Sri Lanka Dikhawatirkan Terjebak Memburuknya Ekonomi di Tengah Krisis Politik

Reuters via The Epochtimes

Epochtimes.id- Keputusan Presiden Sri Lanka untuk memecat perdana menteri telah menimbulkan keraguan di kalangan investor global dan analis keuangan tentang membaiknya ekonomi jangka pendek negara itu.

Apalagi kini Sri Lanka terus bergulat dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi dan mata uang yang terus anjlok.

Di antara sorotan utama bagi investor adalah kemampuan Sri Lanka untuk membayar kembali utang luar negerinya dalam jumlah besar di tengah kemungkinan berkurangnya reformasi ekonomi.

Presiden Maithripala Sirisena memecat Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe.

Presiden Sri Lanka ini pun mengangkat mantan presiden Mahinda Rajapaksa yang menjerumuskan negara itu dalam kegaduhan.

Wickremesinghe menuding pemecatannya adalah ilegal. Dia pun bersikukuh masih sebagai perdana menteri dan mendapat dukungan dari mayoritas anggota parlemen.

“Kemampuan untuk melaksanakan reformasi dapat melambat mengingat perkembangan politik dan fakta bahwa pemilihan presiden akan berakhir pada akhir 2019, yang akan menjadi negatif bagi aset Sri Lanka,” kata analis DBS dalam sebuah catatan pada 29 Oktober.

Menurut DBS, Sri Lanka, bergantung pada dukungan asing, memiliki utang sebesar $ 15 miliar jatuh tempo antara 2019 dan 2022.

Biaya jasa utang juga akan meningkat karena mata uang yang lebih melemah seperti dilaporkan oleh Morgan Stanley.

India dan negara-negara Barat telah menyatakan keprihatinannya tentang hubungan Rajapaksa dengan Tiongkok, ketika ia meloloskan miliaran dolar investasi dari Beijing selama masa jabatannya sebagai presiden.

Sebelumnya Maithripala Sirisena ikut andil membantu membangun kembali negara itu setelah 26 tahun perang saudara melawan etnis separatis Tamil yang berakhir pada 2009.

Investasi tersebut telah membuat Sri Lanka terjebak utang dan memaksanya menyerahkan pengelolaan pelabuhan selatan yang strategis ke Tiongkok.

Lembaga pemeringkat kredit Moody’s mengatakan ketidakpastian kebijakan dapat menyakiti sentimen investor dan menyulitkan negara untuk membiayai kembali utang yang jatuh tempo pada awal 2019 dengan tingkat yang terjangkau.

“Krisis politik saat ini di Sri Lanka adalah kredit negatif bagi penguasa,” kata Matthew Circosta, seorang analis dari Moody’s Sovereign Risk Group.

“Dan pada saat pasar keuangan global bergolak, ketidakpastian tentang arah kebijakan masa depan bisa berdampak negatif besar dan kekal terhadap kepercayaan investor internasional.”

Kekeringan dan Banjir

Kondisi moneter dan fiskal yang ketat, dan sektor pertanian kini menghadapi serentetan memburuknya cuaca – termasuk kekeringan dan banjir – telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara itu jatuh ke posisi terendah selama 16 tahun pada 3,3 persen tahun lalu.

Bulan ini, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi 2018 menjadi di bawah 4 persen, dari perkiraan bulan Juni sebesar 4 persen.

Setelah meninjau program ekonomi Sri Lanka yang didukung oleh pinjaman tiga tahun sebesar $ 1,5 miliar, kepala misi IMF, Manuela Goretti mengatakan memberikan kerentanan yang signifikan. IMF menilai reformasi diperlukan untuk mempercepat memperkuat ketahanan ekonomi.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah Sri Lanka telah memperkenalkan reformasi pajak, disiplin keuangan di lembaga-lembaga pemerintah, reformasi perusahaan milik negara yang merugi, dan mengadopsi formula harga BBM yang disesuaikan setiap bulan.

Namun, Nomura, dalam catatan bulan lalu, mengatakan Sri Lanka paling berisiko terhadap krisis mata uang di antara 30 negara yang dicakupnya mengingat kebutuhan refinancingnya yang besar.

Pada 29 Oktober, rupee Sri Lanka merosot ke rekor terendah 174,30 per dolar. Ini berakhir pada 173,75 / 90 per dolar pada 29 Oktober, dibandingkan dengan penutupan sebelumnya 173,05 / 20.

Mata uang Sri Lanka telah melemah 12,8 persen sepanjang tahun ini seperti diungkap Refinitiv Eikon. (asr)