Xi Jinping Ambil Alih Komando Mengakhiri Sistem Kepemimpinan Ganda Kepolisian Bersenjata

EpochTimesId – kepolisian bersenjata Tiongkok yang operasionalnya berjalan dalam sistem kepemimpinan ganda selama 22 tahun akan segera berakhir. Mulai 1 Januari 2018, kepemimpinan Kepolisian Bersenjata Tiongkok akan dipusatkan pada Komite Sentral dan Komisi Militer Tiongkok.

Dengan kata lain, kepolisian bersenjata sejak tanggal itu sudah tidak lagi berada di bawah pimpinan Dewan Negara.

Pada hakikatnya, perubahan tersebut terjadi setelah Xi Jinping menyimpulkan sejumlah pengalamannya di masa lalu. Sehingga ia memandang perlu untuk ‘menjamu minuman anggur penguasa militer lokal agar menyerahkan komando militer’.

Demi mencapai sentralisasi kekuatan militer, Kaisar Dinasti Sung mengambil alih wewenang komando dari tangan penguasa militer daerah melalui perjamuan minum anggur.

Sementara itu pengambilan wewenang tersebut juga terkait dengan kebutuhan dalam menyukseskan reformasi sistem kemiliteran Tiongkok.

Dalam siaran pers reguler yang diadakan Kementerian Pertahanan pada 28 Desember 2017, pihak berwenang menegaskan bahwa tujuan dari pengambilalihan komando Kepolisian Bersenjata oleh Presiden Xi Jinping adalah dalam rangka menjamin keamanan politik.

Dunia luar menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan pengakuan tidak langsung oleh otoritas terhadap sebuah fakta. Itu adalah, bahwa Kepolisian Bersenjata Tiongkok pernah terlibat dalam upaya pengambilan paksa kekuasaan dari tangan Xi Jinping.

Sistem kepemimpinan Kepolisian Bersenjata yang berlaku saat ini sudah berjalan sejak tahun 1982. Dimana pemerintah pusat menyerahkan tugas pengamanan daerah kepada kekuatan dari Departemen Keamanan dan Ketertiban daerah yang memimpin kekuatan Angkatan Kepolisian Bersenjata daerah, penjaga perbatasan, dan Dinas Pemadam Kebakaran daerah.

Jadi sejak Angkatan Kepolisian Bersenjata dibentuk, ia sudah memiliki dwi fungsi yaitu militer dan polisi.

Tahun 1995, rezim saat itu menyebut Kepolisian Bersenjata seakan memiliki ‘2 pasang mertua’, yaitu Dewan Negara dan Komisi Militer Pusat. Meskipun gagasannya adalah menerapkan kepemimpinan yang terpadu dan memiliki hirarkis komando.

Komisi Militer Pusat bertanggung jawab atas organisasi dan persiapan pasukan polisi bersenjata, manajemen kader, komando, pelatihan dan kerja politik. Dewan Negara bertanggung jawab atas tugas sehari-hari, mengatur lingkup tugas dan anggaran, memberikan komando, dan beberapa tanggungjawab lainnya.

Oleh karena itu, Kepolisian bersenjata menjadi kekuatan militer pemerintah daerah. Dan, sering kali terlihat pemerintah daerah selalu mengirim polisi bersenjata untuk melakukan penindasan bila timbul protes masyarakat daerah atau kegiatan melanggar HAM oleh para aktivis daerah.

Inti dari reformasi terhadap angkatan tersebut adalah mengambil alih wewenang komando. Sebagaimana diketahui bahwa Xi Jinping yang kepala negara, ketua partai juga ketua komisi militer pusat, nantinya akan memegang wewenang komando atas angkatan tersebut.

Situasi bagaimana akan terjadi nanti? Sebelum reformasi, Pemimpin teras Angkatan Kepolisian Tiongkok ditetapkan oleh Perdana Menteri Dewan Negara dan Ketua Komisi Militer Pusat. Setelah reformasi maka yang mengangkat pemimpin teras angkatan tersebut adalah ketua Komisi Militer Pusat.

Selain itu, anggaran belanja angkatan tersebut selama ini ditentukan oleh Dewan Negara bersama pemerintah daerah. Setelah reformasi, maka anggaran akan masuk ke dalam anggaran Departemen Logistik Militer.

Sebelum reformasi, pemda dapat seenaknya mengerahkan hingga 1.000 orang polisi bersenjata dalam penanganan suatu tugas.
Nantinya, jika terjadi ‘gejolak besar’ di daerah dan dipandang perlu untuk bertindak keras, maka pemda perlu meminta ijin Komisi Militer Pusat yang akan mengatur pengiriman bantuannya.

