Siasat Menyasar Penerus Perokok Mulai Tebar Spanduk Hingga Cantumkan Harga per Batang Rokok

Epochtimes.id- Keberadaan anak-anak ternyata menjadi target industri rokok untuk meneruskan keberlangsungan bisnis. Berbagai cara ditempuh untuk mempengaruhi anak-anak mulai gencar menebar spanduk hingga mencantumkan harga murah per batang rokok.

“Siapa penerusnya tadi yaitu anak-anak kita, ini dari pernyataan dokumen industri rokok yakni remaja hari ini adalah calon pelanggan hari esok, ini yang bilang industri rokoknya,” kata Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari pada Workshop Nasional Kota Layak Anak 2018 dan Peluncuran Hasil Monitoring Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok 10 Kota di Jakarta Pusat, Senin (29/01/2018).

Temuan dari 170 anak dari anggota Forum Anak di 10 Kabupaten/kota  menunjukkan bahwa anak-anak sudah terpapar iklan, promosi, dan sponsor rokok dimanapun mereka berada.

Padahal berbagai studi membuktikan bahwa iklan, promosi dan sponsor rokok mempengaruhi anak dan remaja untuk mencoba konsumsi rokok.

Studi Uhamka dan Komnas PA 2007 menyebutkan 48% remaja berpendapat iklan rokok mempengaruhi untuk mulai merokok.

Studi Surgeon General menyimpulkan iklan rokok mendorong perokok meningkatkan konsumsinya dan mendorong anak mencoba merokok (WHO 2009).

Menurut Lisda, usia perokok pemula selama 10 tahun terakhir terus meningkat di usia 10-14 tahun. Angka ini menunjukkan terjadinya pergeseran jika dibandingkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 yang menunjukkan hampir 75 persen perokok mulai merokok sebelum usia 19 tahun dan jumlahnya mencapai 16,4 juta.

“Artinya industri rokok berhasil menargetkan kepada anak-anak kita,” ungkapnya.

Aktivis Forum Anak menyerahkan Buku Hasil Monitoring Iklan, Promosi dan Sponsor Rokok oleh Forum Anak ke Salah satu peserta Workhsop Nasional Kota Layak Anak 2018 di Jakarta 29 Januari 2018 (Foto : M.Asari/Epochtimes.id)

Data yang dibeberkan mengungkapkan jika permasalahan ini terus dibiarkan, maka akan terus mendapatkan Indonesia berbagai ancaman yakni ancaman kesehatan dan ancaman untuk tidak mendapatkan bonus demografi pada tahun 2020-2030.

Menurut Lisda langkah-langkah yang ditempuh berupa iklan, promosi dan sponsor. Namun demikian, media iklan yang ditemukan sekitar 73 persen dalam bentuk spanduk.

Bentuk iklan lainnya hanya 10,3 persen menggunakan billboard, 7,9 persen dalam bentuk poster dan 3,4 persen baliho.

Lisa mengungkapkan jika dibandungkan sebelumnya dalam bentuk billboard. Namun demikian, kali ini terbanyak justru dalam bentuk spanduk bahkan dalam wujud ukuran spanduk kecil.

Keberadaan spanduk, kata Lisda, diletakkan pada tempat yang fleksibel seperti di sekolah, rumah-rumah, warung-warung dan lebih dekat dengan target.

Bahkan hasil temuan, keberadaan spanduk-spanduk ini tak membayar pajak untuk disetorkan ke kas daerah setempat. Pundi-pundi uang itu disetorkan kepada pemilik warung-warung atau si empunya tempat yang ditempatkan spanduk.

“Ini seharusnya pemasukan daerah hilang begitu saja, semuanya ternyata seperti ini,” ungkapnya.

Peserta dan pembicara Workhsop Nasional Kota Layak Anak 2018 di Jakarta 29 Januari 2018- paling tengah Deputi Tumbuh Kembang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) Lenny Rosaline dan Ketua Lentera Anak Lisda Sundari bersama sejumlah Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dari 15 kota di Indonesia. (Foto : M.Asari/Epochtimes.id)

Tak hanya spanduk, stiker dan poster juga menjadi cara lainnya untuk menebarkan promosi rokok. Hingga akhirnya semakin kecil media iklan maka semakin massif disebarkan serta mendekati target. Data ini berdasarkan temuan di 10 kota di Indonesia.

Lisda menambahkan, tema iklan rokok saat ini sekitar 74,6 persen sebenarnya dengan strategi hard selling yaitu strategi untuk mempengaruhi targetnya yaitu anak-anak segera mengambil keputusan untuk membeli roko. Jika ternyata masih ragu, maka strategi ini berguna untuk meyakinkan target agar segera membeli.

Lebih jauh spanduk yang disebarkan ke sejumlah lokasi target, turut menyertakan harga rokok dengan nominal rupiah terendah.

Lisda memaparkan seperti pencantuman rokok berisi 12 batang seharga Rp 12.000 dengan harga Rp 1.000 per batang.

Data diungkap Lentera Anak menyebutkan, pencantuman harga rokok perbungkus atau perbatang yang sangat murah dicurigai sebagai cara strategi hard selling yang bertujuan untuk membujuk perokok pemula yaitu anak-anak segera membeli.

Apalagi harga murah meriah yang dipromosikan dengan massif semakin mempermudah keterjangkauan anak terhadap rokok.

“80 persen dilakukan mencantumkan harga rokok detail sekali, tak pakai syarat dan ketentuan lagi, untuk memastikan harganya murah, kalian bisa mendapatkannya dengan uang saku kalian,” ungkapnya. (asr)