Kaleidoskop Pelanggaran HAM Terhadap Komunitas Falun Dafa di Indonesia

Oleh Iswahyudi

69 Tahun yang lalu, tepatnya tanggal 10 Desember 1948 adalah tonggak bersejarah bagi kemanusiaan. Deklarasi Universal Hak Asasi manusia diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB di Paris Prancis. Isi dari deklarasi tersebut adalah pengakuan terhadap Hak-Hak Dasar Alamiah yang melekat pada setiap orang yang harus dihormati oleh setiap individu, kelompok dan bangsa di seluruh muka bumi.

Baca Juga : Universal Declaration of Human Rights

Deklarasi ini dilatarbelakangi oleh berbagai tragedi kemanusiaan yang muncul dalam masa Perang Dunia II  seperti kamp genosida di Jerman oleh NAZI-Hitler. Motivasi dasar dari dokumen bersejarah tersebut agar tercipta perdamaian dunia tanpa ada lagi manusia saling melenyapkan satu sama lain dan terciptanya persaudaran antar manusia, antar ras, antar kelompok, antar agama dan antar bangsa dalam suasana penuh kedamaian.

Pertanyaan mendasar yang muncul setelah 69 tahun pendeklarasian dokumen tersebut adalah apakah semua cita-cita mulia tersebut sudah terwujud?

Masih adakah pelenyapan paksa terhadap satu kelompok manusia oleh kelompok manusia

Rumah tentang HAM yang dihadapi oleh umat manusia. Teror dan perang masih terus berkecamuk di berbagai pelosok dunia. Pelanggaran HAM masih saja terus terjadi.

Negara otoriter masih tetap ada dan justru di sanalah pelanggaran HAM masih terjadi dengan massif serta sulit terdeteksi oleh kalangan luar. Bahkan di negara yang mengklaim dirinya sudah memasuki era demokrasi, pelanggaran terhadap HAM juga sering terjadi walaupun dengan cara yang lebih halus dan terselubung.

Apa itu Falun Gong dan kenapa ditindas oleh PKT?

Sejak tanggal 20 Juli 1999 sampai kini adalah tahun yang mengerikan bagi pengikut spiritual Falun Dafa atau Falun Gong di Tiongkok. Terjadi pelanggaran HAM serius yang didiamkan dan disetujui oleh negara. Bahkan dalam hal ini negara- negara di dunia terpecah dalam menyikapi masalah ini. Ada yang keras menentang, ada yang mendukung dan kebanyakan “tahu seolah tidak tahu” alias masa bodoh.

Malam nyala lilin yang diselenggarakan praktisi Falun Gong mengenang 17 tahun berlangsung penindasan di Denpasar, Bali 24 Juli 2016 (Foto : Wayan Diantha/Istimewa)

Pada peristiwa penindasan terhadap Falun Gong ini nurani kemanusiaan seseorang atau sebuah bangsa diuji. Sensitivitas HAM masyarakat dunia dipertanyakan. Komunitas Falun Gong adalah sebuah komunitas yang mematut diri pada nilai-nilai universal “Sejati-Baik-Sabar” yang pada masa sebelum penindasan adalah komunitas yang populer dan memberikan sumbangsih nyata pada kesehatan dan perbaikan moralitas masyarakat Tiongkok pada waktu itu.

Namun situasi berubah ketika Sekjen PKT (Partai Komunis Tiongkok) kala itu Jiang Zemin merasa bahwa Falun Gong adalah ancaman bagi kekuasaannya. Paranoia dan iri hati membuat Jiang Zemin bertindak di luar akal sehat kemanusiaan.

Jiang mencetuskan bahwa kelompok Falun Gong adalah musuh negara dan ancaman bagi PKT dan kekuasaannya. Melalui “kantor 610” bentukannya ia melancarkan misinya untuk mencemarkan reputasi, membangkrutkan finansial dan memusnahkan secara fisik para pengikut spiritual Falun Gong.

Jiang melancarkan salah satu propaganda yang paling mahal di dunia untuk mencoba melenyapkan Falun Gong dari muka bumi dan mencoba membuat serangkaian fitnahan yang bertujuan agar massa seluruh Tiongkok dan seluruh dunia antipati dengan Falun Gong. Seluruh media RRT (Republik Rakyat Tiongkok) membombardir Falun Gong dengan berita fitnahan, dan dilansir ulang oleh media seluruh dunia.

