Operasi Trisula: Rontaan Terakhir Partai Komunis Indonesia

Oleh : Iswahyudi

PKI telah memberontak sebanyak 3 kali di Indonesia

Epochtimes.id– Pertama tahun 1926 yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono ketika itu aksi berbentuk pemogokan  buruh yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Kedua, pemberontakan pada  tahun 1948 dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin yang ditujukan kepada pemerintah Republik Indonesia yang hampir bersamaan dengan Agresi Militer Belanda.

Ketiga, pemberontakan pada 1965 yang biasa disebut G30S – PKI. Dan inilah pemberontakan komunis terbesar dengan jumlah korban yang sangat masif di kalangan rakyat jelata. Aksi kudeta ini dimulai dengan pembunuhan 7 petinggi Angkatan Darat oleh pasukan Cakra Birawa yang sudah disusupi oleh komunis yang dipimpin oleh Letkol Untung.

Kudeta ini bisa dibilang gagal karena tidak berhasil mewujudkan misinya untuk hendak mengubah Indonesia dengan UUD’45 dan ideologi Pancasila menjadi negara komunis. Aksi ini dengan sigap dapat dipatahkan oleh jendral Soeharto, PKI yang memulai dengan revolusi kekerasan untuk mewujudkan tujuan gerakannya akhirnya harus membayar buah yang ditanamnya dengan sangat mahal.

Aksi kontra komunisme yang dipimpin oleh jendral Soeharto juga menempuh jalan yang sama untuk menumpas PKI dan anasir-anasirnya bahkan orang- orang yang tidak terlibat langsung terutama rakyat kecil yang nimbrung suasana jadi sasaran gerakan kontra komunisme tersebut.

Sehingga peristiwa itu bagi bangsa Indonesia merupakan  tragedi kemanusiaan terburuk dalam sejarah. Sebuah perang sesama elemen bangsa sendiri yang terinspirasi oleh revolusi kekerasan ala komunis. Tak ada proses pengadilan terjadi pada waktu itu. Kejahatan dibalas dengan kejahatan.

Pembantaian dibalas dengan pembantaian. Banyak Ahli tentang komunisme berbicara, ini tak seberapa dibandingkan jika seandainya kaum komunis berhasil dalam melakukan kudeta.

Pelajaran sejarah gerakan komunisme dari Rusia, Tiongkok dan Kamboja yang menyebabkan puluhan juta orang tewas secara langsung karena dibantai atau tewas secara tidak langsung lantaran kegagalan policy ekonomi amburadul yang berakibat kelaparan besar.

Upaya menggeliat bangkit dari sisa sisa PKI

Setelah banyak pentolan PKI ditangkap, beberapa benturan horisontal antara PKI dan kontra PKI terjadi dimana-mana, cukup banyak pentolan lain yang berhasil melarikan diri, menyamar serta membaur dengan simpatisan PKI di wilayah yang basis PKI-nya kuat terutama di daerah terpencil yang tak tersentuh pembangunan dan angka kemiskinannya tinggi. Misalnya daerah Blitar Selatan.

Sebenarnya PKI sudah banyak membuat Compro ( Committe Project) di wilayah Jawa Timur, selain Blitar Selatan terdapat: Compro Raung Argopuro, Compro Semeru Selatan, Compro Malang Selatan, Compro Kelud Kawi Arjuno, Compro Gunung Kendeng, Compro Lawu, Compro Benjeng. Dari sejumlah Compro itu, Blitar Selatanlah yang sudah siap untuk melakukan perlawanan karena banyak eks anggota militer pro PKI yang bersembunyi di sana.

Selain itu ada beberapa hal yang dipertimbangkan kenapa memilih Blitar Selatan.

Pertama secara geografis Blitar Selatan merupakan daerah yang terisolasi yang terdiri dari perbukitan dan gunung kapur yang tandus dan banyak Goa kapur yang cocok untuk persembunyian dalam taktik perang gerilya melawan pemerintah RI.

