Tiongkok Akan Menghadapi Lebih Banyak Pembatasan Ekspor AS karena Menindas Muslim

WASHINGTON – Pemerintahan Trump sedang meninjau cara-cara untuk menekan ekspor teknologi AS yang dapat digunakan pemerintah Tiongkok dalam pengawasan dan pengasingan minoritas Muslim, di tengah laporan penahanan massal etnis Uighur dan lainnya di wilayah Xinjiang.

Dalam sebuah surat kepada para pemimpin komite kongres, yang dilihat oleh Reuters pada 2 Oktober, Menteri Perdagangan Wilbur Ross mengatakan bahwa departemennya, dalam konsultasi dengan Departemen Luar Negeri dan lembaga-lembaga lain, kemungkinan akan mengumumkan perubahan kebijakan ekspor dalam beberapa minggu.

“Kita sedang melakukan tinjauan ini secepatnya dan berharap untuk mempublikasikan perubahan-perubahan pada Peraturan Administrasi Ekspor, Export Administration Regulations (EAR) nanti musim gugur ini,” kata Ross dalam surat kepada Senator Marco Rubio dan Perwakilan Chris Smith.

Ross mengatakan bahwa kajian tersebut termasuk menilai apakah akan menambah individu-individu Tiongkok, bisnis-bisnis dan lainnya ke dalam daftar entitas yang tunduk pada persyaratan lisensi khusus, merevisi kebijakan perizinan dan memperbarui teknologi yang dikontrol untuk perlindungan hak asasi manusia.

Keputusan sanksi-sanksi apa pun akan menjadi sebuah langkah yang langka atas dasar hak asasi manusia oleh pemerintahan Presiden Donald Trump terhadap Tiongkok, yang terlibat dalam perang perdagangan sementara juga mencari bantuan Beijing untuk menyelesaikan kebuntuan atas senjata nuklir Korea Utara.

Rubio dan Smith, pemimpin Republik dari Komisi Eksekutif Kongres mengenai Tiongkok, menulis surat kepada Ross pada bulan September mendesak pemerintah untuk memperluas sanksi terhadap Tiongkok atas perlakuannya terhadap minoritas Muslim.

Surat Ross adalah tanggapan atas surat tersebut.

Departemen Luar Negeri menyatakan keprihatinan mendalam bulan lalu atas “tindakan keras” yang memburuk di wilayah Xinjiang, untuk itu para pejabat mempertimbangkan sanksi-sanksi terhadap pejabat-pejabat senior Tiongkok dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan tuduhan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.

Rezim Tiongkok telah menggunakan alasan potensi ancaman Islam dan kerusuhan etnis untuk menindak penduduk lokal di Xinjiang.

Orang-orang Uighur dan Muslim lainnya ditahan di fasilitas-fasilitas seperti kamp konsentrasi, yang dikenal sebagai pusat “pendidikan ulang”, dilarang menggunakan sapaan Islam, harus belajar bahasa Mandarin, dan menyanyikan lagu-lagu propaganda, menurut laporan Human Rights Watch.

Negara-negara lain seperti Perancis, Jerman dan Pakistan telah meminta Tiongkok untuk menutup “kamp pendidikan ulang” di wilayah Xinjiang tersebut dan untuk meredakan tekanan terhadap minoritas Muslim.

Panel hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan pada bulan Agustus bahwa Tiongkok diyakini sedang menahan hingga satu juta etnis Uighur. (ran)

https://www.youtube.com/watch?v=Y628crKRgAA