Amerika Serikat Ancam Gelar Operasi Militer di Perbatasan Selatan

EpochTimesId – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memperingatkan bahwa dia akan mengerahkan militer ke perbatasan selatan jika Meksiko tidak menghentikan aliran migran dari Amerika Tengah. Sebagian besar migran tersebut pada akhirnya memasuki Amerika Serikat secara ilegal.

“Saya harus, dalam hal yang paling kuat, meminta Meksiko untuk menghentikan serangan gencar ini. Dan, jika tidak dapat melakukannya saya akan memanggil Militer AS dan MENUTUP BORDER SELATAN KAMI!” Kata Trump dalam sebuah tweet pada 18 Oktober 2018 waktu Amerika.

Dia juga memperingatkan Honduras, Guatemala, dan El Salvador, di mana sebagian besar migran berasal, bahwa Amerika Serikat akan memotong bantuan kepada negara-negara itu. “Karena para pemimpin mereka melakukan hanya sedikit upaya untuk menghentikan arus besar pergerakan orang ini, TERMASUK PARA KRIMINAL,” kicau Trump.

Kementerian luar negeri Meksiko tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar. Pada 2017, Amerika Serikat mengirim sekitar 530 juta dolar AS (sekitar 8 triliun rupiah) bantuan ke tiga negara.

Trump mengatakan dia menganggap meningkatnya aliran migran sebagai serangan terhadap AS, yang dipimpin oleh lawan politiknya, Partai Demokrat. Sebab, partai itu memblokir proposal Partai Republik untuk merombak dan memperketat sistem imigrasi dan meningkatkan keamanan perbatasan, termasuk membangun tembok di sepanjang perbatasan selatan.

“Serangan terhadap negara kami di Perbatasan Selatan kami, termasuk unsur-unsur Kriminal dan OBAT (narkoba) yang mengalir masuk, jauh lebih penting bagi saya, sebagai Presiden, daripada Perdagangan atau USMCA,” kata Trump dalam tweet lainnya. “Semoga Meksiko akan menghentikan serangan ini di Perbatasan Utara mereka. Semua kesalahan (dibuat oleh) Demokrat untuk hukum yang lemah!”

Dalam sebuah tweet lain pada 16 Oktober 2018, Trump mengatakan dia sudha menyampaikan kepada Presiden Honduras Juan Orlando Hernández akan menghentikan bantuan jika rombongan besar migran dari negara kecil itu terus bergerak menuju Amerika Serikat.

Sebanyak 3.000 warga Honduras menyeberang ke Guatemala. Eksodus itu berhasil menerobos polisi anti huru-hara pada 15 Oktober 2018, menurut pemerintahan partai sayap kiri, Liberty and Refoundation (Libre), yang menguasai hampir seperempat dari badan legislatif Honduras dan mendukung sosialisme.

Trump me-retweet video pada 18 Oktober 2018 yang menunjukkan para migran dibayar sekitar 50 quetzals Guatemala per orang (sekitar 100 ribu rupiah). Video itu tampaknya diambil di Chiquimula, Guatemala, pada 16 Oktober 2018. Tidak jelas dari mana uang itu berasal atau siapa orang-orang yang membagikan pembayaran itu.

Pengguna Facebook, Enrique Vitanza memposting video di halamannya pada 16 Oktober 2018. Ketika ditanya tentang asal video itu, Vitanza mengatakan bahwa video itu dikirim kepadanya dari Guatemala. Dia menawarkan beberapa teori tentang siapa yang membagikan uang, tetapi The Epoch Times tidak dapat memverifikasi mereka secara independen.

Kementerian Luar Negeri Honduras meminta warganya untuk tidak bergabung dengan rombongan itu. “Pemerintah mendesak Honduras ambil bagian dalam mobilisasi tidak teratur ini, untuk tidak digunakan oleh gerakan yang jelas-jelas bermotif politik,” kata rilis Kemenlu Honduras.

