Mampukah Beijing Bertahan 10 Tahun dalam Perang Dagang Melawan AS?

Zhou Xiaohui

Ma Yun (yang lebih dikenal dengan nama: Jack Ma) ketua dewan komisaris Alibaba dalam pidatonya pada 18 September lalu mengatakan bahwa perang dagang AS-RRT “akan berlangsung untuk waktu yang lama dan akan terjadi kekacauan”, boleh jadi akan berkobar selama 20 tahun, bahkan pasca pemerintahan Trump juga masih tetap akan berlanjut. Itu sebabnya dia mendesak para pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk mengubah kebijakan perdagangan dan membuka pasar Tiongkok serta memanfaatkan kesempatan Trump menaikkan tariff untuk melakukan ‘peningkatan level’.

Yang patut diperhatikan adalah, beberapa jam sebelum ia berpidato, Presiden Trump mengumumkan mulai mengenakan tarif pada barang-barang import dari RRT senilai 200 miliar USD.

Kata-kata Ma Yun sebagai seorang pengusaha besar dipenuhi dengan rasa khawatir dan penilaiannya tentang ‘berkobar selama 20 tahun’ itu, lain orang lain pula pendapatnya, lantas resep/solusi yang ia berikan apakah akan diterima oleh petinggi Beijing, juga masih diragukan.

Kebetulan, beberapa hari sebelumnya, media PKT menerbitkan sebuah artikel yang ditulis bareng oleh 5 guru besar dari Sekolah Partai Pusat, melalui pembandingan sejarah, menggambarkan perang dagang RRT-AS sebagai periode sejarah khusus, di mana negara yang baru bangkit dan berkembang pasti akan ditekan oleh negara kuat nomor satu dan masa itu akan berlangsung selama 10 tahun.

Segera ada analisis media Hong Kong yang menunjukkan bahwa ini seharusnya bukan pendapat dari beberapa pihak saja, melainkan gagasan yang sudah direstui oleh pimpinan tertinggi PKT. Hal ini menunjukkan bahwa Beijing sedang menggagas “Perencanaan besar melawan AS selama 10 tahun” dan ia dalam jangka waktu pendek tidak akan mengalah dengan mudah.

Jelas, tak peduli kalangan elit Zhongnanhai (kantor pusat partai dan pemerintahan di Beijing) atau pebisnis Jack Ma sudah siap mental melawan Amerika Serikat, sedikitnya untuk 10 tahun kedepan bahkan lebih lama lagi, itulah yang disebut “perang berkepanjangan (Perang Tahan Lama)”. Dengan kata lain, akan berperang sambil berunding dengan Amerika dan bakal mengulur waktu selama mungkin.

Membicarakan Perang Tahan Lama, membuat orang mau tidak mau teringat akan pasukan pemerintah Republik of China (Pasukan Kuo Min Tang) pada beberapa abad lalu (1932), di bawah kepemimpinan “Perang Tahan Lama” dari Chiang Kai-shek (penerus Sun Yat Sen dan presiden ROC waktu itu), mulai bertempur dengan penuh pengorbanan, berhasil melewati 8 tahun perlawanan total dan mencapai kemenangan akhir (1945).

Adapun yang di gembar-gemborkan oleh PKT yakni “Teori Perang Tahan Lama Mao Zedong dan strategi perang yang tepat telah memimpin perang komprehensif melawan Jepang”, ini tidak hanya arogan tetapi juga penuh dusta, karena Mao mempublikasikan “On Protracted War (Tentang Perang Tahan Lama)” di Yan-an (ibu kota pasukan PKT pada PD-II) baru pada tahun 1938.

Alasan mendasar mengapa perang melawan Jepang mencapai kemenangan, adalah dikarenakan perang itu adalah perang melawan agresor, perang antara keadilan melawan ketidak-adilan, Meskipun kekuatan ekonomi dan militer Tiongkok kala itu (sebelum komunis merebut kekuasaan pada 1949) jauh dibawah Jepang, namun berkat kehendak Ilahi, hati rakyat dan dukungan komunitas internasional pada saat itu, semuanya berada di pihak Tiongkok.

Sebaliknya menilik “Perang Tahan Lama” melawan Amerika Serikat yang hendak dilancarkan oleh PKT, kekalahan sudah ditakdirkan, perlu diketahui bahwa hakikat dari perang dagang AS-RRT adalah serangan balik Amerika Serikat yang ditujukan kepada PKT yang selama bertahun-tahun ini telah menggunakan praktik perdagangan yang tidak adil untuk merusak aturan WTO dan mencuri hak kekayaan intelektual dalam skala besar serta model ekonomi predator yang lain.

