Shi Shan
Perihal dunia ibarat catur, perubahannya tak terduga. Situasi dunia saat ini, sangat mirip dengan lebih dari seabad lalu. Kondisi yang dihadapi PKT (Partai Komunis Tiongkok) sebenarnya sangat berbahaya.
Tahun lalu pada saat ini, mungkin tidak seorang pun di seluruh dunia akan menduga, Rusia yang merupakan negara militer kedua terkuat di dunia, akan mengalami situasi seperti hari ini dalam perang Ukraina. Dua hari lalu (29/05), pemimpin tentara bayaran Wagner yakni Yevgeny Viktorovich Prigozhin, telah diwawancarai self-media garis keras, hasil yang dibicarakan sebenarnya sangat membuat warga Rusia bersedih. Seorang warganet menyimpulkan perkataannya, ada tiga kalimat sangat menarik: “Sepertinya akan kalah – perang nuklir tidak bisa dikobarkan – harus berusaha sekali lagi”.
Duta khusus masalah Ukraina yang diutus oleh Xi Jinping yakni Li Hui, usai berkeliling Eropa kembali ke Beijing dengan perasaan tertekan. “Usulan Perdamaian” PKT, tidak membuat siapa pun tertarik, kecuali Rusia.
Kepala penasihat diplomatik Zelensky yakni Ihor Zhovkva secara lugas menohok, Ukraina sama sekali tidak tertarik dengan usulan gencatan senjata dari PKT. Tidak tertarik pada gencatan senjata yang mengizinkan Rusia tetap mempertahankan wilayah Ukraina yang telah dikuasainya, jika ingin gencatan senjata, pasukan Rusia harus ditarik mundur seluruhnya dari wilayah Ukraina.
Anggota Dewan Keamanan Nasional AS (Amerika Serikat) yakni John F. Kirby berpendapat, usulan perdamaian versi Xi Jinping yang dibawa oleh Li Hui hanya menghimbau gencatan senjata tapi tidak meminta Rusia menarik pasukannya, itu berarti telah mengizinkan Rusia secara ilegal menduduki wilayah negara lain dengan kekuatan militer.
Seorang pejabat diplomatik Eropa mengatakan kepada surat kabar Wall Street Journal, “Kami menjelaskan pada PKT, kecuali Rusia menarik pasukannya, jika tidak, berarti itu hanya membekukan konflik, yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat internasional.” Orang Eropa menganggap, yang diperhatikan PKT sepertinya hanya untuk memastikan agar Rusia tidak sampai terkalahkan dalam perang ini, dan agar Moskow tidak menggunakan senjata nuklir.
Sikap Ukraina, Eropa, dan AS semacam ini sangat mudah dipahami. Jika ada orang yang tiba-tiba menerobos masuk ke rumah Anda, dan Anda bangkit melawan, lalu si penyusup terlihat mulai kepayahan, mendadak ada orang lain memberitahu kedua belah pihak agar berhenti untuk beristirahat sejenak, serta mengakui “realita” yang terbentuk setelah si penyusup menerobos masuk, sepertinya tidak akan ada orang yang bersedia menerimanya.
Realitanya, pandangan mata dunia sekarang telah beralih dari Eropa, berpindah ke Asia Pasifik.
Bagi para fans merah yang memuja pemikiran diplomatik besar ala Xi Jinping, masalah baru-baru ini yang agak membingungkan adalah, mengapa dalam pertemuan klub terkait masalah besar dunia, Tiongkok tidak diundang lagi. Mulai dari G7, lalu Voice of Global South Summit yang diadakan India dengan mengundang 120 negara, sampai EU Indo-Pacific Ministerial Forum, tidak terlihat jejak Tiongkok. Sebenarnya tak hanya ketiga konferensi ini saja, sistem transaksi Asia Selatan untuk menghindari risiko dolar AS yang dilakukan oleh Iran, juga tidak mengundang partisipasi Tiongkok.
