Tiongkok Dipaksa ‘Injak Pedal Rem’ dalam Mengejar Ambisi Ekspansi Global

EpochTimesId – Tiongkok telah menginvestasikan ratusan miliar dolar AS dalam proyek OBOR (jalur sutra/one belt one road). Mereka mencoba untuk meningkatkan pengaruh globalnya dengan membiayai proyek-proyek besar di Asia, Eropa Timur dan Afrika.

Tapi sekarang, Tiongkok terpaksa ‘menginjak pedal rem’ memperlambat laju program OBOR.

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah Tiongkok berusaha membagi negara-negara yang berpartisipasi ke dalam wilayah kekuasaannya. Tapi di satu sisi Tiongkok harus menghadapi perang dagang dengan AS, sekaligus berjuang untuk mengatasi utang dalam negeri.

Tiongkok di sisi lain, menemui semakin sadarnya negara-negara miskin bahwa pembangunan infrastruktur besar proyek OBOR hanya akan membuat mereka membayar dengan harga yang sangat mahal. Dengan demikian, pemerintah Tiongkok terpaksa ‘injak pedal rem’ dalam mengejar ambisinya.

Pemerintah Tiongkok memperlambat progres proyek OBOR
Menurut data terakhir yang terkumpul dan dilaporkan oleh New York Times, jumlah kontrak proyek OBOR yang ditandatangani oleh perusahaan Tiongkok bersama pihak ketiga telah menurun dari tahun lalu. Para pejabat Tiongkok juga mengingatkan kepada perbankan di Tiongkok agar berhati-hati dalam melepas pinjaman yang terkait proyek OBOR, perbankan harus bisa memastikan apakah debitur asing mampu membayar kembali.

“Situasi internasional saat ini sangat tidak pasti. Banyak risiko ekonomi yang muncul, suku bunga pasar negara berkembang bergerak labil,” kata Hu Xiaolian, Direktur The Export-Import Bank of China (CEXIM) pada bulan Juni dalam sebuah forum.

Xiaolian menambahkan, “Perusahaan dan negara kita yang terlibat dalam kegiatan proyek OBOR akan menghadapi kesulitan keuangan.”

‘South China Morning Post’ melaporkan bahwa dalam sebuah forum yang diadakan di Guangzhou pada 12 April lalu, mantan ketua dewan CEXIM Li Ruogu mengatakan bahwa kebanyakan negara sepanjang jalur OBOR tidak memiliki kemampuan untuk membayar proyek yang mereka ikuti.

“Rasio utang rata-rata dan rasio utang negara-negara ini masing-masing mencapai 35 persen hingga 126 persen. Itu telah melampaui garis peringatan yang diakui secara global yakni sebesar 20 persen dan 100 persen,” ujar Ruogu.

The New York Times mengutip ucapan sumber yang mengetahui masalah itu, memberitakan bahwa pemerintah Tiongkok sekarang mulai memeriksa berapa banyak transaksi yang telah dicapai oleh perusahaan Tiongkok peserta proyek OBOR? Apa saja persyaratan pembiayaannya ? Dan negara mana saja yang terlibat?

Para pejabat AS dan Eropa sudah lama khawatir bahwa OBOR mewakili Tiongkok untuk berebut kekuasaan dalam diplomasi dan ekonomi dengan negara-negara Barat. Untuk melayani tujuan jangka panjang Tiongkok.

Di bawah rencana OBOR, bank-bank yang dikendalikan pemerintah Tiongkok memberikan pinjaman dalam jumlah besar kepada negara-negara lain untuk proyek-proyek infrastruktur raksasa. Termasuk proyek kereta api berkecepatan tinggi, jalur kereta api dan pembangkit listrik.

Dana (pinjaman) ini sering disertai dengan syarat, “Perusahaan Tiongkok harus terlibat dalam perencanaan dan pengkonstruksian proyek. Oleh karena itu, perusahaan Tiongkok akan memperoleh banyak bisnis.”

Namun sekarang, ekonomi Tiongkok mulai menunjukkan tanda-tanda melambat, dan di bawah kesuraman perang dagang dengan AS, otoritas Beijing juga berjuang untuk mengatasi tumpukan hutang macet di dalam negeri. Pada saat seperti ini, memberikan pinjaman kepada negara lain adalah tidak tepat.