Baca Juga : Fakta Bertahun-tahun Falun Gong Menjadi Korban Hoax

Namun kebenaran mempunyai jalannya sendiri untuk memanifestasikan dirinya. Pengikut spiritual Falun Gong muncul bak jamur di musim hujan. Muncul di mana-mana. Menjadi media hidup yang bercerita tentang fakta sebenarnya. Membuktikan bahwa semua media propaganda yang menyudutkan mereka adalah hoax dan imajinasi belaka.

Penindasan terhadap kelompok spiritual ini masih terus berlangsung hingga kini. Penculikan, penangkapan ilegal, penyiksaan, kamp kerja paksa, pemerkosaan, pembunuhan dan yang lebih kejam lagi perampasan organ dalam keadaan hidup demi memenuhi ambisi bisnis industri transplantasi RRT yang masih terus terjadi (Juga terjadi pada komunitas Katholik Vatikan, Kristen Rumahan, Islam Uighur dan Buddha Tibet. Red. ).

Suasana aksi memperingati permohonan damai 25 April 1999 dan praktisi Falun Gong tetap menyuarakan penghentian penindasan terhadap praktisi Falun Gong di Tiongkok di depan Kedutaan Besar RRT, Jalan Mega Kuningan, Jakarta, Sabtu (23/4/2016) (Foto : epochtimes.id)

Temuan yang mengejutkan berkaitan dengan hal tersebut di atas adalah investigasi dari dua pengacara HAM Kanada David Kilgour dan David Matas (baca juga: The International Coalition to End Organ Pillaging in China)

Pilihan antara hati nurani dan pragmatisme

Menyikapi pelanggaran HAM ini negara di dunia dihadapkan pada pilihan yang sangat berat. Antara idealisme HAM (tuntutan hati nurani) atau pragmatisme hubungan diplomatis dengan RRT. Kartu tentang Falun Gong ini sering dimainkan oleh RRT dalam hubungan bilateralnya dengan negara manapun di dunia.

Banyak negara termasuk Indonesia cenderung mengesampingkan Isu Falun Gong ini (Ada sejumlah Negara Demokrasi meski tetap berhubungan dagang dengan RRT tetapi mereka tetap dengan lantang menyuarakan HAM dan menghendaki penghentian penindasan terhadap Falun Gong, contoh: Kanada).

Mereka dihadapkan pada buah simalakama diplomasi. Antara berpegang erat pada konstitusi yang pro HAM atau tawaran kerja sama perdagangan dan investasi dengan RRT yang menggiurkan yang berarti secara tidak langsung menciderai nilai-nilai HAM atau turut serta mendukung pelanggaran HAM.

Amanah konstitusi adalah sangat penting bagi suatu bangsa. Ia mewakili inti sari atau karakter hakiki sebuah bangsa. Menjalankan konstitusi dengan baik berarti menahkodai perahu bangsa ini pada track yang benar.

Serangkaian kegiatan Hari HAM sedunia di seberang Jalan Kedubes RRT di Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan Sabtu 9 Desember 2017 (Foto : Epochtimes.id)

Menciderai konstitusi berarti menyalahi nilai luhur dan karakter hakiki sebuah bangsa. Mengkhianati konstitusi berarti menahkodai perahu bangsa pada track yang salah, yang dapat berakibat pada terdamparnya bangsa ini pada pantai kesengsaraan.

Di dalam sejarah bangsa-bangsa di dunia ada bangsa yang berhasil dan terus eksis dari waktu ke waktu, juga ada bangsa yang gagal dan akhirnya punah dari peta dunia. Pelajaran sejarah tentang timbul tenggelamnya sebuah bangsa dalam sejarah sudah sangat banyak.

Kebanyakan bangsa yang gagal dan musnah dari peta dunia adalah bangsa yang mengkhianati janji yang dibuatnya sendiri yang bisa diterjemahkan sebagai bangsa yang mengkhianati konstitusi. Konstitusi ibarat kontrak atau sumpah janji yang dibuat oleh sebuah bangsa kepada Sang Pencipta.

Apa yang terjadi dengan sebuah bangsa yang mengkhianati sumpah janjinya sendiri kepada Sang Pencipta? Bukankah ini berarti konstitusi adalah pilar moral dari sebuah bangsa. Inti dari sebuah bangsa adalah pada moralnya. Dan ukuran dari moral sebuah bangsa adalah konsistensi terhadap konstitusi atau sumpah dan janji dari bangsa itu sendiri.

