Ekonomi Tiongkok Akan Mundur 40 Tahun Karena Perang Dagang

EpochTimesId – Setelah Amerika Serikat memberlakukan tarif hukuman terhadap komoditas impor dari Tiongkok, pihak berwenang Beijing juga melakukan hal yang sama terhadap AS sebagai upaya pembalasan. Perang dagang Tiongkok-AS dianggap sedang berlangsung.

Para ahli percaya bahwa dalam jangka panjang, ekonomi Tiongkok akan kehilangan sumber daya keuangan Amerika untuk bertahan hidup, sehingga mengalami kemunduran 40 tahun. Apakah kenyataannya akan demikian? Mari kita ikuti ulasan para ahli.

Pada 6 Juli, otoritas Washington mulai memberlakukan tarif tambahan sebesar 25 persen atas 800 macam komoditas import dari Tiongkok senilai 34 miliar dolar AS. Pada hari yang sama, Beijing juga memberlakukan tarif baru terhadap 545 macam komoditas AS termasuk produk pertanian, mobil dan produk akuatik sebagai pembalasan.

Perang dagang akhirnya terjadi juga setelah perwakilan perdagangan AS berulang kali mengunjungi Beijing untuk dialog dalam upaya mencegah perang, dengan menyelesaikan masalah pencurian kekayaan intelektual dan perdagangan tidak adil mengalami jalan buntu.

Presiden AS menyebut hal ini baru sebuah langkah awal. Dikemudian hari jika diperlukan, Trump dapat mengenakan tarif atas barang-barang Tiongkok lainnya bernilai ratusan miliar dolar yang khusus diberlakukan untuk komoditas Tiongkok.

Gong Shengli, peneliti wadah pemikir keuangan Tiongkok mengatakan, “Jika Trump meneruskan perang dagang, maka Tiongkok sangat mungkin akan terpukul hingga kembali pada posisi 40 tahun silam. 1 Januari tahun ini adalah tahun ke 40 Amerika Serikat secara terus menerus memberikan aliran devisa dolar AS kepada RRT, sehingga memungkinkan ekonomi Tiongkok mengalami kemajuan pesat. Tanpa dolar AS itu ekonomi Tiongkok tidak mungkin bisa bangkit. Jadi ini adalah masalah yang sangat serius.”

Sarjana keuangan daratan Tiongkok He Junqiao mengatakan, “Perang dagang ini menjadi tantang terbesar sejak reformasi Deng Xiaoping, juga krisis nasional yang paling signifikan dialami Tiongkok. Tantangannya melebih sanksi yang diberlakukan negara Barat kepada Tiongkok sejak tahun 1989.”

Pasar saham yang digunakan sebagai barometer ekonomi menghadapi dampak dari perang dagang. Kinerja mereka di AS dan di Tiongkok bagaikan langit dan bumi. Bursa saham AS masih bergerak naik sesuai tren hari-hari sebelumnya, bahkan mencapai titik tertinggi. Namun sebaliknya, harga saham di bursa Tiongkok anjlok yang dibarengi pula oleh mata uangnya.

‘Wall Street Journal menggambarkan, situasi yang terjadi saat itu mengingatkan ketika crash pasar saham di musim panas pada tahun 2015. Namun situasi sekarang tampaknya lebih buruk lagi, karena penurunan harga didorong oleh saham-saham blue-chip yang dijual secara besar-besaran oleh investor institusi.

Lebih dramatis lagi, kedelai AS yang dianggap Tiongkok sebagai rudal paling ampuh untuk menyerang AS, tidak terpengaruh oleh perang dagang. Bahkan ekspor kedalai AS bulan Mei mencapai 2 kali lipat dari waktu sebelumnya, justru membantu menurunkan angka defisit perdagangan AS.

He Junqiao mengatakan, “Ekonomi Amerika Serikat berkembang begitu bagus, sangat ajaib, merupakan keuntungan dari tatanan politik dan militer pemerintah AS. Namun keajaiban ekonomi Tiongkok muncul dari gelembung ilusi belaka. Keajaiban ekonomi AS didasarkan pada pertumbuhan teknologi tinggi yang nyata. Karena itu kesenjangan antar kedua negara tersebut sangat besar.”

Gao Shanwen, ekonom Essence Securities Co.,Ltd. dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa ada 3 alasan yang menunjukkan mengapa masyarakat dan partai yang berkuasa di AS berkonsensus menentang Tiongkok komunis;

Pertama karena ideologi Tiongkok bertolak belakang dengan Amerika Serikat. Dan Amerika Serikat telah menyadari terjadi kesalahan dalam menerapkan kebijakan Tiongkok di masa lalu.

Kedua karena sejak Tiongkok bergabung dengan WTO, AS kehilangan banyak lapangan kerja sehingga tingkat pengangguran naik tajam. Dan, ketiga karena persaingan tidak adil dalam dunia perdagangan sehingga mengikis kepentingan AS.

He Junqiao mengatakan, dalam kondisi seperti ini, dimana ekonomi riil sedang mengalami resesi, teknologi tinggi tidak mampu berdikari. Masalah pengangguran tidak terpecahkan, devaluasi mata uang masih terjadi, pasar saham sedang anjlok, gelembung perumahan menghadapi ancaman meletus.

Jika saja pemerintah Tiongkok komunis masih bersikeras untuk berperang dagang dengan AS, maka yang akan ditemui adalah malapetaka.

“Dalam masa 1 hingga 2 tahun ke depan ekonomi Tiongkok hanya akan memburuk ketimbang membaik. Karena itu di satu sisi rakyat Tiongkok harus siap mental untuk mengencangkan ikat pinggang, di sisi lain, merupakan ujian berat bagi pemerintah Tiongkok komunis. Bila mereka bersedia memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menerapkan jalan demokrasi konstitusional, supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia, dan secara menyeluruh terintegrasi ke dalam sistem ekonomi bebas dunia, maka Tiongkok masih bisa mendapatkan kehidupan baru.”

“Jika Anda mengandalkan strategis back to back Rusia, mengandalkan sembilan negara Asia Tengah untuk membentuk zona ekonomi lokal tertutup, maka saya percaya bahwa ekonomi Tiongkok tidak akan bertahan lama,” demikian kata He Junqiao.

Setelah ditolak oleh Uni Eropa, saat ini pemerintah Tiongkok masih berharap untuk melawan AS dengan menggandeng negara anggota WTO. Tetapi dunia usaha berpendapat bahwa, situasi saat ini terjadi akibat Tiongkok komunis sendiri yang melanggar komitmennya terhadap WTO. Rupanya ancaman keluar dari WTO yang dilontarkan Trump juga membuat Tiongkok komunis menapak di lorong buntu. (ET/Sinatra/waa)

SImak Juga :

https://youtu.be/fTKcu82AtsA