Pidato Kenegaraan Presiden Amerika yang Menyentuh Hati Pengungsi Korea Utara

EpochTimesId – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyampaikan pidato kenegaraan tahunan di depan Kongres (/MPR), Selasa (30/1/2018) malam waktu Amerika. Diantara materi pidatonya, Trump menceritakan secara rinci pertaruhan nyawa seorang warga Korea Utara bernama Ji Seong-ho dan keluarganya keytika berusaha untuk melarikan diri dari negara rezim diktator.

Saat Trump bercerita tentang nasibnya, Ji Seong-ho yang duduk di kursi tamu undangan tampak berlinang air-mata, seluruh hadiran kemudian berdiri memberikan dukungan semangat kepadanya. Ji lalu berdiri dan mengangkat tinggi-tinggi kruk (tongkat ketiak) buatan sang ayah untuk dirinya. Tepuk tangan seluruh hadirin berlangsung sekitar 40 detik. Pemirsa di seluruh dunia juga dapat menyaksikan adegan yang menyentuh hati ini.

Dalam pidato, Trump mengutuk rezim Korea Utara atas kekejaman yang diperlakukan kepada warga negara sendiri. Kejadian yang dialami Ji Seong-ho merupakan salah satu contoh dari sekian banyak tindak kebrutalan rezim Kim Jong-un.

Diceritakan oleh Presiden Trump bahwa tahun 1996, ketika Ji Seong-ho berumur 10 tahun, suatu hari ia dalam kondisi kelaparan mencoba untuk mencuri batubara dari kereta api dengan maksud dijadikan uang guna membeli makanan. Namun, karena tidak memiliki tenaga yang cukup ia akhirnya jatuh di atas rel dan tak sadarkan diri.

Ketika mulai siuman ia baru tahu jikalau tangan dan kakinya terlindas kereta api dan harus menjalani beberapa kali proses amputasi tanpa analgesik dan anestesi (bius).

Saudara laki-laki dan perempuan Ji Seong-ho memberikan satu-satunya jatah makanan mereka kepada Ji dengan harapan agar ia cepat sembuh. Sedangkan mereka sendiri memakan tanah.

Kemudian, dalam suatu kesempatan Ji Seong-ho melakukan perjalanan singkat ke Tiongkok. Sepulang ke Korea Utara, dia mengalami penganiayaan dari otoritas Korut saat interogasi. Dia disiksa hanya demi informasi apakah Ji bertemu dengan orang-orang Kristen di Tiongkok.

Melalui peristiwa tersebut Ji Seong-ho memutuskan untuk meninggalkan Korea Utara demi mengejar kebebasan.

Trump mengatakan bahwa Ji Seong-ho melarikan diri dari Korea Utara dengan membawa tongkat, dalam perjalanan ribuan kilometer ke Tiongkok dan Asia Tenggara. Sebagian besar anggota keluarganya juga sudah meninggalkan Korut. Sayang, ayahnya tertangkap kembali dan akhirnya disiksa sampai mati oleh otoritas Korut.

Ji yang kini berusia 35 tahun, tinggal di Korea Selatan setelah melarikan diri dari Korut. Ia memberikan bantuan kepada para pembelot yang berada di Korea Selatan dan menyiarkan kepada rakyat Korut berita kebenaran yang paling ditakuti rezim Kim.

Sambil berpidato, Trump sejenak berpaling kepada Ji Seong-ho yang sedang duduk di bangku tamu undangan untuk menyampaikan, “Seong-ho, saya tahu Anda masih memiliki kruk (/tongkat ketiak) semula untuk selalu mengingatkan diri bahwa Anda harus menempuh perjalanan sejauh ini sebelum mencapai kondisi lebih baik saat ini.”

“Bagi kami, pengorbanan besar Anda telah mengilhami kami semua, terima kasih.”

“Kisah Seong-ho membuktikan, ada kerinduan akan kebebasan berada di kedalaman jiwa setiap individu.”

Kisah pengalaman Ji Seong-ho diangkat dalam wawancara dengan media pada 23 Januari 2018. Ji diwawancara reporter Wall Street Journal. Ji mengatakan bahwa ia berasal dari Hamgyeongbuk-do dan berjarak kira-kira 30 mil dari kamp nomor 22, yakni kamp kerja paksa yang terkenal paling kejam dengan menahan puluhan ribu napi di dalamnya.

Para napi setiap harinya dikerahkan untuk menambang batubara dengan target yang sudah ditentukan. Bila belum memenuhi target, napi tidak diperkenankan untuk meninggalkan lokasi tambang.

