Di Balik Rantai Perdagangan ‘Gadis Vietnam Siap Nikah’ yang Banyak Bermunculan di Tiongkok

oleh Xiao Lishen

Baru-baru ini, media Tiongkok mengungkapkan bahwa banyak ‘agen penjualan gadis Vietnam siap nikah’ berdiri di sejumlah propinsi Tiongkok. Mengapa bisa muncul fenomena seperti itu?

Media ‘Beijing News’ pada 27 Januari melaporkan bahwa sejak Oktober 2016, banyak sekali wanita muda Vietnam asal pedesaan yang tertipu, mereka didatangkan ke Tiongkok oleh agen-agen perdagangan manusia dengan alasan mencari pekerjaan, berpariwisata dan lainnya.

Para wanita itu masuk ke wilayah Tiongkok (kota Kunming) secara ilegal kemudian melalui  Stasiun Kereta-api Kunming mereka didistribusikan menuju tempat-tempat agen mereka di daerah lain. Setelah itu agen akan menerima ribuan Renminbi sebagai imbalan atas transaksi jual beli.

Laporan menyebutkan bahwa transaksi perdagangan gadis Vietnam siap nikah tersebut biasanya disebarkan dari mulut ke mulut tetapi ‘luas perdagangannya’ sampai seluruh wilayah RRT.

Warga yang membutuhkan biasanya akan memasang kuping dan menghubungi warga lainnya yang telah membelinya.

Para ‘gadis siap nikah’ itu cukup kasihan karena tidak memiliki paspor, uang dan mengalami hambatan bahasa sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak terjadi wanita asal Vietnam melarikan diri dari tempat tinggal pembeli atau suami mereka di Tiongkok. Bahkan mereka lari berbarengan dari dusun seperti yang terjadi di desa Meishan, Jintao di propinsi Fujian pada 16 Pebruari 2016.

Pada tahun 2014, terjadi pelarian ‘gadis Vietnam’ bersama-sama dengan ‘mak comblang’ dari sebuah desa di propinsi Hebei.

Komentator Tang Jingyuan kepada wartawan The Epoch Times mengatakan bahwa, ada alasan yang lebih mendalam di balik perdagangan wanita Vietnam ke Tiongkok.

Pertama, ditinjau dari sudut pandang Vietnam yang telah bertahun-tahun mengalami peperangan, terutama perang Vietnam dengan Amerika Serikat, setelah itu ikut dalam perang dengan Kamboja dan Tiongkok.

Sehingga “Agresivitas yang bersumber dari sifat komunisme telah menjadikan Vietnam negara yang sepanjang tahun berperang, menyebabkan perbandingan populasi laki-laki dan perempuan tidak proporsional dan jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada yang pria”

kedua, soal Tiongkok yang selama sekian puluh tahun menerapkan kebijakan 1 anak membuat banyak wanita terpaksa menggugurkan kandungan, tetapi di pedesaan yang membutuhkan tenaga kerja pria sehingga pemilihan gender tidak dapat dihindari. Jumlah wanita kini lebih sedikit daripada jumlah pria. Itulah sebabnya mengapa para pria di daerah pedesaan sulit untuk menikahi wanita ‘satu etnis’ kecuali ‘impor’ dari Vietnam yang memang ‘menyediakan’.

Selain itu, Tang Jingyuan menyatakan bahwa reformasi membuka diri jaman Deng Xiaoping telah membawa orang-orang Tiongkok berpikir bahwa uang adalah segalanya, memuja uang, menghalalkan segala cara asal mendapatkan uang. Karena itulah sejumlah besar warga kurang mampu bertindak ambil resiko untuk melakukan kegiatan ilegal, termasuk perdagangan manusia.

Mantan orang media di Hebei, Zhu Xinxin mengatakan, pelarian gadis Vietnam yang terjadi di Hebei beberapa tahun silam yang melibatkan penipuan, perdagangan manusia itu tidak terlepas dari masalah menurunnya moral orang Tiongkok, hukum dengan mudah bisa dilanggar.

“Jatuhnya moral juga memiliki hubungan erat dengan kebijakan pemerintah. warga tidak memiliki hak, tidak memiliki dukungan hukum, tidak memiliki perlindungan, tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan keadilan, mekanisme pemurnian diri benar-benar sudah hilang,” ungkapnya.

Menurut laporan Beijing News pada bulan Desember 2014, pada suatu malam pada 21 November tahun itu, ratusan orang warga berkumpul di depan rumah salon kecantikan milik Wu Meiyu yang terletak di Dusun Zhao menanti keluarnya Meiyu yang mencarikan pendamping hidup asal Vietnam dari salon tempat ia tinggal. Tetapi Meiyu tidak juga muncul.

Wu Meiyu adalah seorang wanita asal Vietnam yang dinikahi Zhao Guosheng 25 tahun yang lalu, ia mengatakan bahwa ia juga berasal dari Vietnam yang dijual ke Tiongkok oleh agen perdagangan manusia.

Namun, pemerintah Tiongkok tak mampu menghentikan perdagangan manusia ini menyebabkan banyak warga Tiongkok yang mengeluarkan biaya besar untuk menikahi perempuan Vietnam menderita kerugian besar.

Yuan Yingbin penduduk desa setempat yang menghabiskan 105 ribu Yuan untuk mahar perkawinan dengan seorang gadis Vietnam yang 2 bulan lalu diserahkan kepada Wu Meiyu juga seorang warga tetangga Yuan Yingbin yang 2 bulan sebelumnya juga menyerahkan uang mahar sebesar 100 ribu kepada Meiyu. Pendamping hidup mereka berdua tampaknya telah kabur bersama Meiyu.

Tang Jingyuan mengatakan, pengawasan pemerintah Tiongkok terhadap kegiatan masyarakat mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan kamera pengintai yang dipasang di mana-mana, mengapa tidak juga tidak mampu menghalangi operasi kelompok perdagangan manusia, kejahatan berskala besar terus terjadi, aneh bukan jika efisiensinya begitu rendah ?

Ia berpendapat bahwa masalahnya itu berakar dari sistem pengendalian pemerintah Tiongkok hanya bertujuan pada menjaga stabilitasnya politik, hal-hal seperti kepercayaan terhadap agama, orang-orang pembela HAM atau orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pemerintah yang dianggap sebagai kelompok yang bisa merongrong kekuasaan pemerintah.

Menurut Tang, kepala orang-orang inilah, pemerintah mengeluarkan berapa pun besarnya biaya untuk melakukan pembasmian. Tetapi terhadap hal yang menyangkut kehidupan langsung warga mereka seakan-akan tidak mau tahu.

“Polisi malas mengurusi hal-hal demikian, bahkan polisi pun kongkalikong sama penjahat untuk menggait kekayaan illegal,” katanya.

“Fenomena seperti ini telah meresap ke semua lapisan masyarakat, membantu memperdagangkan manusia, melakukan transaksi jual beli ‘gadis siap nikah’ sudah menjadi lowongan rezeki yang dikejar baik warga, kelompok orang yang terorginisir termasuk petugas keamanan Tiongkok,” ujarnya.

“Banyak juga pejabat pemerintah secara pribadi memiliki hubungan kerjasama ilegal dengan para preman, karena itulah kasus perdagangan manusia bisa terus berlangsung,” kata Tang Jingyuan. (Sinatra/asr)

Sumber : Epochtimes.com