Beranikah Kim Jong-un Mempermainkan Trump?

Liao Dongqing

“Zona Panas” kedua terbesar di dunia yang juga paling mungkin akan meletus peperangan, terletak pada pemimpin negara Korea Selatan dan Korea Utara yang berada di Semenanjung Korea, yang akhirnya pada tanggal 27 April 2018 lalu, kedua pemimpin itu berdialog di Rumah Perdamaian yang dibangun di sebelah Panmunjom pada Garis 38 Derajat, kedua negara membuat pernyataan bersama: Deklarasi Panmunjom, mendeklarasikan tidak ada lagi peperangan di Semenanjung Korea, apakah hal ini akan terwujud?

Apakah Kim Jong-un akan meletakkan senjata (nuklir)nya dan bertobat? Tidak ada hal baru di dunia ini, jika melihat kembali pada sejarah, ketika kedua negara menandatangani surat kesepakatan perdamaian itu, juga merupakan momentum akan pecahnya perang, ini menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Sebelum PD-II, Jerman dan Uni Soviet baru saja menandatangani perjanjian tidak saling serang, setelah itu Jerman menguasai Polandia dan setelah seluruh Eropa Barat ditaklukkan Jerman ternyata malah menginvasi Uni Soviet.

Melihat pemandangan pemimpin kedua Negara Korea bergandengan tangan, ingatan kita dapat digiring ke Perang Saudara antara kaum Nasionalis dengan Komunis Tiongkok disaat PD-II baru saja berakhir, di bawah komando Jendral berbintang lima, jendral Marshall dari AS, Mao Zedong dengan was-was menumpang pesawat militer AS didampingi Marshall terbang ke kota Chongqing (ibu kota Republik Tiongkok bentukan Sun Yat Sen) untuk berunding damai dengan Chiang Kai-shek (pemimpin Patai Nasionalis sekaligus Presiden Republik Tiongkok waktu itu).

Di ruang pertemuan itu Mao Zedong meneriakkan yel-yel “Hidup Ketua Komisi Chiang Kai-shek” sebanyak 3 kali, yang tidak hanya berhasil menipu Amerika juga telah menipu Chiang Kai-shek, akhirnya Mao Zedong dipulangkan kembali ke Yanan (ibu kota PKT kala itu) dengan pesawat.

Setibanya di Yanan, Mao Zedong menurunkan instruksi mengobarkan perang saudara di seluruh negeri, perang sipil antara Nasionalis (Kuo Min Tang) melawan partai komunis pun berkobar kembali, Mao Zedong berani berperang selama 4 tahun karena adanya dukungan penuh dari Uni Soviet, ditambah lagi dengan para mantan perwira tinggi Jepang yang telah menyerah membantu Mao Zedong menyusun strategi dan memberi komando, kurang dari 4 tahun, Chiang Kai-shek yang memiliki pasukan 8 juta personil dengan perlengkapan ala Amerika telah mengalami kekalahan total!

Pada pertemuan kedua pemimpin Korea hari itu, Kim sama sekali tidak takut, karena di belakangnya ada dukungan RRT, pemandangan seperti ini bukankah mirip dengan pertemuan antara Nasionalis dengan Komunis di Chongqing? Selama RRT mengendalikan Kim Jong-un dari belakang, tidak mungkin ada perdamaian di Semenanjung Korea sama sekali, Korea Utara juga tidak mungkin denuklirisasi sepenuhnya, karena yang akan tampil adalah permainan politik yang paling dikuasai oleh RRT, yakni “pukul dan berunding silih berganti (Da Da Tan Tan)”.

RRT ingin memanfaatkan Korut untuk meningkatkan pengaruh internasionalnya dan berupaya untuk setara dengan Trump, dalam hal ini Trump tidak akan mengijinkannya, bukan karena Trump berniat menguasai kesempatan untuk menjadi orang yang berjasa dalam hal ini, tapi Trump juga tahu betul, jika RRT dibiarkan ikut campur, maka Semenanjung Korea tidak akan pernah berdamai, 24 tahun terakhir adalah bukti nyata.

Saat ini AS tengah menekan RRT dengan perang dagang dan ekonomi, agar RRT mengurangi pengaruh dan kendali politik terhadap Korut, tapi RRT juga berniat menyandera Korut untuk mengancam Amerika agar mengalah dalam perang dagang dengan RRT, jadi RRT berniat memanfaatkan jurus “pukul dan berunding silih berganti” yang jitu nan licik itu.

Trump bukan seorang politisi sejati, ia adalah seorang pengusaha yang cerdik, ia tidak peduli prosesnya, yang paling diminatinya adalah hasilnya, sedangkan kaum politisi paling peduli akan prosesnya, ada hasil atau tidak, tidak menjadi masalah.

Jadi Trump juga akan menerapkan taktik perang dagang yang massive untuk menghukum RRT, tapi RRT sepertinya membabi buta menelan obat penawar, menghadapi sanksi dagang AS, RRT pun malah semakin mengancam dan menekan Taiwan, mengeluarkan uang banyak untuk menyuap negara sahabat Taiwan yakni Republik Dominika, yang mengumumkan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan per 1 Mei lalu. Gedung Putih melihat peristiwa ini dan semakin berang, karena ini berarti secara tidak langsung menantang AS.

Berdasarkan riset kami, di kemudian hari di tangan Trump ada lebih banyak kartu As yang akan dikeluarkan satu demi satu, kartu As militer, ekonomi, sanksi dagang dan lain-lain. Kartu apa yang dimiliki RRT? Hanya ada satu kartu Korut, terhadap Taiwan sendiri hanya tersisa kartu mengepung Taiwan dengan kapal perang dan jet tempur saja, mungkin tidak lama lagi akan muncul pemandangan jet tempur AS dan Taiwan bersama mengitari wilayah udara di sekitar Taiwan mendampingi jet tempur milik RRT yang mengancam.

Kami juga menganjurkan Trump agar pada saat menghadapi Kim dalam dialog juga menggunakan taktik “pukul dan berunding silih berganti” dalam menghadapi Korut dan RRT, inilah taktik menggunakan jurus lawan untuk balik meringkus lawan tersebut, ini adalah cara paling elit dalam politik untuk membalas lawan, taktik ‘Da Da Tan Tan’ terhadap RRT dan Korut sama sekali bukan menempuh cara yang sama.

Dalam menghadapi RRT, AS harus menempuh sanksi dagang dan ekonomi untuk menghadapinya, sedangkan kartu militer disiapkan sebagai cadangan, dicadangkan tapi tidak digunakan, mungkin akan dibutuhkan, tapi menghadapi Korut, cukup satu kartu untuk menaklukkan Korut, yakni kartu militer, AS bisa mengerahkan pesawat pembom siluman untuk menghancurkan pabrik atau fasilitas militer rahasia yang tidak diakui Korut, karena walaupun dihancurkan, dia pun tidak bisa berbuat apa-apa! (SUD/WHS/asr)