Ji mengatakan, Uni Soviet yang mendukung rezim Korea Utara sudah bubar, ekonomi Korea Utara mengalami kepailitan pada tahun 1995. Pemerintah kemudian menghentikan pembagian jatah makanan kepada rakyat.

Karena itu, ia, saudara laki-laki dan perempuan bersama kedua orangtua terpaksa pergi ke gunung untuk mencari akar rumput atau kulit kayu untuk dimakan.

“Ada jenis pohon khusus yang meskipun kulit kayu bagian luarnya keras tetapi bagian dalamnya lembut, setelah dikupas dapat direbus untuk dimakan, atau diaduk bersama tepung jagung untuk dibuat kue taart.”

“Setelah akar rumput dan kulit kayu sudah habis diambil orang, pejabat pemerintah memberitahu kita bahwa tanah liat juga boleh dimakan. Mereka mengatakan bahwa tanah liat mengandung nutrisi, jadi kami membuat biskuit dari tanah liat,” kenang Ji.

Nenek Ji Seong-ho akhirnya meninggal dunia karena kelaparan. Pada akhir 1990-an, Korea Utara adalah salah satu negara yang menerima bantuan paling banyak di dunia.

“Namun, selain mendengar kabar bahwa ada bantuan bahan makanan dari dunia tetapi saya belum pernah melihat makanannya,” kata Ji.

Ia pergi ke pasar gelap dengan membawa sekilo jagung guna ditukarkan dengan sebuah karung besar bertanda cat yang ia sendiri tidak mengerti arti tulisannya. Tujuan Ji membarter jagung dengan karung tak lain adalah untuk diisi batubara curian. Dia di kemudian hari baru tahu bahwa karung bercap seperti yang ia lihat, adalah karung bekas berisi bahan makanan bantuan dunia.

“Tentara juga mengalami kelaparan, hanya mereka yang berada di sekeliling pejabat tinggi pemerintah yang memperoleh jatah pembagian makanan,” kata Ji.

Pada suatu larut malam di bulan Maret tahun 1996, dalam cuaca dingin yang membeku Ji Seong-ho menelusuri kegelapan menuju rel kereta api untuk menanti kereta pengangkut batubara yang lewat dengan kecepatan rendah.

Ji melompat untuk masuk ke gerbong, tetapi karena terlalu lapar dan kurang tenaga, sehingga dia terpeleset dan jatuh di antara kedua kompartemen kereta.

Roda kereta api kemudian menggilas tangan dan kaki sebelah kirinya. Ji Seong-ho pingsan tak tahu lagi apa yang terjadi. Beruntung dia ditemukan oleh prajurit yang sedang patroli dan kemudian membawanya ke rumah sakit.

Tangan dan kaki sebelah kiri Ji terpaksa diamputasi oleh dokter rumah sakit yang tidak memiliki persediaan obat-obatan anestesi. Rasa sakit yang luar biasa membuat Ji kembali kehilangan kesadaran.

Meskipun ia bisa pulang dalam kondisi masih hidup, tetapi Ji menyesal karena sekarang ia menjadi beban bagi keluarganya. Melihat adik-adiknya makan lebih sedikit demi dirinya, membuat Ji tidak tahan.

“Saya mencoba untuk bunuh diri, tetapi hal itu lebih sulit dari apa yang Anda bayangkan. Setelah itu saya mulai berpikir bagaimana untuk tetap hidup.”

Ketika itu, ayah memberinya sebuah kruk dari kayu agar Ji bisa berjalan. Kruk itulah yang dibawa serta ke dalam acara undangan dari Trump dan kemudian diangkat tinggi-tinggi. Dengan tongkat ketiak ini Ji pernah kembali melakukan aksi pencurian batubara.

Saat reporter Wall Street Journal menanyakan bagaimana Ji bisa melakukannya. Ia menjawab secara singkat, “Berpikirlah seperti ini, Jika Anda tidak dapat melakukannya maka Anda harus bersedia kelaparan.”

Tahun 2000, Ji menyusup masuk ke wilayah Tiongkok hanya demi mencuri makanan. Tetapi saat pulang ke Korea Utara dengan membawa sekarung beras, ia ditangkap pihak berwenang Korut dan disiksa, semua makanan itu dirampas.

Itulah sebabnya ia mengambil keputusan untuk meninggalkan Korea Utara dengan cara apapun.

Tahun 2006, ia bersama saudara laki-lakinya mencoba untuk lari lewat Sungai Tumen yang airnya nyaris menenggelamkan mereka. Mereka akhirnya berhasil tiba di Korea Selatan. Ibu dan adik perempuannya kemudian juga berhasil melarikan diri ke Korea Selatan. (Wu Ying/ET/Sinatra/waa)