Banyaknya proyek luar negeri memiliki potensi untuk menciptakan aset ‘gajah putih besar’ (suatu aset berbeban mahal tetapi gagal dalam memenuhi harapan keuntungan) yang berdampak memperlemah kemampuan perusahaan Tiongkok beserta mitra lokal mereka.

Tahun ini, beberapa pejabat Tiongkok mulai muncul kekhawatiran terhadap pembayaran kembali pinjaman para debitur proyek OBOR. Yi Gang, Gubernur Bank Sentral Tiongkok mengingatkan pada bulan April, “Tidak kalah penting untuk memastikan keberlanjutan (sustainability) dari pinjaman yang diberikan.”

Menurut data resmi bahwa proyek baru OBOR mengalami penurunan. Dalam lima bulan pertama tahun 2018, kontrak yang ditandatangani perusahaan Tiongkok adalah sebesar 36,2 miliar dolar AS, menurun 6 persen dari periode yang sama tahun lalu.

“Saya merasakan bahwa antusias Tiongkok tahun ini pada proyek OBOR menurun dibandingkan dengan tahun lalu,” kata Eswar Prasad, Ekonom Cornell University dan mantan kepala IMF devisi Tiongkok kepada New York Times.

Ketidakpastian dalam prospek ekonomi global, perang dagang AS-Tiongkok dapat menggoyahkan kepercayaan dan menghambat pertumbuhan ekonomi. AS telah menaikkan suku bunga jangka pendek yang membuat pinjaman lebih mahal.

Proyek OBOR kian menimbulkan kecurigaan dari lembaga-lembaga internasional. Mereka memperingatkan bahwa negara berkembang jangan sampai dibebani dengan utang yang berlebihan.

Ketua Dana Moneter Internasional, Christine Madeleine Odette Lagarde pada bulan April tahun ini mengatakan, “Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalur (OBOR) seharusnya diterapkan pada negara yang benar-benar membutuhkannya.”

Tiongkok sedang mencoba untuk membentuk kembali tatanan ekonomi global
Dokumen Strategi Keamanan Nasional yang dikeluarkan oleh pemerintahan Trump pada bulan Desember tahun lalu mengungkapkan bahwa Tiongkok komunis sedang berupaya menggunakan investasi infrastruktur dan strategi perdagangan untuk mencapai tujuan geopolitiknya.

Laporan ‘New York Times’ menyebutkan, Tiongkok telah memperoleh peningkatan pengaruh melalui proyek OBOR mereka dengan membangun rel kereta api dan pelabuhan di Afrika, Asia dan Eropa. Tiongkok menginvestasikan 1 triliun dolar AS dalam proyek infrastruktur di 60 negara, dengan maksud untuk membentuk kembali tatanan ekonomi global dan menempatkan negara-negara yang berpartisipasi ke dalam lingkup pengaruhnya.

Amerika Serikat dan sekutunya di Asia dan Eropa telah bersikap lebih berhati-hati terhadap inisiatif Tiongkok termaksud, mereka juga khawatir jatuh ke dalam perangkap Tiongkok. Australia adalah salah satu negara yang menolak bergabung dengan program ini.

Pada bulan Desember tahun lalu, hanya dalam beberapa minggu, Pakistan, Nepal, dan Myanmar mengkonfirmasikan bahwa mereka membatalan kontrak kerjasama proyek pembangkit listrik tenaga air utama dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok yang terkait proyek OBOR.

Ketiga negara tersebut memiliki alasan politik atau ekonomi yang berbeda di balik pembatalan proyek itu. Namun, faktor umumnya adalah bahwa negara-negara miskin semakin sadar bahwa pembangun proyek-proyek infrastruktur besar yang dilaksanakan Tiongkok hanya akan membuat mereka membayar harga yang sangat tinggi.

Ketika utang tidak dapat dibayar, negara debitur akan menghadapi dilema penyerahan aset kepada pemerintah Tiongkok. Pada bulan Desember tahun lalu, Sri Lanka secara resmi menyerahkan pelabuhan strategis Hambanthota kepada Tiongkok karena tidak mampu membayar utang yang berat kepada negara komunis tersebut.

Media asing berkomentar bahwa inilah target yang akan dicapai Tiongkok komunis melalui menabur uang ke luar negeri. Yakni mengimplimentasikan imperialisme. (Qin Yufei/EW/Sinatra/waa)

Simak juga, Pengakuan Dokter yang Dipaksa Panen Organ Hidup :

https://youtu.be/0x2fRjqhmTA