Karikatur Ungkap Ekonomi Tiongkok Hadapi Masalah Besar

EpochTimesId – Sebuah gambar karikatur tentang perang dagang yang disebarkan perusahaan riset investasi AS, Hedgeye, ramai dibahas netizen. Sebuah kapal digambarkan sebagai kapal ekonomi milik Tiongkok, dengan seorang pelaut yang terkejut melihat seekor ikan hiu bertuliskan Tarif AS sedang berenang mendekat.

Namun tanpa disadari bahwa kapal besar itu hanya akan melaju dengan kecepatan yang lambat karena sudah terlilit oleh kaki gurita raksasa.

Dunia luar berpendapat bahwa pembebanan tarif mungkin bukan target utama yang perlu mendapatkan perhatian. Tetapi kekhawatiran yang lebih besar terletak pada masalah ekonomi Tiongkok, karena tingkat pertumbuhan akan lebih lambat dari yang diharapkan. Sedangkan pihak berwenang untuk mengamankan angka pertumbuhan terpaksa menggelontorkan lagi dana pinjaman yang cukup besar.

Mitch Fraser-Jones, direktur komunikasi investasi perusahaan Woodford, (sebuah perusahaan modal ventura di Inggris) mengatakan bahwa gambar karikatur tersebut mengungkapkan kegelisahan pasar modal tentang liputan berita perang tarif yang sedang terjadi saat ini. Tetapi, karikatur juga menunjukkan risiko lebih besar yang bersembunyi di bawah permukaan perekonomian Tiongkok.

Gambar karikatur. (Mitch Fraser-Jones/@Mitchell_FJ)

John Authers, seorang pengamat di Financial Times juga mengatakan bahwa meskipun kebanyakan orang umumnya beranggapan bahwa gejolak pasar baru-baru ini disebabkan oleh tarif, tetapi sebenarnya membutuhkan tinjauan yang lebih teliti terhadap ekonomi Tiongkok.

Investasi di bidang konsumsi menurun, pertumbuhan ekonomi Tiongkok melamban
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok kuartal kedua terus melambat dengan pertumbuhan output manufakturing bulan Juni melemah ke titik terendah selama dua tahun terakhir. (6,0%, 0,5% lebih rendah dari perkiraan sebelumnya). Sementara investasi domestik dan ekspor juga terkena dampak dari perang dagang.

“Kami perkirakan bahwa pertumbuhan H2 akan terpengaruh oleh turunnya angka pinjaman dan lemahnya aktivitas real estate. Selain itu, meningkatnya konflik perdagangan dengan Amerika Serikat juga menjadi ancaman menurunnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok,” tulis Louis Kuijs, Direktur Ekonomi Asia, Institut Ekonomi Oxford Hong Kong dalam sebuah laporannya.

“Ketidakpastian tentang dampak tarif AS terhadap ukuran dan struktur ekspor Tiongkok telah melemahkan kepercayaan bisnis dan tertundanya investasi, terutama investasi lintas batas,” jelasnya.

Pertumbuhan investasi aset tetap Tiongkok pada semester pertama tahun ini mencapai rekor terendah. Investasi aset tetap mencakup anggaran yang dikeluarkan untuk pengkonstruksian bangunan baru, pabrik, jalan dan pelabuhan laut. Diantaranya pasar real estat adalah pendorong utama ekonomi Tiongkok. Investasi baru dalam real estat pada bulan Juni adalah yang terendah dalam 6 bulan tahun ini, sementara itu penjualan real estat juga menurun.

Akhirnya, dari perspektif ekspor neto, pendorong kuat naiknya angka ekspor Tiongkok pada bulan Juni tersebut adalah akibat peningkatan kiriman menjelang kenaikan tarif AS. Tetapi data impornya menunjukkan kian pesimis.

Julian Evans-Pritchard, ekonom dari Capital Economics mengatakan, setelah disesuaikan dengan faktor musiman. Impor Tiongkok pada bulan Juni turun 4,2%, menunjukkan bahwa permintaan domestik cenderung lemah.

Pihak berwenang Tiongkok selalu berharap ada rangsangan ekonomi melalui meningkatnya konsumsi internal. Tetapi data konsumsi pada semester pertama tahun ini gagal mencapai pertumbuhan yang diharapkan.

Konsumsi paruh pertama tahun ini (termasuk sektor swasta dan pemerintah) menyumbang 78,5%, periode yang sama tahun lalu adalah 63,4%; Pertumbuhan penjualan ritel dari Mei mulai naik, tetapi tingkat pertumbuhan hanya 9,4% sepanjang tahun ini, sementara tahun lalu angka itu mencapai 10,4%.

Sebagian besar ekonom percaya bahwa ketahanan ekonomi Tiongkok akan pecah dalam beberapa bulan mendatang. Kecuali untuk perdagangan ekspor pada paruh kedua tahun ini, serta efeknya terhadap geopolitik dan kebijakan moneter AS akan muncul satu demi satu, sengketa perdagangan dapat memberikan dampak terhadap PDB 2018 Tiongkok sekitar 0,2 – 0,5%.

Ekonomi Tiongkok selain memiliki risiko penurunan, bahaya lebih besar yang mengancam adalah kandungan yang berada di dalam ekonomi Tiongkok. Rezim melakukan upaya deleverage untuk mempertahankan pertumbuhan yang dapat menyebabkan krisis ekonomi yang semakin serius.

