Cendekiawan Universitas Tsinghua Jelaskan Mengapa Tiongkok Bisa Kalah Besar dalam Perang Dagang, Tulisannya Segera Dibredel

Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok telah meningkat dalam beberapa minggu terakhir. Minggu lalu, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif bernilai hingga $60 miliar untuk barang-barang impor Tiongkok. Sebagai tanggapan, rezim Tiongkok telah memukul balik dengan pukulan lembut, mengumumkan tarif $3 miliar pada barang impor Amerika.

Bagaimanapun, Tiongkok akan berkompromi karena rezim Komunis tahu dengan jelas bahwa tidak ada cara untuk memenangkan pertempuran perdagangan tersebut. Pejabat dari kedua belah pihak telah memulai perundingan pribadi, sementara Duta Besar Tiongkok untuk Amerika Serikat Cui Tiankai mengatakan dalam wawancara baru-baru ini dengan Bloomberg bahwa Tiongkok bersedia bekerja dengan Amerika Serikat untuk mengurangi defisit perdagangan.

Media yang dikelola negara, sementara, telah ngomong besar tentang tindakan pembalasan yang kuat.

Sun Liping, seorang profesor sosiologi di Universitas Tsinghua dan mantan mentor pemimpin Tiongkok saat ini, Xi Jinping, baru-baru ini telah menerbitkan sebuah artikel di WeChat, platform media sosial Tiongkok yang populer, tentang perang dagang antara AS dan Tiongkok. Sun saat berada di komite akademik untuk mengevaluasi disertasi kandidat PhD selama periode waktu yang sama tersebut Xi sedang mengejar gelar PhD di Tsinghua.

Dia mengatakan dengan tanpa tedeng aling-aling dalam artikelnya bahwa Tiongkok tidak mampu memberikan perlawanan dan memprediksi Tiongkok akan membuat kompromi besar dengan Amerika Serikat. Pos tersebut telah memiliki lebih dari 100.000 pemirsa dalam tiga hari sebelum dihapus dari WeChat.

Dia mengatakan Tiongkok sangat bergantung pada impor dari Amerika Serikat seperti dalam produk-produk teknologi canggih. “Penukaran mata uang asing kita sebagian besar berasal dari AS. Tanpa pertukaran mata uang asing ini, kebutuhan seperti makanan, minyak, dan microchip tidak dapat diimpor.”

Adapun Amerika, ia menjelaskan bahwa ia memiliki sumber daya alam di dalam perbatasannya sendiri yang menopang rakyat negara tersebut. Selain itu, ia memiliki banyak sekutu di seluruh dunia, yang dapat menyediakan pasar bahkan jika ia meninggalkan Tiongkok. “Tetapi kita [Tiongkok] tidak mampu memberikan itu,” katanya terus terang.

“Jika perang perdagangan tersebut bertempur sampai ekstrim, itu akan mencelakakan ekonomi AS secara serius,” ia menunjukkan. “Tetapi bagi kita, sebuah masalah untuk bertahan hidup.”

Seorang blogger Tiongkok yang sudah lama dan sering berkomentar tentang berita ekonomi domestik, dengan nama samaran Manzu Yongshi, juga baru-baru ini menerbitkan sebuah artikel yang menganalisa mengapa Tiongkok tidak mampu melakukan perang dagang dengan mengutip data pabean Tiongkok pasal Amerika Serikat, dia memberikan bukti numerik tentang beratnya ketergantungan Tiongkok pada barang-barang Amerika, terutama di bidang kendaraan transportasi, komoditas pangan, dan peralatan medis.

Posting blog tersebut segera dihapus oleh sensor Tiongkok juga.

Blogger lain, menulis dengan nama pena, Ganwu Shenghuo, mengatakan dia telah bekerja di pemerintah pusat selama bertahun-tahun. Dia menulis sebuah artikel yang menyangkal tindakan balas dendam yang telah disebut-sebut di media pemerintah. Dia percaya artikel media negara tersebut hanya untuk mempengaruhi opini publik Tiongkok. Blogpost-nya juga segera diblokir.

Satu strategi yang disebutkan di media pemerintah adalah agar rezim Tiongkok menjual sejumlah besar obligasi Treasury AS. Namun dia mengatakan Tiongkok tidak memiliki pilihan lain kecuali membeli obligasi Treasury AS karena itu adalah investasi paling aman dengan keuntungan tinggi bagi rezim Tiongkok. Di sisi lain, jika Tiongkok menjual sejumlah besar obligasi Treasury AS dalam waktu yang sangat singkat, harga akan turun dengan cepat. Orang Amerika dapat membeli obligasi harga rendah yang dijual oleh Tiongkok dan mendapatkan keuntungan sangat tinggi.

Argumen lain adalah Tiongkok menghentikan impor kedelai dari Amerika Serikat. Namun, rezim kemudian harus mengimpornya dari negara lain dengan harga tinggi. Dia memperkirakan bahwa ketika harga kedelai naik di negara-negara itu, pembeli lain kemungkinan akan pergi membeli kedelai dari Amerika sebagai gantinya, menggagalkan alur rencana Tiongkok. (ran)

ErabaruNews