Perjanjian Vatikan dengan Tiongkok Menarik Perhatian di Tengah Kekacauan

BEIJING — Kesepakatan terobosan Vatikan untuk memberi Tiongkok beberapa kekuasaan untuk membuat keputusan atas penunjukan uskup telah menuai kritik yang menuduh gereja tersebut telah menyerah pada Partai Komunis yang berkuasa sama saja artinya ia sedang melakukan tindakan keras terhadap agama.

Kesepakatan tersebut adalah langkah untuk menyampaikan pesan tentang harapan yang telah lama tersimpan di hati untuk menyatukan 12 juta umat Katolik Tiongkok yang telah terpecah antara mereka yang beribadah di gereja-gereja yang direstui negara dengan para imam bawah tanah serta umat paroki yang setia kepada paus, yang sering ditahan dan dilecehkan.

Spesifikasi tentang kesepakatan yang telah diumumkan akhir pekan ini belum terselesaikan. Paus Francis mengatakan pekan ini bahwa perjanjian tersebut memungkinkan dilakukannya diskusi dengan Tiongkok tentang pengajuan nama-nama uskup, tetapi akhirnya paus yang akan memutuskan. “Hal itu dilakukan dalam dialog,” katanya. “Kecuali nama-nama Roma. Nama-nama paus. Ini jelas.”

Meskipun Vatikan akan mempertahankan kekuasaan untuk mengajukan kandidat, Beijing kemungkinan akan diberikan hak untuk menolak mereka, kata Anthony Lam, seorang ahli gereja Tiongkok di Pusat Studi Roh Kudus (Holy Spirit Study Center) di Hong Kong.

“Saya sendiri percaya bahwa dalam prosesnya, Takhta Suci akan setuju untuk memberikan hak veto kepada pemerintah Beijing,” kata Lam, seraya menambahkan bahwa Vatikan tidak punya banyak pilihan selain menerima syarat-syarat Tiongkok.

Perjanjian tersebut menyerukan kepada Vatikan untuk mengakui tujuh uskup yang telah ditunjuk oleh Beijing tanpa persetujuan kepausan dan pada saat yang sama juga membuat pengaturan untuk dua uskup yang sah yang tetap setia kepada Roma untuk mengundurkan diri.

Langkah tersebut dipandang sebagai konsesi (pemberian hak izin) di pihak Vatikan dalam menghadapi pernyataan Beijing bahwa ia tidak akan mengizinkan “kekuatan-kekuatan asing” untuk mengatur kelompok-kelompok agama negara.

Vatikan telah membuat “kompromi yang tidak biasa untuk mencapai kesepakatan ini, sementara Tiongkok tidak memberikan sediki pun, hampir tidak ada apa pun, hingga saat ini,” kata Fenggang Yang, direktur Center on Religion and Chinese Society di Universitas Purdue. Para atheis militan yang melakukan posting online menyamakan langkah Vatikan tersebut dengan menyerahnya Jepang pada akhir Perang Dunia II yang mana Partai Komunis menerima pujian, katanya.

Namun, segera sesudahnya, Vatikan mengatakan semua uskup di Tiongkok sekarang bersekutu dengan Roma. Vatikan mengatakan perjanjian itu bersifat sementara, mengisyaratkan dapat ditinjau kembali secara berkala.

Dalam sebuah surat untuk orang-orang Tiongkok yang setia pada 26 September, paus mendesak umat Katolik Tiongkok untuk mempercayainya. Tampaknya itu ditujukan untuk mengakui keberatan-keberatan yang mendalam dari beberapa kelompok bawah tanah yang setia, yang bagi mereka perjanjian tersebut merupakan pengkhianatan terhadap prinsip demi pemerintah Komunis dan pengkhianatan terhadap kesetiaan mereka selama puluhan tahun kepada paus.

Fransiskus mengakui bahwa orang-orang Tiongkok ini “merasa diri mereka sendiri bagaimanapun juga merasa ditinggalkan” dan menyatakan “kekaguman yang tulus” atas kesetiaan mereka selama bertahun-tahun. Tujuan dari kesepakatan tersebut, katanya, adalah memulai suatu proses untuk pertama kalinya bahwa “kita berharap akan membantu menyembuhkan luka-luka masa lalu, memulihkan persekutuan penuh di antara semua umat Katolik Tiongkok, dan mengarah ke fase kerjasama persaudaraan yang lebih besar.”

Apakah kesepakatan tersebut bertahan tergantung pada banyak faktor, termasuk tingkat kecurigaan pemerintah dan seberapa besar keinginan gereja bawah tanah untuk bekerja sama.

Kardinal Joseph Zen dari Hong Kong, di antara kritikus paling sengit tentang kedekatan Vatikan dengan Beijing, telah mengecam perjanjian itu sebagai sebuah pengkhianatan terhadap klerus bawah tanah dan para jemaatnya yang sering dianiaya karena ketidakpatuhan mereka terhadap negara.

Tiongkok telah memperketat kontrol pada semua agama, terutama agama Kristen dan Islam yang dipandang sebagai impor asing dan para penantang potensial bagi otoritas Komunis.

Pihak berwenang telah menurunkan atau menghancurkan salib-salib dari gereja-gereja yang bahkan telah disetujui secara resmi, telah menutup gereja-gereja, dan setidaknya di satu kotapraja, telah mengganti poster Yesus Kristus dengan potret pemimpin Tiongkok Xi Jinping dalam apa yang disebut kampanye anti-agama paling keras sejak tahun 1966-1976 Revolusi Kebudayaan.

Pendeta Bernardo Cervellera, yang memiliki agensi AsiaNews secara dekat telah meliput perundingan antara Vatikan dan Tiongkok tersebut, mengatakan departemen partai yang bertanggung jawab untuk urusan agama semuanya tidak mau kehilangan kekuasaan absolutnya atas gereja dan mungkin mencoba untuk merusak perjanjian, seperti yang mereka lakukan dengan kesepakatan-kesepakatan masa lalu.

Kedua belah pihak mungkin telah mempercepat kesepakatan itu sehingga mereka memiliki sesuatu untuk ditunjukkan dari dialog selama tiga tahun, kata Cervellera.

Tidak jelas apa yang akan terjadi pada sekitar 30 uskup bawah tanah yang sekarang diharapkan untuk memperhatikan pemerintah dan bergabung dengan Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok yang resmi, sesuatu yang banyak keengganan untuk dilakukan. Uskup Shanghai Thaddeus Ma Daqin telah dibawa pergi ke tahanan rumah tidak lama setelah mengundurkan diri dari keanggotaannya di asosiasi tersebut. Enam tahun kemudian, dia belum muncul di depan khalayak umum lagi.

Tiongkok juga mempertahankan permintaan lama agar Takhta Suci (Holy See) memutuskan hubungan dengan Taiwan sebelum ia dapat menormalkan hubungan diplomatik dengan Beijing yang terputus hampir 70 tahun yang lalu. (ran)

https://www.youtube.com/watch?v=j8LVdlpJRoI&t=313s