Mantan Teknisi Gugat Google Karena Diskriminasi Anti-Konservatif Kulit Putih

EpochTimesId – Mantan teknisi Google yang menulis memo kontroversial mengkritik kebijakan keragaman perusahaan menggugat raksasa teknologi tersebut pekan lalu. Google digugat karena diduga melakukan diskriminasi terhadap kaum konservatif laki-laki kulit putih.

James Damore, yang dipecat pada 2017 setelah memo pedas tersebut, mengajukan gugatan class action pada 8 Januari 2018, seperti dikutip The Epoch Times dari the Guardian.

Berkas tuntutan Damore dilengkapi dengan hampir 100 halaman screenshot komunikasi internal. Dalam komunikasi itu, karyawan mendiskusikan isu-isu politik yang sensitif.

“Karyawan Google yang mengekspresikan pandangan berbeda dari pandangan mayoritas di Google mengenai subyek politik yang diangkat di tempat kerja dan relevan dengan kebijakan ketenagakerjaan dan bisnis Google, seperti kebijakan mempekerjakan ‘keragaman’, ‘sensitivitas bias’, atau ‘ keadilan sosial’. Karyawan itu ditandai, dianiaya, dan dihukum secara sistematis, bahkan diberhentikan dari Google, ini melanggar hak hukum mereka.”

Damore dan pengacara Harmeet Dhillon mengadakan baru-baru ini mengadakan konferensi pers di San Francisco. Mereka mengatakan bahwa perusahaan tersebut mendiskriminasikan orang kulit putih yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan eksekutif Google.

“Permusuhan terbuka Google terhadap pemikiran konservatif disandingkan dengan diskriminasi serius berdasarkan ras dan gender, yang dilarang oleh undang-undang,” tulis gugatan tersebut.
“Manajemen Google berjalan dengan cara yang ekstrim dan ilegal untuk mendorong perekrutan manajer agar mengambil kategori yang dilindungi seperti ras dan/atau jenis kelamin menjadi pertimbangan sebagai faktor perekrutan yang menentukan. Sehingga merugikan karyawan Kaukasia dan pria, dan calon karyawan di Google.”

Insinyur Google lainnya, David Gudeman, juga turut serta dalam gugatan class action itu. Seperti tertera dalam gugatan yang diajukan di Pengadilan Tinggi Santa Clara di California Utara.

“Damore, Gudeman, dan karyawan Google lainnya dikucilkan, diremehkan, dan dihukum karena pandangan politik heterodoks mereka, dan untuk menambahkan dosa pada keadaan kelahiran mereka sebagai orang bule dan/atau laki-laki,” kata berkas tuntutan tersebut.

Damore dipecat bulan Agustus 2017 lalu setelah memo 10 halamannya, diterbitkan secara utuh di Gizmodo, dan sejak saat itu dia telah kehilangan pekerjaannya.

Bagian dari tulisan memo yang menjadi kontroversial adalah pernyataannya bahwa perbedaan biologis, yang menyebabkan hanya ada sedikit teknisi wanita.

“Perhatikan, saya tidak mengatakan bahwa semua pria berbeda dari wanita dengan cara berikut atau bahwa perbedaan ini adil. Saya hanya menyatakan bahwa distribusi preferensi dan kemampuan pria dan wanita berbeda sebagian karena penyebab biologis dan perbedaan ini dapat menjelaskan mengapa kita tidak melihat representasi wanita yang sama dalam teknologi dan kepemimpinan. Banyak dari perbedaan ini kecil dan ada tumpang tindih yang signifikan antara pria dan wanita, jadi Anda tidak dapat mengatakan apapun tentang individu yang diberikan distribusi tingkat populasi ini,” tulisnya dalam memo itu.

Chief Executive Google, Sundar Pichai mengkritik memo tersebut karena menyinggung stereotip gender yang merugikan. Perusahaan tersebut mengatakan kepada Los Angeles Times bahwa pihaknya telah memecat Damore karena dinilai melanggar kode etik.

“Kami berharap dapat membela diri terhadap tuntutan hukum Damore di pengadilan,” komentar juru bicara Google via e-mail.

Tenaga kerja Google, mirip dengan keseluruhan industri teknologi, sangat banyak yang berkulit putih, Asia, dan pria.

Dari jumlah pekerja, 56 persen berkulit putih dan 35% adalah orang Asia. Sementara karyawan Hispanik dan kulit hitam masing-masing memiliki rasio 4 dan 2 persen, menurut laporan keragaman terbaru perusahaan.

Pada tahun 2017, Departemen Tenaga Kerja AS menuduh Google melakukan ‘diskriminasi bayar ekstrim’ terhadap perempuan. Sekelompok karyawan perempuan pun mengajukan gugatan class action (secara bersama-sama melalui perwakilan) yang menuduh diskriminasi upah sistemik.

Namun, Damore justru mengatakan bahwa hal ini mengungkap bias budaya untuk mempromosikan keragaman dan keadilan sosial. Menurut surat gugatannya, telah menciptakan gelembung pemikiran kelompok yang terlindungi dan terdistorsi.

Gugatan menyatakan bahwa upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dan minoritas mengakibatkan diskriminasi ilegal terhadap mayoritas.

Dalam gugatan hukum tersebut juga disampaikan bahwa banyak contoh komunikasi internal Google yang diduga mendukung klaim tersebut.

Salah satunya adalah email pada 2014 dari mantan wakil presiden PR di Google, Rachel Whetstone.

“Sepertinya kita percaya pada kebebasan berekspresi kecuali bila orang tidak setuju dengan pandangan mayoritas … Saya telah kehilangan hitungan waktu di Google, misalnya, orang mengatakan kepada saya secara pribadi bahwa mereka tidak berani mengakui pilihan dalam pemungutan suara (pemilu), jika mereka adalah Republikan karena mereka takut bagaimana Karyawan Google lainnya bereaksi.”

Gugatan tersebut juga mengungkapkan reaksi keras internal Damore yang diduga terjadi setelah memonya menjadi viral. Termasuk sebuah email massal di mana seorang direktur Google menyebut memo itu ‘menjijikkan dan tidak jujur ​​secara intelektual’.

Ada juga referensi dari email untuk Damore dari rekan engineer, yang menilainya sebagai orang yang misoginis dan mengerikan. “Mereka akan terus mengganggumu sampai salah satu dari kita dipecat,” demikian bunyi kutipan email tersebut.

Menurut pakar hukum yang dikutip oleh Washington Post, Google berhak untuk memecat karyawan yang dianggapnya tidak bersikap sesuai nilai-nilai perusahaan.

Perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat, beberapa di antaranya adalah entitas global dengan jumlah karyawan yang berjumlah ratusan ribu, dibebaskan dari jaminan kebebasan berbicara Amandemen Pertama, yang hanya ditujukan untuk pemerintah. (waa)