Laporan Pelanggaran Tiongkok Terhadap Kebebasan Akademis di Kampus AS

Kebebasan akademik di universitas-universitas AS menghadapi peningkatan gangguan oleh Beijing, menurut laporan organisasi penelitian yang berbasis di Washington.

Anastasya Lloyd-Damnjanovic, seorang peneliti di Woodrow Wilson International Center, merinci taktik-taktik Beijing dalam laporan setebal 143 halaman berjudul, “A Preliminary Study of PRC Political Influence and Interference Activities in American Higher Education” (Studi Awal Pengaruh Politik RRT dan Aktivitas Interferensi dalam Pendidikan Tinggi Amerika).

Tiongkok menduduki peringkat pertama selama delapan tahun berturut-turut sebagai negara teratas bagi mahasiswa asing yang belajar di perguruan tinggi dan universitas AS di Amerika Serikat. Itu termasuk 350.755 mahasiswa dari Tiongkok di kampus Amerika pada tahun akademik 2016-2017, menurut laporan Lloyd-Damnjanovic.

Lloyd-Damnjanovic mewawancarai lebih dari 100 anggota fakultas perguruan tinggi, di samping banyak mahasiswa dan pengurus, antara Desember 2017 dan Juni 2018. Selain itu, ia memeriksa studi-studi akademis, laporan-laporan resmi, dan laporan berita, untuk menarik kesimpulannya.

Penelitiannya mengungkapkan bahwa diplomat-diplomat Tiongkok yang ditempatkan di Amerika Serikat sering mencoba mempengaruhi pembahasan mengenai Tiongkok di perguruan-perguruan tinggi AS, baik dengan menyelidik atau menjajaki maupun menggunakan bentuk-bentuk percakapan yang mengintimidasi fakultas dan para staf.

Menekan Fakultas

Misalnya, Robert Barnett, mantan anggota fakultas di Universitas Columbia, mengatakan kepada Lloyd-Damnjanovic dalam sebuah wawancara bahwa ia sering dikunjungi oleh pejabat-pejabat Tiongkok dari kantor konsulat New York di New York, untuk menekannya agar mendukung kebijakan Beijing di Tibet.

Para pejabat tersebut berusaha untuk mengetahui posisi Barnett tentang perubahan kebijakan Amerika terhadap wilayah tersebut dan rencana-rencana para pejabat AS untuk bertemu dengan pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama. Barnett mengatakan dia menduga para pejabat Tiongkok ini bekerja untuk dinas intelijen Tiongkok atau Departemen Pekerjaan Front Bersatu.

Partai Komunis Tiongkok (PKT) menginvasi Tibet pada tahun 1949, menyatakannya sebagai bagian dari wilayah Tiongkok. Sejak itu Partai tersebut memberlakukan kontrol keras atas cara hidup orang-orang Tibet, terutama dengan menekan agama Buddha Tibet mereka. PKT terus menerus menekan komunitas internasional untuk sejalan dengan sikap Beijing dalam mendelegitimasi agama tersebut, termasuk dengan mengucilkan perusahaan-perusahaan dan individu yang menyatakan dukungan untuk Dalai Lama.

Front Bersatu, yang pernah disebut oleh mantan pemimpin PKT Mao Zedong sebagai senjata penting dalam revolusi komunis, melakukan operasi rahasia di dalam dan di luar perbatasan Tiongkok. Di luar negeri, mereka merekrut mata-mata dan menyusup komunitas-komunitas Tionghoa untuk menyebarkan propaganda Partai dan membujuk orang-orang Tionghoa lokal untuk menyetujui kebijakan-kebijakan Beijing.

Kejadian lain terjadi di University of Colorado, Boulder, di mana seorang anggota staf mengingat kembali parnah ditanyai oleh pejabat-pejabat Tiongkok yang berkunjung dari konsulat Chicago tentang insiden pada tahun 2002.

Sebuah pertengkaran terjadi antara orang-orang Tibet dan seorang mahasiswa Tiongkok daratan, yang saat itu adalah sebagai presiden Asosiasi Mahasiswa dan Sarjana Tiongkok (CSSA) di universitas tersebut. Kelompok mahasiswa universitas seperti itu, dirancang untuk mahasiswa-mahasiswa internasional dari Tiongkok daratan, yang dikenal direkrut dan dipantau oleh Beijing untuk membantu melaksanakan agenda-agenda PKT.