Pilihan antara membela yang benar atau membela yang bayar?

Pada kasus Falun Gong ini, bangsa Indonesia diuji konsistensi pada konstitusi yang dibuatnya sendiri. Konstitusi Indonesia secara tegas memposisikan HAM pada posisi yang sangat penting. Pasal 28 A sampai J Undang Undang Dasar 1945 telah menyatakan secara ekplisit keberpihakan terhadap HAM.

Berikut ini serangkaian tindakan dan kebijakan pemerintah Indonesia terhadap komunitas Falun Dafa di Indonesia yang disinyalir menciderai prinsip-prinsip HAM.

Catatan ini berdasarkan laporan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), LBH Jakarta, HRWG (Human Rights Working Group) dan PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia) untuk OHCHR (Office of the High Commissioner of Human Rights) PBB. Antara lain:

Pertama, Penolakan Pendaftaran Ormas HFDI (Himpunan Falun Dafa Indonesia). UUD 1945 pasal 28 E No 3, undang-Undang no 39 Tahun 1999 pasal 24 dan pasal 21 International Convenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi dengan konstitusi no 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk berserikat, berkumpul dan berorganisasi.

HFDI dideklarasikan di Indonesia tanggal 9 September 2009 dan pada 25 Mei 2010 mengajukan permohonan terdaftar secara legal ke Dirjen Kesbangpol Kemendagri dengan memenuhi persyaratan yang ada dan mengisi Formulir pendaftaran. Namun Dirjen Kesbangpol Kemendagri malah menerbitkan surat No. 220 / 835 DIII pada tanggal 17 Juni 2010 yang isinya menolak pendaftaran HFDI karena alasan HFDI adalah organisasi dari luar negeri.

Menanggapi surat ini HFDI mengajukan tuntutan ke PT TUN atas penolakan regristrasi tersebut, namun Hakim PT TUN menolak tuntutan tersebut dan menyebutkan bahwa HFDI hendaknya lebih bisa bersosialisasi dengan pemerintah dan masyarakat.

Fakta setelah itu Kesbangpol kemendagri malah menerbitkan surat bernomor 220/3934 DII tentang penanganan HFDI yang menyatakan bahwa seluruh jajaran Dirjen Kesbangpol di seluruh wilayah Indonesia agar tidak menerima pendaftaran di daerah masing-masing dan selalu melakukan pemantauan terhadap seluruh aktifitas Falun Gong.

Merespon Ini HFDI mengirimkan surat terbuka kepada Presiden dan diteruskan kepada institusi lain seperti DPR, Kepolisian, dan media massa dan lain-lain, namun tidak mendapatkan tanggapan. Implikasi dari penolakan Pendaftaran ini adalah banyak aksi damai yang dilakukan oleh Praktisi Falun Dafa dibubarkan aparat.

Tercatat dalam laporan bahwa semenjak 2005 sd 2016 ada 8 aksi damai Falun Dafa dibubarkan aparat. Misalnya pada tanggal 23 April 2005, pembubaran aksi 12 Praktisi Falun Dafa di depan Kedubes RRT di Jakarta dengan mengamankan 12 Praktisi tersebut dan menahan selama 24 jam. Mereka dituntut ke PN Jakarta Selatan atas tuduhan melanggar Perda tentang ketertiban Kota, namun Hakim memutuskan mereka tidak bersalah.

Selanjutnya Pembubaran Parade Keindahan Falun Dafa di Semarang 7 April 2007. Pembatalan secara sepihak keikutsertaan pada Jakarnaval menyambut HUT Jakarta ke 480 tanggal 7 Juli 2007.

Pembubaran Parade Falun Dafa di Surabaya tanggal 13 Mei 2011. Sempat terjadi kekerasan oleh aparat terhadap Peserta parade dan pemukulan wartawan. Intervensi terhadap keikutsertaan pada Kuta Carnival di Bali. Padahal sejak 2002 sampai 2007 komunitas Falun Dafa selalu ikut serta.

Namun pada tanggal 26 Oktober 2008 ada pembatalan sepihak dengan alasan  adanya intervensi dari konsulat RRT. Dan yang terakhir adalah para aktivis Falun Dafa dapat tekanan dari aparat pada momentum konferensi Asia Afrika (KAA).

