Pertemuan Trump Kim Jong-un Berada di Antara Jebakan dan Keberhasilan

EpochTimesId – Menteri Luar Negeri Korea Utara, Ri Yong-ho sedang berada di Swedia untuk melakukan kunjungan kenegaraan selama 2 hari (15-16 Maret 2018). Masyarakat internasional percaya bahwa Ri ke Swedia berkaitan dengan persiapan untuk pertemuan Kim Jong-un dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Karena pihak berwenang Swedia sebelumnya juga telah mengeluarkan sinyal yang berbunyi, “Semoga menjadi tempat pertemuan bersejarah.”

Masyarakat internasional berharap pertemuan itu akan membahwa hasil positif bagi perdamaian dunia. Meskipun tempat dan waktu pertemuan belum ditetapkan.

Namun cuaca cerah itu kembali diselimuti awan mendung. Setelah sekian waktu suasana mulai adem-ayem tanpa suara yang membuat pikiran tegang, tiba-tiba pada 14 Maret 2018, Partai Buruh Korea Utara memecahkan kesunyian dengan mengkritik pemerintah Amerika Serikat.

Media Korea Selatan ‘Joongang Ilbo’ memberitakan, sebuah editorial dimuat media Korea Utara ‘Rodong Sinmun’ menyebutkan bahwa pemerintah AS wajib menarik tentara agresor imperialisme yang mereka ditempatkan di Korea Selatan.

Chung Eui-Yong (kanan) bersama Presiden Korea Utara, Kim Jong-Un. (South Korean Presidential Blue House/Getty Images/The Epoch Times)

 

Selain menggunakan istilah tentara agresor imperialisme untuk menyebut militer AS di Korea Selatan, editorial juga dengan sombong menyebut Trump dengan istilah yang lebih tidak enak didengar. Istilah ‘penguasa Amerika’ mereka gunakan dalam editorial lain sehari sebelumnya.

Beberapa analis percaya bahwa ‘cuaca di semenanjung belum benar-benar cerah’. Selain karena pemberhentian tugas Rex Tillerson oleh Trump, juga ditambah lagi dengan tantangan diplomatik antara kedua Korea yang masih terus terjadi.

Analisis menyebutkan bahwa perubahan sikap Korea Utara yang mendadak diduga memiliki kaitan dengan pemberhentian Rex Tillerson.

Kita semua tahu bahwa Tillerson relatif lebih moderat dan dia memiliki sikap golongan ‘faksi merpati’, bukan ‘faksi elang’ yang keras. Tahun lalu, ia mengatakan, “Saya bersedia menemui Korea Utara, walaupun hanya mengobrol tentang cuaca atau hal ringan lainnya.”

Penggantinya, Mike Pompeo adalah seorang yang berkarakter ‘faksi elang’. Ia bersikap skeptis terhadap permintaan Kim Jong-un untuk melakukan pembicaraan dengan Donald Trump. Pompeo malahan menganjurkan sebuah perang preventif melawan Korea Utara.

Bruce Klingner, seorang pakar urusan Korea Utara dari Heritage Foundation yang pernah juga menjadi analis urusan Korea Utara dari CIA menyebutkan bahwa Mike Pompeo dan H.R. McMaster, penasihat keamanan nasional termasuk orang-orang yang berhaluan keras dalam menghadapi Korea Utara.

Jika pertemuan Trump-Kim gagal, maka suara untuk menyulut perang preventif terhadap Korea Utara akan menjadi lebih unggul.

Tetapi sekarang hanya dengan melihat sikap media Korea Utara saja tidak cukup untuk menilai apakah Kim Jong-un telah berubah pikiran, bermaksud untuk membatalkan perundingan.

Situasi yang muncul saat ini memang masih membingungkan, membuat orang sulit menebak apa maunya Korea Utara. Oleh karenanya pakar menyarankan kepada pemerintahan Trump agar melakukan persiapan rencana cadangan.