Seorang pejabat konsulat senior bertanya kepada anggota staf tersebut mengapa dia tidak berbuat lebih banyak untuk “membantu” presiden CSSA.

Para diplomat Tiongkok juga mengatur delegasi-delegasi dari Tiongkok untuk mengunjungi perguruan tinggi dan universitas-universitas AS dan bertemu dengan para akademisi dan profesor untuk membahas persoalan-persoalan yang sensitif, seperti Tibet; kelompok spiritual Falun Gong, yang dianiaya oleh PKT sejak 1999; orang-orang Uighur yang dianiaya di wilayah Xinjiang; Taiwan, yang juga diklaim oleh Beijing sebagai bagian dari wilayahnya; dan aktivis-aktivis demokrasi Tiongkok.

Menurut laporan Lloyd-Damnjanovic, beberapa kunjungan ini melancarkan tujuan menyebarkan propaganda rezim Tiongkok tentang topik-topik tersebut.

Para profesor AS yang mempelajari topik-topik yang dianggap sensitif oleh Beijing kemungkinan juga ditawari suap atau diancam oleh pejabat Tiongkok. Misalnya, Xia Ming, seorang profesor di City University of New York (CUNY), teringat bahwa ia pernah menerima panggilan telepon dari kantor konsulat Tiongkok di New York, menawarkan uang kepadanya jika ia menarik diri dalam partisipasinya untuk pembuatan film dokumenter HBO yang berjudul “China’s Unnatural Disaster: The Tears of Sichuan Province“ (Bencana Tiongkok yang Tidak Wajar: Air Mata Provinsi Sichuan). Xia mengatakan dia diberitahu oleh konsulat tersebut bahwa dia akan “mengalami konsekuensinya jika [dia] terus melanjutkan film tersebut.”

Film dokumenter itu, yang diproduksi bersama oleh Xia, adalah tentang gempa bumi di Provinsi Sichuan Tiongkok barat daya pada 12 Mei 2008, yang menewaskan sekitar 70.000 orang; banyak dari mereka adalah anak-anak yang meninggal ketika sekolah-sekolah mereka yang dibangun dengan sangat buruk pada roboh. Pada tahun 2009, film dokumenter tersebut dinominasikan untuk Academy Award untuk Film Dokumenter Terbaik.

Tekanan Mahasiswa

Beberapa mahasiswa Tiongkok yang belajar di perguruan tinggi AS telah direkrut oleh Beijing untuk membantu mengembangkan tujuan-tujuannya. Sebagai contoh, mahasiswa-mahasiswa ini mungkin menuntut agar para profesor atau instruktur mengubah bahasa atau materi pengajaran mereka, menekan universitas mereka untuk membatalkan kegiatan akademik, memantau mahasiswa dan kegiatan lain di kampus, dan menyelidiki fakultas untuk mendapatkan informasi, semua untuk membela agenda Beijing tentang “konten sensitif.”

Sebagai contoh, seorang anggota fakultas dari University of Denver mengenang dua contoh pelecehan dalam bentuk email-email mahasiswa setelah dia memberi kuliah tentang Pembantaian Lapangan Tiananmen tahun 1989, yang menyebabkan puluhan pengunjuk rasa pro-demokrasi tewas. Dalam salah satu email, seorang mahasiswa Tiongkok menuduh anggota fakultas tersebut berbohong tentang jumlah korban, dan bersikeras bahwa tidak ada yang meninggal dalam insiden itu.

Langkah-langkah Masa Depan

Lloyd-Damnjanovic menawarkan beberapa saran untuk perguruan-perguruan tinggi AS dan para pembuat kebijakan Amerika untuk mencegah pengaruh Tiongkok.

Perguruan tinggi harus bekerja dengan penegak hukum federal, katanya, dan melaporkan contoh-contoh tentang diplomat Tiongkok yang menekan atau mengancam pembalasan pada staf di perguruan tinggi Amerika.

Lloyd-Damnjanovic juga menyarankan agar pemerintah AS menyatakan status persona non grata untuk para pejabat Tiongkok di Amerika Serikat jika mereka menekan universitas-universitas Amerika atau staf mereka. Dalam diplomasi, seseorang yang dinyatakan sebagai “persona non grata” dilarang memasuki atau tinggal di suatu negara.

Selain itu, universitas-universitas dapat membuat sistem pelaporan sehingga fakultas universitas dan mahasiswa dapat melaporkan kasus-kasus gangguan dan pelanggaran, dia menyarankan. (ran)