Ratusan Turis RRT Buat Onar di Bandara Jepang, Tragedi Kediktatoran Satu Partai

Oleh Chen Han dan Zhou Huixin

Beberapa hari lalu sebanyak 175 orang turis RRT yang tidak puas karena keterlambatan penerbangan, terlibat bentrok dengan polisi setempat di Bandara Narita Jepang.

Komentator bernama Chen Pokong menyatakan, kejadian yang terlihat seperti lelucon ini sebenarnya adalah suatu tragedi, “Inilah sebuah tragedi memilukan yang disebabkan oleh satu partai yang totaliter terhadap rakyatnya.” Menurut Chen, peristiwa ini memberikan pelajaran yang amat dalam bagi warga Tiongkok.

Apakah Rakyat Tiongkok Harus “Cinta Negara” Tergantung Kondisi

Turis RRT yang mengalami perselisihan di dalam dan luar negeri karena berbagai alasan sangat kerap terjadi, dan peristiwa ini memicu opini yang mengarah pada pihak PKT yang bersikap tidak biasanya.

Setelah kejadian itu, surat kabar “Global Times”, media corong PKT, mengutip pernyataan seorang penasehat Pusat Perlindungan Konsuler Kemenlu PKT yang bernama Zhao Yan yang mengatakan, kali ini adalah perselisihan biasa antara penumpang dengan maskapai penerbangan.

Namun demikian dalam kondisi seperti ini, “menyelesaikan masalah dengan menyanyikan lagu nasional bersama jelas tidak sesuai, dan sebaliknya sangat mudah memprovokasi konflik kebangsaan, bahkan menyebabkan konflik menjadi semakin sengit.”

Chen memberi contoh, tahun 2016 di Bandara Hokkaido juga terjadi peristiwa turis RRT membuat keonaran, bahkan turis RRT waktu itu menghalangi jalan lewat imigrasi, kemudian terlibat bentrok sengit dengan polisi Jepang yang kemudian tiba di lokasi untuk menghalau mereka.

Menurut Chen, peristiwa waktu itu lebih parah daripada kali ini, namun surat kabar “Global Times” justru mengatakan tidak terdapat unsur keributan, sebaliknya menuding media massa Jepang “suka menggoreng situasi, tidak tertutup kemungkinan berniat memfitnah”.

Menurut analisa Chen, “Waktu itu antara RRT dan Jepang tengah terlibat konflik sengit, PKT berupaya menstabilkan hubungan RRT-AS dan memanfaatkan hubungan RRT-AS untuk menekan hubungan RRT-Jepang.

Kini hubungan RRT-AS saling berseberangan dan tengah konflik, Trump telah bermain keras dengan PKT, jadi saat ini PKT berniat menstabilkan hubungan RRT-Jepang untuk menghadapi Amerika, jadi buru-buru memperbaiki hubungan dengan Jepang.”

Menlu Jepang Kono Taro berkunjung ke Tiongkok tanggal 27 Januari 2018 lalu, membahas realisasi hubungan interaktif antar petinggi RRT-Jepang, mempercepat mengembalikan dialog pemimpin tiga negara RRT-Jepang-Korsel, dan merealisasikan saling kunjung pemimpin negara RRT dan Jepang serta masalah penting lainnya.

Tepat sebelumnya yakni tanggal 25 Januari, konflik antara turis RRT dengan polisi Jepang itu telah terjadi.

Chen menyatakan, warga/turis RRT dalam mengekspresikan “patriotisme”-nya harus lihat situasi.

“Kapan harus anti Jepang, kapan harus tidak anti Jepang, ini bukan dalam diri masing-masing warga, melainkan harus masuk ke dalam perhitungan permainan politik pemerintah, jika rakyat disuruh membuat onar maka harus membuat onar, jika rakyat disuruh memukul maka rakyat harus memukul.”

Warga Tiongkok Ada Kelainan “Delusional Korban”?

Stasiun TV pusat RRT CCTV bahkan menulis berita yang mengatakan turis Tiongkok menderita kelainan “delusional korban”.

Komentator independen bernama Xing Tianxing mengatakan pada wartawan Epoch Times bahwa kelainan “delusional korban” seperti ini adalah semacam racun yang ditanamkan oleh PKT ke dalam otak rakyatnya.

Menurut dia, “Di bawah pengaruh propaganda PKT dalam jangka waktu panjang, demi tujuan politiknya dan memukul lawan-lawannya, PKT selalu memprovokasi kebencian. Tidak hanya terhadap Jepang, juga terhadap masyarakat internasional, telah terbentuk semacam konsep yakni ‘musuh akan selalu mengancam keselamatan saya’, selalu seolah-olah orang lain akan menindas kita, rakyat Tiongkok selalu diprovokasi seperti itu.”

Selain itu, ia menganalisa, di dalam masyarakat normal jika terjadi masalah, umumnya satu pihak mengajukan tuntutan, lalu pihak lain berusaha berunding untuk menyelesaikan masalah.

Jika menyangkut hak pribadi dianiaya, atau diadukan, akan dicari bantuan hukum terkait, atau mencari konsulat jendral negaranya dan lain-lain.

Namun warga dari daratan Tiongkok tidak bisa, juga tidak mengerti, karena saat diperlakukan tidak adil di dalam negeri, umumnya tidak ada jalur perlindungan hak yang normal.

Xing berkata, “Pemerintahan seperti PKT ini, dalam masyarakatnya tidak memiliki jalur resmi yang normal untuk meminta pertolongan, jika melakukan dengan prosedur normal tidak akan ada yang peduli.”

“Oleh karena itu mereka menggunakan kekuatan massa, membuat keonaran sehingga masalah menjadi besar, dengan cara seperti ini untuk menimbulkan reaksi, untuk menekan, cara berpikir yang memicu rakyat seperti ini pun terbawa hingga ke luar negeri.”

Pakar konstitusi RRT bernama Chen Yongmiao juga menyatakan, perilaku para turis tersebut adalah akibat dari cuci otak dengan budaya partai selama ini. Para turis menyanyikan lagu nasional RRT di bandara Jepang, adalah cara bagi mereka untuk mendapatkan bantuan yang lebih besar.

Kepada reporter Epoch Times ia mengatakan, “Dulu kaum etnis Tionghoa di Kanada pernah didiskriminasi, maka mereka pun mengibarkan bendera Mao Zedong dan turun ke jalan.”

“Orang-orang yang telah diperbudak oleh partai komunis itu hanya bisa menggunakan atribut-atribut yang diberikan oleh komunis untuk melindungi hak mereka.”

“Mereka tidak bisa membayangkan adanya cara atau jalur lain untuk melindungi haknya, mereka telah diperbudak, mereka telah hidup sekian lama di dalam lingkungan komunis, begitu mereka tiba di luar negeri, mereka masih belum bisa keluar dari kungkungan komunis sebelumnya.” (SUD/WHS/asr)