Diktator Korut, Kim Jong-Un. (Photo : EpochTimes)

VOA mengutip opini mantan Penasihat Keamanan Nasional Colin Kahl memberitakan, kesepakatan Trump untuk menemui Kim Jong-un merupakan sebuah perjudian besar. Meskipun Colin juga mengakui bahwa semua hal ada sisi positif dan negatifnya. Siapa tahu Trump mampu menerobos ancaman paling serius bagi perdamaian dunia untuk keluar sebagai seorang pemenang bagi kepentingan AS dan dunia.

Lalu bagaimana untuk membuat pembicaraan itu sukses, bukan membuat AS masuk perangkap? Voice of America mengutip ucapan Harry Kazianis, seorang direktur riset pertahanan Pusat Kepentingan Nasional yang didirikan oleh Presiden Nixon dan merangkap pemimpin redaksi majalah ‘The National Interest’ menyebutkan bahwa ada 5 saran yang dia berikan.

Harry Kazianis percaya bahwa, jika Amerika Serikat dan Korea Utara mencapai kesepakatan, pertama adalah memastikan adanya pemahaman yang sama antara Amerika Serikat dengan negara sekutunya.

Kedua, tempat pertemuan kedua kepala negarai harus diadakan di negara ketiga dan tidak boleh berada di wilayah Korea Utara. Kazianis percaya bahwa jika pertemuan dilangsungkan di Korea Utara, Kim Jong-un telah diunggulkan dalam publisitas internasional.

Ketiga, Washington dan Seoul tidak menghentikan latihan militer. Ini dapat memberikan kejutan besar buat Korea Utara.

Keempat, penghapusan senjata nuklir Korea Utara perlu ada jadwal rencana dan waktu yang tegas guna kepentingan verifikasi eksternal.

Kelima, Amerika Serikat harus terus memberikan tekanan terbesar kepada Korea Utara sampai perundingan berhasil.

Presiden Donald Trump menyapa tentara di Miramar Marine Corp Air Station di San Diego, California, pada 13 Maret 2018. (Sandy Huffaker/Getty Images/The EPoch Times)

Mantan asisten presiden AS dan peneliti senior di Stanford University International Research Institute, Terry Lynn Karl juga membuat rekomendasi. Kepada Voice of America ia menyarankan agar pemerintahan Trump sudah mulai mengerjakan pekerjaan rumah untuk memperbesar kemungkinan meraih hasil dari pertemuan dengan Kim.

Karl percaya bahwa AS terlebih dahulu harus membentuk sebuah tim negosiasi yang cakap dan berpengalaman untuk menentukan tujuan langsung dan jangka panjang. Barulah kemudian pertimbangkan apa yang ingin dilakukan oleh Amerika Serikat di setiap langkah kompromi dalam negosiasi.

Sehubungan dengan saran Carl, isu yang ditunjukkan oleh mantan Menhan Perry lebih spesifik. Voice of America melaporkan bahwa Perry mengeluarkan sebuah pernyataan dan menunjukkan bahwa pertemuan Trump-Kim akan melibatkan dua isu utama.

Pertama, adalah apa yang harus dibicarakan dengan Korea Utara? Pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan oleh Amerika Serikat dan Korea Utara selama perundingan?

Perry cukup skeptis terhadap ketulusan Kim Jong-un. Dia percaya bahwa Korea Utara mungkin tidak benar-benar bersedia melucuti persenjataan nuklirnya untuk menjadi negara bebas nuklir.

Perry mengatakan bahwa Korea Utara mengembangan senjata nuklir dengan harga yang mahal adalah untuk memastikan kelangsungan hidup keluarga diktator Kim. Sehingga AS dan dunia tidak dapat menggantungkan harapan pada sebuah kesepakatan yang akan mengikat mereka.

Dia menunjukkan, rejim Korea Utara tidak akan terikat oleh standar moralitas dan keadilan apapun. Beberapa pengalaman di masa lalu cukup untuk membuktikan bahwa Kim Jong-un dapat menandatangani sebuah kesepakatan, namun ia juga dapat merobek kesepakatan tersebut setiap saat. (Li Muyang/ET/Sinatra/waa)

Erabaru Chanel :

https://youtu.be/fTKcu82AtsA