Komandan USINDOPACOM yakni John Aquilino dalam satu pidato terbuka membicarakan situasi Selat Taiwan. Ia berkata, misi yang diberikan Presiden AS kepada militer, yang pertama adalah mencegah terjadinya perang, yang kedua adalah bila perang terjadi, militer AS harus memenangkan perang. Perkataan ini, terdengar sangat menyakitkan di telinga orang-orang yang masih berpikir bahwa AS tidak akan campur tangan dalam perang di Selat Taiwan. Dulunya AS selalu memperlakukan PKT dengan strategi abu-abu, kemudian Presiden Biden terus menerus memastikan militer AS akan mengirim pasukan untuk terjun langsung dalam perang Selat Taiwan, tapi masih ada saja orang yang tetap mengukuhi pandangan tersebut.
Ini ada kaitannya dengan perang kognitif yang dikobarkan PKT di Taiwan. Kubu unifikasi di Taiwan bekerjasama dengan front persatuan RRT, secara besar-besaran mempromosikan “teori meragukan AS”. Teori meragukan AS terbagi menjadi tiga tahap, yang pertama adalah AS tidak akan campur tangan, yang kedua adalah walaupun AS campur tangan tidak akan bisa mengalahkan RRT, yang ketiga adalah campur tangan AS adalah dengan cara memanfaatkan Taiwan sebagai alat untuk menyerang RRT, dan bukan untuk melindungi Taiwan.
Tahap pertama dari teori meragukan AS itu sekarang sudah jarang dibicarakan lagi. Tahap ketiga sebenarnya tak banyak yang bisa dibicarakan secara politik internasional, karena setiap negara dimanfaatkan oleh negara lain, setiap negara juga memanfaatkan negara lain, yang berguna baru memiliki nilai kegunaan, hanya negara yang amburadul yang tidak memiliki nilai yang bisa dimanfaatkan. Sedangkan tahap kedua, kali ini Aquilino secara lugas mengatakannya, yaitu jika AS campur tangan langsung dalam perang Selat Taiwan, maka AS harus menang.
Dalam pidatonya Aquilino juga mengatakan, jika PKT mengobarkan perang di Selat Taiwan, jangan harap bisa meraih kemenangan dengan cepat, begitu tembakan pertama dilepaskan, maka PKT akan kehilangan inisiatif mengendalikan perang. Maksudnya adalah, perang atau tidak tergantung pada PKT, tapi begitu perang dimulai, sampai sejauh mana dan seberapa luas ruang lingkup perang, kapan perang akan berhenti, bukan ditentukan oleh PKT lagi.
Wadah pemikir AS sejak dulu telah meneliti, jika PKT menginvasi Taiwan, maka AS memiliki dua opsi strategis, campur tangan atau tidak. Jika campur tangan, maka akan ada dua opsi lagi yakni campur tangan tak langsung dan campur tangan langsung. Campur tangan tak langsung, antara lain dengan sanksi ekonomi ditambah penjualan senjata, sedangkan campur tangan langsung, berarti mengirim pasukan langsung untuk membantu Taiwan.
Mengenai campur tangan langsung, AS memiliki tiga opsi. Opsi pertama adalah bertahan secara pasif, ini berarti misi utama militer AS adalah mencegah RRT mendarat di Taiwan dan menguasai Taiwan; dan opsi kedua adalah bertahan aktif terbatas, ini berarti operasi militer AS akan melampaui garis tengah Selat Taiwan, bahkan akan menyerang sasaran RRT di pesisir pantai, termasuk lapangan terbang dan pelabuhannya; serta opsi ketiga adalah, perang menyeluruh.
Laporan sejumlah wadah pemikir menilai, cara terbaik adalah opsi ketiga, jika PKT menyerang Taiwan, AS seharusnya menggelar perang menyeluruh terhadap RRT, dengan demikian dapat mempertahankan hegemoni global setidaknya untuk lima puluh tahun ke depan.