Apa alasan perubahan besar tersebut?
Di depan sudah ada gambaran bahwa ini merupakan hasil Xi Jinping menyimpulkan sejumlah pengalamannya di masa lalu, sehingga memandang perlu untuk ‘menjamu minuman anggur penguasa militer lokal agar menyerahkan komando militer’ karena jika reformasi ditunda-tunda, maka apa yang akan terjadi adalah kedudukan dan nyawa Xi Jinping bisa terancam.

Pengalaman apa saja yang Xi Jinping peroleh selama ini?
Pertama adalah pengalaman dan pelajaran dari kasus Zhou Yongkang dan Bo Xilai yang secara langsung telah memberikan ancaman serius pada kedudukan, nyawa Xi Jinping dan keluarganya. Inilah yang memaksanya untuk melakukan reformasi terhadap angkatan kepolisian bersenjata.

Dalam sebuah insiden politik, Wang Lijun meminta suaka politik ke Kedubes AS di Chendu pada 6 Pebruari 2012. Saat itu, Bo Xilai yang menjabat Sekretaris Partai Kota Chongqing mengerahkan sejumlah polisi bersenjata dengan perlengkapan militernya untuk mengepung Kedubes AS demi menangkap Wang Lijun.

Pada 19 Maret 2012, 4 hari setelah Zhou Yongkang dibebastugaskan, yakni 15 Maret Zhou memanfaatkan kekuatan angkatan kepolisian untuk mewujudkan kudeta militer.

Kabarnya pada waktu itu, Zhou Yongkang memobilisasi jumlah besar kepolisian bersenjata untuk mengepung Gerbang Xinhua dan Lapangan Tiananmen dalam rangka menangkap saksi kunci dalam kasus Bo Xilai, yakni pebisnis kaya Dalian Shide bernama Xu Ming, sekaligus berencana membunuh Perdana Menteri Wen Jiabao.

Namun, sebelum operasi tersebut berhasil, tokoh kunci dari kubu Zhou Yongkang membocorkan informasi kepada kubu Hu Jintao dan Wen Jiabao sehingga mereka ‘sedia payung sebelum hujan’.

Kemudian laporan media mengatakan bahwa tokoh kunci ini adalah Kepala Kantor Keamanan dan Ketertiban Publik Beijing bernama Fu Zhenghua.

Hu kemudian mengirim Pasukan Pembebasan Rakyat divisi 38 ke Beijing untuk menundukkan kepolisian bersenjata, melucuti senjata polisi bersenjata meskipun sejumlah suara tembakan memenuhi langit malam Tiananmen. “Beijing sedang bermasalah!” kata orang-orang pada waktu itu.

Mengapa Zhou mau membunuh Wen Jiabao?
Tidak sulit untuk direka-reka, karena pada saat itu Wen Jiabao berulangkali mengusulkan kepada pemerintah untuk secepatnya menyelesaikan masalah Falun Gong. Dan ini yang paling ditakuti oleh Zhou dan kelompok Jiang Zemin.

Mereka khawatir, isu pengambilan paksa organ hidup dan penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong akan terbongkar, sehingga mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Untuk itu, Zhou dan Wen sempat saling menyerang dengan kata-kata tajam dalam rapat politbiro.

Kini bisa dilihat bagaimana kelompok kudeta yaitu Bo Xilai, Zhou Yongkang, Xu Caiho, Guo Boxiong, Lin Jihua dan Sun Zhengcai menggapai keberhasilan merebut kekuasaan partai dan negara? Tentu saja melalui angkatan bersenjata.

Namun, roda tentu tidak berputar tanpa motor penggerak, wayang tidak bergerak tanpa dalang. Dan siapa motor yang menggerakkan rencana kudeta itu? Siapa dalangnya tentu banyak orang sudah paham.

Pasti tudingan diarahkan kepada Jiang Zemin dan Zeng Qinghong!

Xi Jinping paling paham karena ia yang dijadikan target penyerangan, selain soal kedudukan, nyawanya pun sewaktu-waktu dalam ancaman. Setiap hari ia berada dalam keadaan cemas. Dia pasti ingin secepatnya keluar dari situasi itu.

Kekuatan Jiang Zemin dalam militer sudah semakin hari semakin lemah, melalui reformasi pada kepolisian bersenjata ini diharapkan angkatan tersebut tidak lagi bisa digunakan oleh para eksekutif ambisius untuk mengambil kekuasaan pemerintah. (ET/Sinatra/waa)