Hukuman Tidak Adil untuk Obat dan Makanan Palsu di Tiongkok Dipertanyakan Publik

Masalah keamanan makanan dan obat-obatan di Tiongkok adalah insiden serius ketika terjadi, meskipun pihak berwenang Tiongkok menemukan diri mereka di bawah kemarahan dari para netizen yang mempertanyakan keadilan dari beberapa hukuman.

Ketika sebuah rumah sakit umum di Provinsi Shandong menjual obat palsu baru-baru ini didenda sedikit, banyak pengguna internet Tiongkok mengungkapkan kemarahan atas sanksi lunak untuk penjualan obat palsu tersebut. Dazhong Net, sebuah situs berita yang dikelola negara, melaporkan pada 11 Agustus bahwa Rumah Sakit Rakyat Kota Qingdao Chengyang dikenai denda 692,5 yuan (sekitar $100) karena menjual kulit jeruk palsu, sejenis obat tradisional Tiongkok yang biasa digunakan untuk meredakan batuk dan lendir.

Sementara itu, dua insiden lain di bagian lain negara tersebut memberikan perbedaan yang sangat kontras pada tingkat hukuman yang diterima.

Dua pedagang makanan jalanan di Kota Xi’an, Provinsi Shaanxi, menambahkan baking powder (bahan pengembang adonan kue) ke tepung untuk membuat roti goreng yang mengandung aluminium, melebihi standar hampir 10 kali dan 6 kali, masing-masing. Mereka didenda lebih dari 140.000 yuan ($20.260) dan 230.000 yuan ($33.280), masing-masing, oleh Pengadilan Distrik Lianhu di Xi’an, menurut laporan 10 Agustus oleh Surat Kabar Hua-shang, surat kabar yang dikelola pemerintah di Xi’an.

Selain itu, seorang pasien kanker, Zhai Yiping, ditahan setelah membantu pasien lain yang ia temukan di internet membeli obat anti-kanker dari Jerman, menurut China Youth Daily, koran lain yang dikelola negara, pada 14 Agustus. Obat buatan dalam negeri sering dianggap tidak aman, sehingga banyak warga beralih ke obat-obatan asing sebagai gantinya. Namun, obat-obatan asing yang dijual di Tiongkok sering sangat mahal, karena bea masuk yang tinggi dan pembatasan lain yang diberlakukan oleh Beijing,

Zhai ditahan di Pusat Penahanan Shanghai dengan tuduhan “menjual obat palsu.” Dia telah membantu pasien kanker hati tersebut membeli obat PD-1 dan Lenvatinib dari Jerman sejak tahun 2016, karena beberapa pasien kanker stadium terminal (tingkat paling parah) tidak dapat menemukan pengobatan efektif lainnya di Tiongkok pada saat itu, menurut China Youth Daily.

Zhai mengatakan kepada pengacaranya bahwa dia tidak tahu bahwa membantu orang lain membeli obat kanker dari luar negeri merupakan kejahatan menjual obat palsu.

Beberapa pasien dalam grup obrolan internet tempat Zhai bertemu dengan sesama pasien kankernya mempertanyakan bagaimana mungkin bahwa sementara obat-obatan domestik di Tiongkok, seperti yang dijual oleh rumah sakit Shandong, sering palsu dan mengakibatkan efek samping yang berbahaya, sedangkan obat yang efektif dibeli dari negara lain dapat dianggap palsu, menurut laporan China Youth Daily.

Pasal 48 Undang-undang Administrasi Obat di Tiongkok menetapkan bahwa obat-obatan yang belum disetujui untuk produksi, impor, atau pemeriksaan di perbatasan Tiongkok dianggap sebagai obat palsu.

Sebuah film hit baru-baru ini menyoroti masalah ini, dengan penggambarannya tentang seorang pria yang mulai menyelundupkan obat anti kanker generik India ke Tiongkok setelah dia tidak mampu membeli obat yang dibuat oleh perusahaan farmasi Swiss Novartis. Para pengamat mencatat bahwa rilis film tersebut adalah taktik rezim Tiongkok untuk memicu kebencian terhadap negara-negara asing, menyalahkan perusahaan asing dengan harga mahal pada obat-obatan yang menyelamatkan jiwa, meskipun kebijakan Beijing sendiri yang menaikkan harga-harga tersebut.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sepersepuluh dari obat-obatan yang diproduksi di dunia adalah palsu. Di Afrika, di mana kira-kira 100.000 orang meninggal akibat obat-obatan palsu setiap tahun, 70 persen dari pemalsuan tersebut sebagian besar berasal dari India dan Tiongkok. (ran)