Dari sudut pandang taktik perang, pilihan ini sepertinya juga sangat perlu. Karena bertahan secara pasif dan perang terbatas, seluruh inisiatif ada di tangan RRT, mungkin AS akan terjebak dalam situasi serba sulit. Kapan perang akan meletus? Akan dimulai dimana? Akan meletus dengan cara apa? Dalam hal ini AS harus menunggu Beijing beraksi lebih dulu baru bisa bertindak.
Untuk hal ini harus dibicarakan dari dua kali perang langsung antara AS dengan RRT. Yang pertama adalah Perang Korea, dan yang kedua adalah Perang Vietnam. Dalam Perang Korea, pasukan PBB yang dipimpin AS sebenarnya bertahan secara terbatas, karena otorisasi dari PBB adalah memulihkan kembali rezim Korea Selatan.
Sementara dalam Perang Vietnam, pasukan AS terhambat di selatan, dan melulu melakukan pemboman ke utara, dan sepenuhnya berada dalam kondisi pertahanan pasif. Dalam dua kali perang tersebut, AS tidak sampai menang mutlak, terutama dalam Perang Vietnam. Walaupun dalam Perang Vietnam yang berhadapan langsung dengan pasukan AS terutama adalah Vietkong, tetapi faktor PKT di belakang Vietkong sudah menjelaskan dengan sendirinya.
Masalahnya adalah, ketika kemampuan Beijing hanya bisa menjaga diri dan kawasan di sekitarnya, maka mundurnya AS hanya bisa dibilang kegagalan regional saja. Sementara dalam perang yang mungkin akan meletus di Selat Taiwan, bagi AS akan menjadi titik balik yang krusial bagi status global.
Sekarang RRT telah memiliki kemampuan menantang AS secara global, begitu perang di Selat Taiwan telah gagal, maka AS akan mengalami kekalahan global yang sangat besar, semua aliansi dengan AS mungkin akan lenyap, sementara hubungan aliansi yang longgar, seperti hubungan aliansi keamanan antara ASEAN dengan AS, akan mengalami kehancuran besar.
Oleh sebab itu, bagi AS, perang (yang mungkin terjadi) di Selat Taiwan adalah perang bertahan hidup. Bila Selat Taiwan ada masalah, maka AS akan ada masalah, berarti seluruh dunia akan ada masalah.
Bagaimana AS akan berperang secara menyeluruh disini? Sebenarnya dalam riset wadah pemikir sebelumnya juga telah dibahas berulang kali, fokus utamanya adalah memanfaatkan keunggulan Angkatan Udara. Menurut rancangan mereka, tahap pertama adalah memanfaatkan peluang saat RRT menyerang Taiwan, dengan menghabiskan pesawat tempur canggih milik mereka.
Walaupun Beijing memiliki jet tempur generasi kelima jenis J-20, tapi jumlahnya sangat terbatas, begitu pula dengan generasi keempat, pesawat generasi keempat RRT tidak bisa sepenuhnya diproduksi secara nasional, tapi masih dibutuhkan pasokan suku cadang krusial dari luar negeri, ini akan menghambat pasokan untuk kerusakan akibat perang pada jet tempur canggih AU RRT. Tahap kedua adalah menguasai keunggulan di udara secara penuh, menghancurkan secara presisi lokasi militer RRT di sepanjang pesisir pantai. Tahap ketiga adalah, melakukan pengeboman tepat sasaran terhadap titik krusial di dalam negeri Tiongkok, termasuk jembatan, terowongan, pembangkit tenaga listrik, telekomunikasi, dan pusat komando. Tahap keempat adalah, menyapu bersih basis industri militer dan industri berat.
Tujuan pasukan AS bukan untuk menguasai daratan Tiongkok, melainkan mengikis kekuatan tempur PKT secara besar-besaran. Setelah itu, mayoritas pekerjaan akan berubah menjadi membantu kekuatan separatis dan resistensi di dalam negeri Tiongkok, mendukung kaum oposisi politik dan lain sebagainya.