Kedua, secara sosioekonomi, warga Blitar Selatan terdiri dari para petani miskin yang toleran, senang membantu, bergotong royong, lugu dan naif. Selain itu daerah tersebut luput dari perhatian pemerintah pusat sehingga merasa eksistensinya diabaikan. Situasi seperti itulah yang menjadi sasaran empuk bagi gerakan komunisme yang sepertinya menawarkan sebuah harapan akan perbaikan.

Ketiga, secara budaya sebagian warga Blitar Selatan kala itu masih memercayai animisme dan dinamisme, dengan tingkat pendidikan rendah, filsafat “asal selamat” dan permisif serta  inferior terhadap pendatang sehingga menjadi obyek propaganda dari pelarian PKI.

Bagaimana PKI meraih simpati dan dukungan? Dan aksi apa yang mereka lakukan?

Dalam rangka untuk come back pasca kegagalan G30S PKI, maka tokoh pelarian PKI seperti Munir, Rewang dan Letkol Pratomo menyamar dan membaur dengan masyarakat di daerah yang basis PKI-nya kuat seperti Blitar Selatan.

Agar Perjuangan mereka tetap eksis mereka selalu konsisten dengan Azas Tri Panji PKI yang menekankan pejuangan bersenjata (Perjuta). Mereka menyusun kembali kekuatan massa didasarkan pada penguasaan desa-desa dulu, baru kemudian menyepung Kota, ini sesuai dengan prinsip gerilya Mao Tse Tung (ejaan pin yin: Mao Zedong) “Dari desa menguasai Kota”.

Mereka membentuk Compro di berbagai daerah yang bertugas untuk membuat peta pergerakan dan intens menggalang simpati rakyat melalui BAGIPROP (Badan Agitasi dan Propaganda). Massa yang terpengaruh dan mendukung dimasukkan ke dalam Detga (Detasemen Gerilya) dan Gerda (Gerilya Desa).

Mereka dibekali dengan kemampuan tempur seperti manajemen perang dan pengenalan senjata. Mereka dididik dalam SPR (Sekolah Perlawanan Rakyat) dan KPR (Komite Perlawanan Rakyat). Semua itu dilakukan untuk mengantisipasi bila ada serangan dari pihak ABRI (sekarang disebut TNI. Red.).

Usaha mereka mengkomuniskan Blitar Selatan tergolong berhasil. Ini disebabkan oleh beberapa Faktor, pertama, warga Blitar Selatan adalah warga yang terlupakan dari perhatian pemerintah. Kedua, blitar selatan pada Pemilu 1955 adalah basis PKI, perolehan suara PKI mencapai 85%.

Ketiga, mereka adalah warga miskin dan kurang terpelajar sehingga mudah dipengaruhi. Keempat, daerah tersebut adalah sarang kejahatan dan perampok sehingga keamanan warga terganggu. PKI menawarkan rasa aman bagi warga padahal mereka sendiri yang merampok dan berbuat onar.

Setelah kader PKI baru terbentuk maka mereka ditugasi untuk mengumpulkan suplai logistik dari warga simpatisan, melindungi tokoh PKI, menjadi kurir, penunjuk jalan dan mencari informasi serta membuat laporan.

Setelah mereka merasa cukup kuat, dimulailah aksi bersenjata di berbagi tempat antara lain,

Pertama, aksi balas dendam pada penumpasan PKI seperti pembunuhan Kyai Abdul Fatah (Anggota DPR GR) dan Kyai Tasrifin (Ketua GP Anshor Bojonegoro). Kedua, penyerangan CO Kandangan dengan merebut 2 pucuk senjata (pada 20 Februari 1968).