Salah satu dari empat penyelenggara karavan itu, mantan anggota parlemen Libre Bartolo Fuentes, ditahan oleh polisi Guatemala setelah melintasi perbatasan. Kementerian keamanan Honduras mengatakan Fuentes telah ditahan karena tidak mematuhi peraturan imigrasi Guatemala. Dia akan dideportasi kembali ke Honduras.

Beberapa migran telah berbalik dan pulang kembali, tetapi banyak juga diantaranya yang tetap melanjutkan perjalanan ke utara.

Meksiko mengirim dua bus petugas polisi federal ke perbatasan selatan mereka. Para polisi dikerahkan untuk mencegat karavan itu, menurut laporan USA Today pada 17 Oktober 2018.

Duta Besar Meksiko untuk Guatemala bertemu dengan para migran pada 17 Oktober 2018. Dia memperingatkan mereka tentang bahaya daripada ‘masuk secara ilegal ke Meksiko, terutama bahaya dari para pedagang manusia.

Jaringan perdagangan orang dikendalikan oleh kartel narkoba dan menggunakan rute penyelundupan obat untuk membantu para migran menyeberangi perbatasan AS secara ilegal. Laporan sebelumnya oleh media dan organisasi hak asasi manusia mengatakan bahwa 80 persen wanita pernah diperkosa oleh anggota geng, pedagang, atau migran lainnya sebelum mencapai perbatasan AS.

Duta besar mengatakan kepada para migran bahwa Meksiko memiliki proses untuk mengajukan permohonan status pengungsi. Sementara orang-orang yang menjangkau Amerika Serikat umumnya mengajukan permohonan suaka, sebagian besar tidak memenuhi syarat karena mereka tidak melarikan diri dari penganiayaan negara, tetapi justru melarikan diri dari kondisi ekonomi yang buruk di negara mereka.

Presiden Guatemala Jimmy Morales mengatakan pada 17 Oktober 2018, bahwa pemerintahannya menepis ancaman kendala pada bantuan asing AS. Dia mengatakan bahwa dia berbicara dengan Hernandez tentang memastikan bahwa para migran yang ingin kembali ke rumah dapat melakukannya dengan aman.

Negara-negara dengan Ancaman Kekerasan
El Salvador, Honduras, dan Guatemala, menderita kemiskinan yang meluas dan tingkat kejahatan kekerasan yang tinggi. Tingkat pembunuhan di negara mereka adalah yang tertinggi di dunia.

Honduras telah menghadapi eskalasi kekerasan sejak pemerintahnya digoyahkan oleh kudeta militer pada tahun 2009. Kemudian Presiden Manuel Zelaya mengubah negara menjadi berhaluan kiri dan akhirnya dituduh mencoba secara ilegal mendorong penulisan ulang konstitusi. Dia kemudian ditahan oleh militer dan dipaksa mengasingkan diri.

Kudeta itu memunculkan gerakan kiri, Front Perlawanan Rakyat Nasional (pendahulu dari Libre), yang mengorganisir demo besar dan pembangkangan sipil. Rezim sementara kemudian menekan rakyat dengan kekerasan, kadang-kadang mematikan.

Amerika Serikat, yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Barack Obama, mengutuk kudeta. Namun pernyataan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, yang dirilis beberapa tahun kemudian, menunjukkan bahwa departemennya bekerja untuk menghalangi upaya negara-negara Amerika Tengah lainnya untuk memulihkan Zelaya hingga akhir masa jabatannya. Sebagai gantinya, dia bernegosiasi dengan rezim kudeta mengenai pemilihan yang dijadwalkan akhir tahun itu.

Clinton mengatakan dia tidak ingin menyebut rezim itu tidak sah karena akan memaksanya untuk menghentikan bantuan ke Honduras. Tetapi Zelaya bereaksi terhadap langkahnya dengan menyerukan boikot pemilihan, dan pemerintah Honduras kemudian dilanda krisis legitimasi. (PETR SVAB dan Reuters/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://www.youtube.com/watch?v=JGc59EiEYwQ

Simak juga, Pengakuan Dokter yang Dipaksa Panen Organ Hidup :

https://youtu.be/0x2fRjqhmTA