Duel Sengit AS-Komunis Tiongkok di APEC

Tang Hao

Kapan perang dagang AS-Komunis Tiongkok akan berakhir? Mungkin, hasil dari KTT APEC kali ini telah memperkirakan jawabannya. Tanggal 18 November, KTT APEC 2018 telah diakhiri dalam kondisi tidak dibacakan deklarasi para pemimpin, ini adalah untuk kali pertama “penutupan tanpa deklarasi” sejak tahun 1993.

Surat kabat “Wall Street Journal” lebih lanjut mengungkap, awalnya 20 negara anggota APEC telah setuju membacakan deklarasi para pemimpin. Namun Komunis Tiongkok tidak bersedia menerima salah satu pernyataan yakni “kami menentang proteksionisme perdagangan, termasuk segala perilaku perdagangan tidak adil”, dan akhirnya ditutup dengan suasana canggung.

Sebenarnya, perbedaan utama apakah yang terdapat di dalam perdagangan AS-Komunis Tiongkok?

Perselisihan Pertama: Perdagangan Tidak Adil, Pasar Tidak Terbuka

Cara berdagang yang tidak adil dan ekonomi pasar yang tidak terbuka, merupakan titik perselisihan utama dalam perdagangan AS dengan Komunis Tiongkok (KT).

Wakil Presiden AS Mike Pence dalam APEC CEO Summit telah menjelaskan, KT memiliki “penghalang perdagangan raksasa” antara lain: kuota impor, pemaksaan peralihan teknologi, pencurian kekayaan intelektual, subsidi industri dan lain sebagainya, “Besarnya skalanya belum pernah ada sebelumnya”.

Pence ketika itu juga menekankan, “Amerika tidak akan mengubah jalurnya, sampai Komunis Tiongkok benar-benar telah mengubah perilakunya.”

Namun demikian, pernyataan Komunis Tiongkok dalam KTT APEC kali ini justru lebih dulu menyebut Tiongkok adalah “negara sedang berkembang”, lalu disusul dengan pernyataan “di dalam WTO ‘perlakuan dan perbedaan khusus’ adalah pondasi penting. Prinsip ini tidak bisa disangkal”.

Seperti diketahui, Tiongkok telah menjadi badan ekonomi kedua terbesar dunia, sebelum perang dagang dimulai, media massa Komunis Tiongkok pernah terus mempropagandakan skala ekonomi RRT akan melampaui Amerika di tahun 2020.

Kini prinsip Beijing tidak berubah namun bersikap merendah, tak lain karena berharap agar bisa mendapatkan perlakuan istimewa sebagai negara lemah di dalam WTO, mempertahankan kondisi saat ini, dan terus memanfaatkan cara perdagangan tidak adil, mencari celah di dalam peraturan agar bisa mendapat keuntungan dari negara anggota WTO lainnya.

Perselisihan Kedua: Mencuri Kekayaan Intelektual, Paksa Peralihan Teknologi

Mencuri kekayaan intelektual dan memaksa perusahaan mengalihkan teknologi, adalah konflik inti lainnya antara AS dengan RRT. Dalam hal ini, pihak RRT juga membantah dengan setumpuk argumen yang dibuat-buat.

Komunis Tiongkok menyatakan, “Setiap negara berhak untuk mendapat manfaat dari inovasi teknologi yang diraih dengan upaya bekerjasama dengan dunia internasional. Hasil dari inovasi teknologi tidak seharusnya ditutupi, dan juga tidak seharusnya menjadi alat bagi hanya segelintir orang untuk mendapat keuntungan.”

Pernyataan yang sepertinya sangat kuat dan beralasan itu, telah dimanfaatkan oleh KT untuk menutupi kejahatan pencurian kekayaan intelektual milik negara lain lewat cara-cara ilegalnya seperti lewat mata-mata, hacker dan lain sebagainya.

Komunis Tiongkok sekaligus juga untuk melegalisasi semua teknologi krusial yang didapatnya dengan memaksa perusahaan asing mengalihkannya bagi RRT lewat peraturan dan pangsa pasar yang ditetapkan KT, yang kemudian “dimodifikasi” entah dengan cara dibajak atau disalah-gunakan.

Argumen yang sesat adalah trik yang paling dikuasai oleh KT selama ini untuk mengelabui rakyat, juga merupakan pedang opini KT dalam mempertahankan kekuasaannya.