Melaksanakan proteksionisme perdagangan, tidak memenuhi komitmen ketika bergabung dengan WTO, otoritas Beijing yang berulang-ulang merusak aturan perdagangan yang normal, tidak hanya kehendak Tuhan tidak berada dipihaknya, juga sudah kehilangan simpati rakyat, komunitas internasional dari banyak negara juga tidak puas dengan perilaku PKT.

Ajaran kuno “air dapat menopang perahu sekaligus dapat membalikkannya” seharusnya juga diperhitungkan oleh pihak level atas Beijing. PKT yang telah menggerakkan aksi yang tak terhitung jumlahnya untuk menindas rakyatnya sendiri, setelah memberlakukan policy reformasi dan keterbukaan telah memperlambat ritme kemusnahan dirinya.

Namun, setelah Jiang Zemin memerintah dengan KKN dan mulai menindas gerakan Sejati – Baik – Sabar (1999), moralitas masyarakat di daratan Tiongkok telah merosot dengan drastis. Palsu – Jahat – Murka telah merajarela dan semua orang sangat materialistis.

Setelah Xi Jinping yang pernah memberi asa kepada orang Tiongkok, memegang pemerintahan, program intensif aksi ganyang koruptornya, benar-benar membuat orang merasakan suatu harapan baru, itu sebabnya dia mendapatkan banyak dukungan dari khalayak dan merebut kembali hati sebagian rakyatnya.

Namun setelah Kongres Nasional ke 19 PKT, demi menjaga rezim PKT dan mempertahankan kekuasaan, otoritas Beijing mempropagandakan Marxisme-Leninisme dan “pemikiran Xi Jinping”, slogan “supremasi hukum” sudah hampir tidak ada gaungnya, serta telah memulai pengendalian menyeluruh terhadap seluruh masyarakat.

Penganiayaan berkelanjutannya terhadap para pengacara HAM, pemohon petisi, praktisi Falun Gong dan masyarakat Uighur Xinjiang, serta sejumlah kasus vaksin palsu, P2P dan lain-lain kasus kejahatan yang meledak ditambah lagi dengan perang dagang RRT-AS serta penanganan ekonomi internal dan aspek lainnya yang keliru, telah membuat Beijing kehilangan simpati rakyat dan suara ketidakpuasan terdengar di seantero negeri.

Mengamati situasi komunitas internasional. Upaya Beijing menggandeng Uni Eropa, Jepang, Kanada dan negara-negara lain untuk melawan Amerika Serikat telah buyar, karena negara-negara itu juga tercederai oleh merkantilisme PKT, laporan revisi peraturan WTO Uni Eropa terbaru juga adalah sebuah pukulan berat bagi Beijing.

Meskipun otoritas Beijing menampakkan ‘arogansi’ seolah tanpa pasar Amerika Serikat, masih ada pasar Afrika dan Amerika Latin sebagai pengganti, namun banyak kelemahannya sudah terlihat di permukaan. Program ambisius “One Belt One Road” PKT mengalami pembatalan atau penundaan kontrak dari banyak negara juga merupakan pukulan telak bagi Beijing.

Sejak Amerika Serikat dan RRT saling menaikkan tarif, guncangan yang dirasakan Beijing jauh lebih besar daripada AS.

Dampak yang jauh dan dalam adalah penurunan kepercayaan investor di pasar saham dan pasar valuta asing, penurunan kepercayaan investasi asing, penurunan kepercayaan perusahaan swasta terhadap lingkungan hidup, penurunan kepercayaan publik terhadap kehidupan mereka di masa depan dan penurunan kepercayaan ini mengakibatkan perlambatan investasi dan penurunan ekspor, pelarian dana yang dipercepat, perusahaan-perusahaan pindah ke luar negeri atau bangkrut, jumlah pengangguran melonjak secara drastis, dan konsumsi konsumen turun kelas …….

Begitu semua produk yang diekspor ke Amerika Serikat dikenakan pajak lebih tinggi, gejolak apakah yang dapat terjadi di Tiongkok, membuat orang merasa ngeri. Apakah Beijing benar-benar bernyali dan mampu melakukan Perang Tahan Lama selama 10 tahun? Hanyalah bualan kosong di siang hari bolong. (LIN/WHS/asr)