berlin tidak layak dirayakan, tetapi lebih kepada ketakutan, mereka terus merusak tatanan dunia yang bebas dan adil dan menggunakan tatanan ini untuk mencapai tujuan mereka.

Pompeo mengimbau Jerman untuk bersatu dengan Amerika Serikat dan sekutu untuk melawan Totaliterisme/atau pemerintahan totaliter dan mempertahankan nilai-nilai kebebasan dan demokrasi. Amerika Serikat dan Jerman pernah menyelesaikan tanggung jawab historis bersama dan akan terus berdiri bersama di masa depan.

Pada 9 November 2019, adalah peringatan runtuhnya Tembok Berlin. Pada malam 30 tahun yang lalu, mantan pejabat tinggi Jerman Timur mengumumkan bahwa mereka akan segera mengizinkan warga untuk meninggalkan negara itu. 

Puluhan ribu warga Berlin Timur berbondong-bondong ke pos pemeriksaan di perbatasan Berlin Barat. Polisi perbatasan yang bingung dan ditengah kekacauan itu membuka pagar pembatas di luar Tembok Berlin. Tembok Berlin seketika kehilangan fungsinya dan roboh di terjang massa. Setelah itu, rezim komunis di Jerman Timur runtuh. 11 bulan kemudian, Jerman Timur bergabung dengan Jerman Barat yang liberal dan demokratis, mewujudkan persatuan dua Jerman.

Sebagai promotor aktif kebijakan anti-komunis, kunjungan Menteri Luar Negeri AS ke Jerman pada hari peringatan bersejarah ini mengandung makna tertentu. Pompeo sangat bangga berbicara di depan Gerbang Brandenburg yang terkenal di Berlin, Jerman, karena Amerika Serikat dan Jerman pernah bekerja sama dan mengalahkan komunisme.

Kali ini ia Pompeo diundang oleh The Körber Foundation Jerman, untuk memberikan pidato sebagai episode dari rangkaian kegiatan “Dialog Kepemimpinan Global”. Presentasi diadakan di cabang The Körber Foundation, tepat di sisi Pariser Platz di depan Gerbang Brandenburg, Jerman.

Dalam pidatonya, Pompeo juga menyebutkan bahwa hubungannya dengan Jerman dimulai pada awal 1980-an, ketika dia baru berusia 20-an. Dia adalah seorang prajurit muda Amerika di Jerman dan bahkan bertugas di perbatasan Jerman Timur dan Barat. Pada saat itu, dia tidak mengerti rezim macam apa membangun tembok bertulang beton untuk mencegah orang keluar. Dia juga tidak tahu sama sekali kapan perang dingin akan berakhir.

Namun, satu hal yang pasti adalah dia harus melakukan yang terbaik untuk melawan. Dan Amerika Serikat memiliki keunggulan absolut karena bimbingan Tuhan.

Pada tahun 1987, Presiden AS Ronald Reagan memberikan pidato di sisi Gerbang Brandenburg di Berlin Barat, dan ia secara terbuka meminta Gorbachev untuk merobohkan Tembok Berlin, dan dua tahun kemudian harapannya menjadi kenyataan. (jon)