Seandainya mengikuti logika seperti KT ini, siapa yang rela mengorbankan waktu, tenaga, sumber daya dan pikiran untuk menciptakan inovasi di dunia ini? Di masa depan apakah semua orang hanya akan menunggu mencuri atau merampas teknologi dan hasil riset orang lain saja?

Strategi Pertama Komunis Tiongkok: Pura-pura Lemah Ambil Untung, Berunding Mengulur Waktu

Lalu, apakah strategi KT dalam perang dagang ini? Di satu sisi Beijing ber-“pura-pura lemah” untuk mempertahankan kondisi dagang saat ini, terus memanfaatkan celah dalam WTO dan berbagai peraturan perdagangan multi-lateral lainnya untuk mendapat keuntungan.

Di sisi lain, Beijing berniat mengarahkan perang dagang ke dalam “perang negosiasi”, dengan lebih dulu “berunding damai” agar pihak AS mau menghentikan tarif bea masuk atau tidak menambah bea masuk baru, di saat yang sama memainkan strategi perundingan berlarut-larut dan juga negosiasi regulasi dan lain sebagainya untuk mengulur sasaran strategis pemerintahan Trump, sambil menanti terjadi perubahan.

Tujuan Beijing kemungkinan adalah ingin membekukan kondisi sekarang, menghentikan pendarahan untuk sementara, mengupayakan segala cara mengulur waktu hingga pilpres AS tahun 2020 mendatang, jika bisa membuat Trump yang keras dan cerdik tidak menjabat kembali, ditambah lagi dengan serangan media massa juga dari politikus sayap kiri AS terhadap Trump sebelum pilpres, Beijing mungkin masih bisa mengharapkan terjadi perubahan.

Strategi Kedua Komunis Tiongkok : Perdagangan Multilateral Kikis Kekuatan Amerika

Kedua, dalam pidatonya di KTT APEC, Beijing kembali menyerukan “globalisasi ekonomi”, “pemerintahan global” dan berbagai mantra politik lainnya, mengajak “perdagangan multilateral”.

Pada permukaan tampaknya PKT menyerukan ekonomi bebas, tujuan sesungguhnya adalah dengan sistem multilateral PKT menggeser Amerika, mengikis tekanan dan sanksi dari AS yang terus menuntut PKT kembali pada “perdagangan adil yang saling menguntungkan” dan “mentaati peraturan dagang”.

Pada saat bersamaan, dengan sistem perdagangan multilateral, PKT yang tidak pernah konsisten dan selalu melanggar aturan diam-diam akan menuntut, menekan negara-negara lain yang pernah “disuap diplomatik” atau “dijebak hutang” agar bersama-sama menentang AS dengan sistem dagang ini untuk membantu PKT, agar berhasil mencapai tujuan mengendalikan aturan main dari balik layar — persis seperti strategi mengepung yang diterapkan PKT di PBB dengan menyusup ke dalam negara-negara kecil untuk mengombang-ambingkan Amerika.

Jika dapat mengikat tangan dan kaki AS, maka PKT akan tetap menerapkan “proteksionisme” secara diam-diam untuk menciptakan ruang gerak, PKT akan menjadi pemain terbesar sekaligus yang memperoleh manfaat dari sistem perdagangan multilateral ini.

“Jalan apa pun yang ditempuh oleh sebuah negara, hanya bisa ditentukan oleh rakyat negara itu sendiri.”

Dalam pidatonya, Beijing mengungkap ambisi mempertahankan proteksionisme yang “berkarakter Tiongkok” di masa mendatang.

Selain itu sebelum berakhirnya KTT APEC, dikabarkan 4 orang pejabat PKT menerobos masuk dengan paksa ke kantor Menlu Papua New Guinea untuk mempengaruhi dan meralat pernyataannya pada deklarasi pemimpin, akhirnya setelah polisi turun tangan mencegah mereka baru pergi.

Intermezo ini juga telah mencerminkan sikap kasar dan tidak sopan serta arogan para pejabat PKT, juga merefleksikan sifat PKT terhadap masyarakat internasional dengan “mengendalikan dari balik layar” dan “campur tangan dari belakang”, juga kemunafikannya “perkataan berbeda dengan tindakan”.

Dari uraian di atas, prinsip inti kedua belah pihak AS maupun Komunis Tiongkok, terdapat perselisihan yang sangat besar, kapan perang dagang ini benar-benar akan berakhir, dikhawatirkan masih menjadi suatu tanda tanya besar. (SUD/WHS/asr)

Artikel Ini Terbit di Epochtimes versi Bahasa Indonesia Edisi 580

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=jWVPVi-ShYA