Adik Lelaki Korban Pertama Keganasan Tembok Berlin Memenangkan Medali Cross Federal

Yu Ping

Tembok Berlin telah mengubah nasib ribuan orang Jerman Timur, terutama bagi sebuah keluarga Jerman Timur yang berhubungan erat dengan tembok ini: seorang putra keluarga ini ketika berusaha memanjat tembok tersebut, ia ditembak oleh penjaga perbatasan Jerman Timur dan merupakan korban tewas Tembok Berlin yang pertama. Adik laki-lakinya belum lama ini meninggal.

Pada hari Minggu tanggal 13 Agustus 1961, keluarga Litfin bangun kesiangan. Sehari sebelumnya mereka pergi ke Berlin Barat untuk mengikuti perayaan keluarga kerabat mereka, hingga tengah malam mereka baru naik trem kembali ke rumah.

Lewat pukul 10 setelah mendengar siaran radio, Jürgen sang adik laki-laki buru-buru membangunkan saudaranya, si Günter: “Berlin diblokir, semua pos pemeriksaan pada dihapus dan ditutup.”

Pada hari ke 11 pasca pembangunan Tembok, Günter tewas ditembak ketika berenang menyeberangi sungai

Kedua saudara ini tidak dapat mempercayai bahwa Tembok Berlin telah dibangun dalam semalam. Mereka mengira bahwa Pasukan Sekutu tidak akan duduk diam dan berpikir bahwa perbatasan akan dibuka lagi dalam beberapa hari mendatang.

Tapi situasinya semakin buruk saja. Günter tidak bisa duduk diam dan di hari-hari awal pembangunan Tembok, kemungkinannya lebih besar untuk memanjatinya. Dia naik motor menyusuri Tembok yang kala itu masih berupa pagar kawat berduri, berharap dapat menemukan sebuah celah.

Orang tua Günter tinggal di bagian timur, tetapi dia telah mendapatkan pekerjaan di Berlin Barat, itu sebabnya dia setiap hari melakukan perjalanan bolak-balik antara Berlin Timur dan Barat.

Ketika pengelolaan perbatasan Berlin Timur semakin ketat dan prosedur melewati perbatasan menjadi semakin rumit, maka Günter lantas mencari tempat tinggal sementara di Berlin Barat, dan hanya kembali ke rumah orang tuanya di akhir pekan. Dia tidak dapat secara resmi mendaftar untuk menjadi warga di Berlin Barat, karena pemerintah Jerman Timur akan menganggapnya sebagai “pengungsi Republik” dan dia pun tidak akan bisa pulang lagi.

Pada bulan Mei di tahun itu, ayahnya baru saja meninggal dan dia berharap dapat memiliki lebih banyak waktu untuk menemani sang ibu.

Pada hari ke 11 pembangunan Tembok Berlin, demi kebebasan Günter memutuskan untuk berenang ke Berlin Barat. Sialnya dia ketahuan, tapi dia tidak berhenti berlari dan terjun ke sungai Spree. Dia tidak menyangka bahwa penjaga perbatasan benar-benar akan menembaknya, sebutir peluru menembus belakang kepalanya.

Tiga jam kemudian, mayatnya ditemukan dan diangkat naik oleh Dinas Pemadam Kebakaran Berlin Timur. Orang-orang di tepi sungai bagian Berlin Barat telah menyaksikan semuanya.

Adik laki-lakinya diinterogasi sampai fajar, ketika dia tiba di rumah baru mengetahui bahwa abangnya telah meninggal.

Keesokan harinya, sang adik, Jürgen mendengar dari rekannya bahwa sehari sebelumnya, seseorang tewas di perbatasan.

Dia begumam: “Semoga saja bukan abang saya, dia semalam tidak pulang.” Malam itu, dia secara misterius dibawa pergi oleh polisi rahasia Jerman Timur dan diintrogasi semalaman, sampai keesokan harinya pukul 3 pagi baru dilepas pulang.

Pada saat yang sama, ibu mereka, tanpa pemberitahuan sebelumnya, menyaksikan polisi rahasia memporakporandakan rumahnya, tetapi polisi tidak mengatakan sepatah kata pun tentang kematian anaknya. Keluarga baru tahu kematian Günter dari stasiun radio di Berlin Barat. Kala itu, sang kakak berumur 24 tahun dan adiknya 21 tahun.

Untuk pelaporan kasus ini, Jerman Barat menggunakan kata-kata “pembunuhan”, “brutal” dan “berdarah dingin”; sementara Jerman Timur hanya menyebutnya “pengabaian penembakan”, Günter digambarkan sebagai “seseorang yang dikejar karena tindakan ilegal.”

Beberapa hari kemudian, keluarga menguburkan Günter, dan polisi rahasia juga muncul di pemakaman. Keluarga tidak boleh mengatakan penyebab kematian yang sebenarnya, dan obituarinya hanya disebutkan dengan samar bahwa Günter “meninggal karena kecelakaan tragis”.

Namun, sebagian besar kerabat yang datang ke pemakaman memaklumi apakah makna “kecelakaan tragis” tersebut.

Jürgen si adik, dijatuhi hukuman penjara & Jerman Barat mengulurkan tangan membantu

Jürgen tidak ingin menggadaikan hidupnya kepada pemerintah Komunis Jerman Timur, tetapi merasa bahwa pelarian juga terlalu berbahaya. Ibunya, sebagai seorang pensiunan, akhirnya diperbolehkan pergi ke Berlin Barat tinggal bersama saudaranya.

Jürgen mengajukan permohonan dan berharap mendapatkan izin keluar. Namun, kedua aplikasinya ditolak. Pada tahun 1980, dia ditangkap secara misterius karena alasan membantu seseorang melarikan diri, dan dia dijatuhi hukuman 10 bulan penjara.

Pada bulan September 1981, ia ditebus oleh pemerintah Jerman Barat dan pergi kesana. Istrinya kala itu juga dijatuhi hukuman dan diskors selama 1 tahun. Setelah masa percobaan, dia juga meninggalkan Jerman Timur.

Setelah Tembok Berlin diruntuhkan pada 9 November 1989, berkat upaya gigih Jürgen maka ia berhasil mempertahankan sebuah menara pengawas Berlin Timur terakhir dan mengubahnya menjadi sebuah aula memorial untuk saudaranya yang berlokasi di dekat Pelabuhan Humboldt, tidak jauh dari tempat dimana Günter terbunuh.

Pada bulan Agustus 2003, aula peringatan itu dibuka untuk umum. Jürgen memperkenalkan sejarah Tembok Berlin kepada pengunjung dari dalam dan luar negeri, menjelaskan kisah tentang orang Jerman Timur pertama yang terbunuh dan mengisahkan pengalaman pribadinya.

Pada tahun 2014, Jürgen memenangkan Medali Salib Federal (Bundesverdienstkreuz) berkat pembukaan Berlin Wall Memorial dan penyampaian fakta tentang Tembok Berlin.

Pada 8 November 2018, tepat sehari sebelum peringatan ke-29 tahun runtuhnya Tembok Berlin, Jürgen meninggal dunia pada usia 78 tahun. (HUI/WHS/asr)

Artikel Ini Diterbitkan di Epochtimes cetak versi Bahasa Indonesia Edisi 579