Prihatin Atas Tekanan Tiongkok di Xinjiang, AS Pertimbangkan Tindakan Hukuman

BEIJING – Seorang diplomat senior Departemen Luar Negeri AS mengatakan tindakan hukuman dapat diambil untuk menghukum tindakan keras rezim Tiongkok terhadap orang-orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang.

Laura Stone, Sekretaris Asisten Deputi Pelaksana untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, mengatakan kepada wartawan di Beijing pada 18 April bahwa penahanan massal baru-baru ini terhadap penduduk Xinjiang di tempat yang disebut pusat pendidikan ulang politik “melukiskan gambaran yang memprihatinkan,” dan menyeru kepada Rezim komunis Tiongkok untuk memiliki “sistem yang lebih transparan dan akuntabel.”

Dia menambahkan bahwa Amerika Serikat dapat mengambil tindakan melalui Undang-undang Magnitsky (Global Magnitsky Act), yang menempatkan pembatasan-pembatasan perjalanan dan keuangan pada individu yang telah terbukti terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia atau korupsi. Individu-individu yang tercantum di bawah Undang-undang Magnitsky tersebut dapat membuat semua aset-aset AS mereka dibekukan dan tidak akan diizinkan untuk melakukan bisnis dengan bank-bank AS.

Pada bulan Januari, Presiden AS Donald Trump mengumumkan sanksi-sanksi berdasarkan UU Magnitsky terhadap 14 entitas Iran dan individu yang terlibat dalam kejahatan hak asasi manusia.

“Kita akan terus menyampaikan keprihatinan kita dengan pemerintah Tiongkok dan menyerukan proses hukum yang sah dalam penahanan warga-warganya,” kata Stone.

Dia mengatakan kelangkaan informasi yang keluar dari Xinjiang membuatnya sulit untuk memperoleh jumlah angka tentang mereka yang ditahan oleh pihak berwenang tetapi itu “setidaknya dalam puluhan ribu” orang.

Stone menambahkan bahwa pemerintah AS sangat prihatin dengan anggota keluarga yang ditahan dari enam wartawan, empat warga AS dan dua penduduk tetap AS yang telah meliput di Xinjiang, bekerja untuk Radio Free Asia (RFA) yang berbasis di Washington DC, yang sebagian didanai oleh pemerintah AS.

Undang-undang Magnitsky  untuk pelanggarnHAM dan korupsi
Para prajurit Tiongkok dengan peralatan anti huru-hara mengamankan daerah di luar Masjid Id Kah, setelah Imam Jumwe Tahir dibunuh oleh para penyerang setelah sholat subuh pada 30 Juli 2014 di Kashgar lama, Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Tiongkok. (Kevin Frayer / Getty Images)

Pemerintah lokal selama dua tahun terakhir telah mengawasi sebuah peningkatan dramatis dalam keamanan dan pengawasan di Xinjiang dalam upaya yang jelas untuk memaksakan otoritas pusat yang lebih besar dan menindak keras sebagai akibat dari ketegangan-ketegangan etnis.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia dan orang-orang buangan mengatakan bahwa kontrol Tiongkok terhadap agama, budaya, dan kebebasan bergerak di Xinjiang lebih berat dari sebelumnya, di tengah laporan-laporan tentang penahanan yang meluas, termasuk bagi mereka yang telah bepergian ke luar negeri atau dinilai terlalu taat beragama.

RFA melaporkan pada bulan Januari bahwa lebih dari 120.000 orang ditahan di fasilitas pendidikan ulang di selatan kota Xinjiang di Kashgar saja.

Rezim komunis secara rutin menyangkal penindasan di Xinjiang, wilayah luas yang oleh jutaan suku dan agama minoritas menyebut rumah. Para pejabat juga tidak secara terbuka mengakui keberadaan penahanan massal di jaringan pusat pendidikan ulang politik di kawasan tersebut.

Associated Press melaporkan kembali pada bulan Desember 2017 bahwa pihak berwenang Xinjiang telah membentuk jaringan pusat-pusat penahanan di mana orang akan dipaksa untuk menerima apa yang disebut pendidikan politik untuk waktu yang tidak terbatas. (ran)

ErabaruNews