Reaksi Gen Setelah Kematian Membantu Detektif Memecahkan Kejahatan

Saat seseorang meninggal, jantung berhenti memompa darah, otak berhenti berpikir, rambut dan kuku juga berhenti tumbuh. Namun, terlepas dari semua ini, gen masih bekerja keras. Mengapa?

Ungkapan gen, proses dimana informasi yang tersimpan dalam DNA digunakan untuk menciptakan protein dan molekul lainnya, telah terbukti berlanjut dalam tubuh manusia setelah darah berhenti mengalir, kadang-kadang selama beberapa hari, menurut penelitian sebelumnya. Rangkaian sel-sel ini yang bertanggung jawab untuk mematikan sistem kekebalan tubuh, metabolisme, produksi sel dan proses penting lainnya.

Menurut sebuah makalah baru yang diterbitkan pada 13 Februari di Nature Communications, menyaksikan aktivitas gen-gen di antara orang mati ini dapat mengungkapkan wawasan berharga bagi kehidupan. Di dalam makalah tersebut, tim peneliti internasional menunjukkan bahwa memantau ekspresi gen di berbagai jaringan tubuh yang baru meninggal dapat memberikan timestamp (urutan informasi tentang peristiwa yang terjadi) yang sangat akurat saat orang tersebut meninggal.

“Kami menemukan bahwa banyak gen mengubah ekspresi pada interval-interval post mortem yang relatif singkat, dengan cara yang sangat spesifik,” penulis studi Pedro G. Ferreira, seorang peneliti di Institute of Molecular Pathology and Immunology di University of Porto di Portugal, mengatakan dalam sebuah pernyataan. Dengan pengetahuan mengenali kapan dan di mana perubahan gen ini terjadi setelah seseorang meninggal dunia, para periset mungkin dapat mengembangkan model yang dapat memperkirakan waktu kematian secara akurat.

Para ilmuwan dapat memantau ekspresi gen di berbagai sel dengan mengamati molekul-molekul yang disebut transkripsi RNA, yang menyalin segmen DNA untuk membuat protein. Dalam studi baru tersebut, para peneliti menganalisis data transkripsi RNA dari lebih dari 7.000 sampel jaringan yang dikumpulkan dari 5.040 donor yang telah meninggal, termasuk sampel dari otak donor, kulit dan sebagian besar organ utama. Para periset juga membandingkan sampel darah yang diambil sebelum dan sesudah kematian dari donor terpilih, yang memberi kesempatan para peneliti untuk membandingkan langsung ekspresi gen pre dan post mortem (pemeriksaan dan pembedahan mayat untuk menentukan penyebab kematian atau perubahan yang dihasilkan oleh penyakit).

“Segera setelah kematian (dan sampai tujuh jam berturut-turut) kami mengamati peningkatan di dalam ekspresi dari banyak gen tersebut, dan penurunan ekspresi beberapa,” tulis para peneliti. Sebagian besar perubahan terjadi antara 7 dan 14 jam setelah kematian, dan stabil secara signifikan dalam waktu 24 jam.

Dengan menggunakan data transkripsi RNA ini, para peneliti mengembangkan model-model spesifik jaringan untuk memprediksi berapa banyak waktu yang telah berlalu sejak kematian seseorang, juga dikenal sebagai interval post mortem. Dengan rata-rata hasil dari setiap jaringan tersebut, para periset menemukan model mereka dapat memprediksi interval post mortem secara akurat dalam waktu sekitar 10 menit dari waktu sebenarnya, para peneliti menulis.

“Kami menyimpulkan ada tanda khas atau karakteristik dalam pola ekspresi gen setelah kematian yang pada akhirnya bisa digunakan dalam ilmu forensik, tetapi kami tidak beranggapan sekarang memiliki metode yang bisa digunakan di lapangan,” penulis utama Roderic. Guigó, seorang koordinator Program Bioinformatika dan Genomik di Pusat Regulasi Genomik di Barcelona, ​​mengatakan kepada BBC. “Interval post mortem lebih lama, tidak hanya 24 jam, usia individu, penyebab kematian, semua ini perlu untuk dipertimbangkan jika kita ingin mengubah ini menjadi alat yang berguna.” (Livescience/ran)

ErabaruNews