Setelah memahami proses ini, pembaca baru dapat memahami perkataan Aquilino yang mengatakan, “begitu perang meletus, maka kapan perang akan berhenti, sudah bukan lagi ditentukan oleh PKT”. Perlu disebutkan juga, Admiral Aquilino adalah mantan pejabat intelijen AU.
Pada 25 April lalu Gedung Putih secara resmi mencalonkan Charles Q. Brown Jr. sebagai Ketua Gabungan Kepala Staf AS, untuk menggantikan Mark Milley yang akan segera usai masa jabatannya. Ini adalah untuk pertama kalinya AS mengangkat seorang jenderal AU untuk menjabat posisi ini, dan Brown sendiri juga pernah menjabat sebagai komandan 8th Fighter Wing di Korea Selatan, juga pernah menjabat sebagai wakil komandan AU pada USINDOPACOM, tugas utamanya adalah koordinasi operasi udara antara AU dengan AL. Brown sendiri juga memiliki pengalaman menerbangkan jet tempur sebanyak lebih dari 3.000 jam terbang, dengan penerbangan perang lebih dari 130 jam.
Pengalaman ini, sekaligus dari sisi lain membuktikan bahwa AS akan terjun dalam perang di Selat Taiwan, kekuatan gempuran udara AS akan memainkan peran yang paling penting. AU adalah kaki bagi pasukan AS, sementara AL dan AD adalah tangan bagi militer AS, seperti dalam filosofi salah satu aliran beladiri kungfu Tiongkok, tangan adalah dua daun pintu, untuk memukul sepenuhnya mengandalkan kaki. Tentunya militer hanyalah salah satu cara untuk mewujudkan tujuan politik. Yang benar-benar ditempatkan AS, adalah strategi kepungan dalam hal ekonomi dan teknologi. Ada teman mengatakan, AS tidak berhasil dalam rapat G7, yang akhirnya berkompromi dengan Eropa, sehingga tidak disebutkan sasaran decoupling ekonomi.
Faktanya, dalam artikel kami telah berulang kali ditekankan, sasaran AS ada tiga lapisan, kooperasi, kompetisi, dan konfrontasi. Dalam rapat G7 kali ini, semua negara telah mengemukakan kebijakan “menghilangkan risiko dan tidak decoupling”, inilah pernyataan dengan profil rendah untuk sasaran ini. Tiga lapisan, kooperasi atau kerjasama penuh dalam produk yang bersifat padat karya, sedangkan dalam industri manufaktur presisi antara lain produksi elektronik umum, produksi mesin, dan produksi teknik kimia dilakukan kompetisi. Terutama dalam hal menerapkan kebijakan “China+1” yang dikemukakan Jepang, menghapus monopoli oleh PKT. Sedangkan dalam hal teknologi canggih, menerapkan konfrontasi total, untuk mengisolasi PKT sepenuhnya.
Inilah strategi untuk dua dekade, jika tidak ada perang Selat Taiwan, efek nyata akan terlihat dalam waktu sekitar 20 tahun mendatang. Perlu diketahui, sekarang Tiongkok berada dalam tahap jebakan pendapatan menengah, Tiongkok sangat membutuhkan transformasi industri untuk merealisasikan lompatan mereka.
Kami senantiasa mengatakan, secara politik kadang kala hanya dikatakan tapi tidak dilakukan, kadang kala hanya dilakukan tapi tidak dikatakan, kadang kala banyak bicara sedikit bekerja, kadang kala banyak bekerja sedikit bicara. Kebijakan dialog AS saat ini, pada dasarnya adalah banyak bekerja sedikit bicara. Menunggu sampai hasilnya sudah kelihatan menonjol, mungkin segala sesuatunya sudah terlambat. (Sud/whs)