Melonggarkan pengontrolan utang dapat berakibat pada kolaps-nya perekonomian Tiongkok
Guna menghadapi perlambatan permintaan domestik dan risiko perang dagang, para pembuat kebijakan Tiongkok telah mulai meningkatkan daya tahan ekonomi dan melonggarkan sikap mereka terhadap deleveraging.

Selama bertahun-tahun, ekonomi Tiongkok telah mengumpulkan sejumlah besar pinjaman berisiko tinggi. Utang pemerintah, korporasi dan lokal telah menjadi ‘badak abu-abu’ atau beban bagi ekonomi Tiongkok.

De-leveraging adalah upaya untuk mengurangi hutang perusahaan dan pemerintah lokal, tindakan tersebut sendiri akan menyebabkan perlambatan pada pertumbuhan investasi pabrik, pertumbuhan belanja rumah tangga dan peningkatan default perusahaan dalam membayar kembali utang mereka. Perang dagang Tiongkok-AS dapat makin menonjolkan masalah dalam ekonomi Tiongkok yang sengaja mereka sembunyikan.

Sebelum AS menerapkan putaran pertama langkah tarif perdagangan terhadap Tiongkok pada 6 Juli 2018, jumlah kasus default di pasar obligasi korporasi Tiongkok meningkat.

Hingga paro waktu tahun ini, jumlah total tunggakan utang perusahaan Tiongkok telah mencapai 19 miliar RMB (setara 2,9 miliar dolar AS). Jumlah itu lebih tinggi dari 14 miliar RMB yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.

Para analis mengatakan bahwa jika regulator Tiongkok semakin menekan bank komersial Tiongkok untuk membersihkan kredit macet mereka, maka tingkat utang macet perbankan akan jauh lebih tinggi daripada yang mereka laporkan.

Tingkat utang resmi bank-bank komersial yang diumumkan oleh otoritas keuangan kurang dari 2%. Namun, Wall Street Journal baru-baru ini mengutip contoh bank pedesaan di Provinsi Guizhou, seperti yang dipersyaratkan oleh pihak berwenang untuk menggolongkan pinjaman yang tidak dilunasi dalam 90 hari setelah jatuh waktu sebagai non-performing loan/kredit macet. Dengan demikian rasio kredit macet bank tersebut akan melambung 3 kali lipat menjadi 20 %.

Namun, untuk melindungi pertumbuhan ekonomi, pihak berwenang Tiongkok secara diam-diam telah melonggarkan panduan deleveraging bagi perusahaan dan pemerintah lokal.
Pekan lalu, Dewan Negara Tiongkok telah berhenti mengeluarkan pemberitahuan pengawasan, mendesak pemerintah lokal untuk mempercepat proyek-proyek investasi yang telah disetujui untuk merevitalisasi pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah Pusat biasanya menggunakan metode pengawasan untuk menilai pejabat lokal dan mempromosikan pelaksanaan Arahan Tertinggi. Sebelum ini, pemerintah telah menekankan perlunya mengendalikan skala pinjaman pemerintah daerah.

Juru bicara Biro Statistik Mao Shengyong juga mengatakan kepada media pada hari Senin (16/7/2018) bahwa ia mengharapkan untuk memulai lebih banyak proyek infrastruktur setelah menyelesaikan pemeriksaan utang pemerintah lokal di Beijing.

Investasi dalam aset tetap infrastruktur meningkat sebesar 7,3% pada semester pertama tahun ini sedangkan pada paruh pertama tahun 2017 adalah 21,1%.

Zhu Chaoping, ahli strategi pasar JP Morgan Asset Management mengatakan, jika Tiongkok kembali melonggarkan kebijakan moneternya, maka kredit BUMN bisa menjadi lebih tinggi, di sinilah letak risiko.

Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas internasional telah berulang kali mengeluarkan peringatan tentang masalah utang Tiongkok. Menurut data dari Bank of International Settlements, utang Tiongkok hingga akhir tahun 2016 sudah mencapai 257% dari PDB mereka. Tingkat persentase yang jauh lebih tinggi dari pada negara-negara berkembang yang baru mencapai 184% dari PDB.

Bank menunjukkan bahwa jumlah total utang sangat besar, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah tingkat pertumbuhan utang Tiongkok terlalu cepat.

Capital Economics dalam sebuah laporannya tahun lalu telah memperingatkan, tingkat pertumbuhan utang Tiongkok jauh lebih cepat daripada hampir semua negara besar lainnya. Akumulasi utangnya yang berkelanjutan merupakan risiko terbesar yang dihadapi pasar Asia yang sedang tumbuh.

Tahun 2016, Voice of America mewawancarai ekonom penerima Nobel tahun 2008, Paul Krugman. Ketika ditanya tentang, jika ekonomi Tiongkok menghadapi situasi lebih serius, apakah negara lain di dunia dapat melakukan penyelamatan pasar?

Krugman dengan menggeleng-gelengkan kepala menjawab, “Tidak mampu!”

Dia percaya bahwa ekonomi Tiongkok akan sulit untuk diselamatkan karena skupnya terlalu besar. (Lin Yan/ET/Sinatra/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/fTKcu82AtsA