Ketiga, penyerangan PUSKOPAD Kaligentong, Kalidawir Tulungagung yang menewaskan Kopda Sukarman dan Praka Samuin serta merampas 3 pucuk Sten Gun, 9 Karaben dan 1 pistol (pada 1 maret 1968). Keempat, penyerangan gudang Kopasgat/AURI jl. NIAS 82 Surabaya namun tidak berhasil (pada 14 April 1968). Kelima, penyerangan Regu CI (Corps Intel) Batalyon Infantri 511 Panggung, Jirak Blitar Selatan.

Tiga personil tewas dan berhasil merampas 2 Sten Gun (pada 28 April 1968). Keenam, menyerang Caretaker Kepala Desa Kedung Banteng dan Lorejo. Merampas 5 pucuk Sten Gun (pada 31 Mei 1968). Ketujuh, penyerangan pos polisi Kalibening dan merampas 5 pucuk senjata.

Selain ketujuh aksi di atas masih banyak sabotase yang mereka lakukan seperti pemutusan kabel telepon, pengerusakan rel di Baureno, Bojonegoro, dan pembobolan tanggul Truni Babad Lamongan.

Respon Pemerintahan Orde Baru

Berhubung aksi nyata PKI mulai bermunculan, pemerintah Orde Baru melalui Kodam V Brawijaya membentuk Satgas TRISULA  pada 18 Mei 1968. Dan operasi trisula itu dimulai pada 8 Juni 1968. Operasi melibatkan ABRI, wanra, Kamra, petugas Ronda Desa.

Seluruh sektor Blitar Selatan dikepung dengan Operasi Pagar Betis dari segala penjuru. Jarak antara pasukan adalah sekitar lima meter sepanjang 80 KM bersama-sama bergerak menuju selatan sampai mencapai samudra India.

Dari operasi terpanjang dalam sejarah indonesia, organisasi PKI baik taktis maupun moril bisa dilumpuhkan. Beberapa hasil dari operasi Trisula tersebut antara lain:

Pertama, ditemukan banyak Ruang Bawah Tanah (ruba) tempat persembunyian combatan PKI.

Kedua, tertangkapnya tokoh PKI seperti Suwandi (CC PKI), Lie A Tung, Ruslan Wijayasatra, M. Munir, Rewang, Letkol Pratomo, Sutarto, Sujipto Hadi. Ketiga, penemuan dokumen dokumen Penting PKI.

Operasi trisula juga menyisakan cerita tragis pada masyarakat sekitar. Disinyalair banyak  orang yang salah tangkap turut dieksekusi.

Tim Epoch Times juga mewancarai Pak Rasyid (70) dari desa Sumberdadi, sebagai saksi hidup peristiwa tersebut.

Waktu itu usianya hampir 20 tahun. Ia menceritakan bahwa pada operasi pagar betis tersebut seluruh warga di daerahnya dikumpulkan di desa Bakung untuk di-screening apakah mereka terlibat PKI atau tidak.

Bagi yang terlibat menurut penuturannya dibawa oleh aparat dan sampai kini tidak ada kabar beritanya, yang tidak terlibat bisa pulang. Menurut penuturan Rasyid seorang tokoh terkenal PKI yaitu Ali Surahman tertembak mati di daerahnya.

Risno (60) alias mbah Embul, warga desa Plandirejo yang pada waktu itu berumur 10 tahunan, dalam wawancara menyebutkan bahwa banyak warga yang mendukung PKI karena ter-intimidasi. “Ikut PKI atau mati,” ujar mbah Mbul.

Ia yang pada waktu itu masih bocah mengatakan pernah menjadi kurir logistik dan informan dari kedua belah pihak. “Saya biasanya disuruh mengantar singkong pada orang yang bersembunyi di Goa atau hutan. Pernah sesekali saya mengangkut sekarung senjata tajam untuk dibawa ke tempat persembunyian. Kalau nanti ada orang berbaju hijau (tentara, Red.) bilang ndak tahu kalau ada orang bersembunyi di goa,” pungkas mbah Embul. (YUD/whs/asr)