Kedua, pembredelan Radio Era Baru FM di Batam dan kriminalisasi direkturnya. Di tahun 2005 beberapa warga Batam mendirikan sebuah stasiun radio yang mempunyai segmen pendengar yang berbahasa mandarin.

Radio ini punya kepedulian untuk menyiarkan kejahatan HAM yang terjadi di RRT terhadap Praktisi Falun Dafa. berita  tentang perampasan organ sering disiarkan oleh radio ini. Sehingga membuat Negara bersangkutan jadi gerah. Melalui kawat diplomatik, negara tersebut berusaha memengaruhi kebebasan pers di Republik Indonesia.

Koalisi Peduli Pers dan Penyiaran mengirimkan Nota Protes menolak intervensi asing terhadap kebebasan Pers di Indonesia. Diantaranya Aliansi Jurnalistik Indonesia Jakarta (AJI Jak), Ghure, LBH Pers, praktisi Jurnalistik dan lain lain. Meski ditolak, nota protes dibacakan oleh Hendrayana dari LBH Pers. Aksi dilakukan di depan pintu gerbang Kedubes China, Rabu 30 Mei 2007 (Istimewa)

Pada 24 Maret 2010 Tim dari Departeman Komunikasi dan Informasi, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Kepolisian Kepri mendatangi Statiun Radio Era Baru FM dan mengambil exciter transmitter secara paksa dan menyegel Kantor.

Pada 5 Mei 2010 Direktur Radio Era Baru dikriminalisasi dan dinyatakan sebagai tersangka oleh penyidik kepolisian Kepri dengan tuduhan  bahwa Radio Era Baru tidak mempunyai izin frekuensi padahal izin sudah dimiliki, dengan tuntutan 6 tahun penjara. Tanggal 6 September 2011 Direktur Radio tersebut divonis 6 tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun, dan denda 50 juta/ 3 bulan penjara.

Koalisi Peduli Pers dan Penyiaran mengirimkan Nota Protes menolak intervensi asing terhadap kebebasan Pers di Indonesia. Diantaranya Aliansi Jurnalistik Indonesia Jakarta (AJI Jak), Ghure, LBH Pers, praktisi Jurnalistik dan lain lain. Meski ditolak, nota protes dibacakan oleh Hendrayana dari LBH Pers. Aksi dilakukan di depan pintu gerbang Kedubes China, Rabu 30 Mei 2007 (Istimewa)

Upaya banding dilakukan hingga tingkat kasasi namun hingga kini belum ada keputusan hukum tetap dari Mahkamah Agung. Walapun dengan berbagai gangguan Radio Era Baru terus tetap mengudara. Puncaknya pada 13 September 2011 pembredielan kedua terjadi.

Pengambilan paksa terhadap exciter transmitter kembali dilakukan. Alasan aparat saat itu bahwa frekuensi Radio Era Baru mengganggu penerbangan di Batam dan sekitarnya. Namun, radio-radio yang lain yang mengudara tidak dibredel. Ada diskriminasi dalam kebebasan pers pada kasus Ini.

Suasana pemberedelan Radio Erabaru FM di Batam pada Selasa 13 September 2011 saat petugas mengambil paksa alat exciter dan digital processor Radio Erabaru (Foto : Istimewa)

Dari kejadian-kejadian di atas paling tidak pemerintah Indonesia menciderai 2 pasal tentang HAM yaitu pertama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi menyatakan pendapat secara lisan maupun tulisan. Kedua, kebebasan untuk menyatakan pendapat melalui media, di samping itu juga melanggar demokrasi dalam media.

Pada momentum 69 tahun hari HAM ini sebagai sebuah Bangsa dan Negara yang berdaulat hendaknya selalu berintropeksi apakah Bangsa Ini selalu konsisten dengan konstitusi atau sumpah janjinya sendiri.

Di tengah tarik menarik dalam pertarungan geopolitik dunia, nurani sebuah Bangsa harus selalu dikedepankan. Janganlah karena sedikit iming-iming kue investasi, masa depan sebuah Bangsa dipertaruhkan.

Barangkali lewat fakta tentang Falun Dafa ini, Sang Pencipta menguji pilihan nurani Bangsa Kita, apakah membela yang benar atau membela yang bayar.

Apakah berada pada sisi kebaikan atau kejahatan. Bangsa yang baik hati akan mendapat berkah.

Gemah ripah loh jinawi.

(Iswahyudi/whs/asr)