Krisis Lebih Serius Daripada Perang Dagang akan Melumpuhkan Tiongkok

oleh Li Yun

Perang dagang Tiongkok – AS yang terus memanas telah memaksa Tiongkok menghadapi  situasi kesulitan baik internal maupun eksternal yang serius.

Namun sebuah laporan terbaru menunjukkan bahwa Tiongkok sedang menghadapi krisis yang lebih serius daripada akibat perang dagang.

Kerusakan sumber air yang berkepanjangan dikhawatirkan akan menyeret turun pertumbuhan ekonomi Tiongkok beberapa tahun terakhir.

‘VOA’ pada 30 November melaporkan bahwa dalam satu tahun terakhir, fokus perhatian media dunia akhir-akhir ini tidak jauh dari dampak yang muncul dari perang dagang antara AS – Tiongkok. Sebenarnya, Tiongkok juga memiliki masalah yang tidak kalah serius, yaitu masalah krisis sumber air bersih. Isu tersebut bisa saja melenyapkan reputasi  sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi dunia terbesar kedua yang selama ini disandangnya.

Menurut sebuah laporan baru yang dikeluarkan oleh organisasi lingkungan global Greenpeace pada 20 November, bahwa dalam beberapa dekade terakhir, gletser di wilayah barat Tiongkok sedang mencair dengan kecepatan tinggi, kini 1/5 nya sudah lenyap tanpa bekas. Perubahan ini dalam skala besar akan berpengaruh terhadap irigasi pertanian dan persediaan air bersih bagi perkotaan di daratan Tiongkok.

Seorang peneliti dari organisasi tersebut mengatakan, gletser yang dijuluki menara air Asia tersebut, merupakan reservoir air minum terbesar di luar wilayah kedua kutub,  juga menjadi  sumber air sungai bagi beberapa sungai penting di Asia.

Penulis laporan lain yang merupakan Penasihat Khusus Urusan Tiongkok untuk Dewan Rakyat Britania Raya (House of Commons of the United Kingdom), Peng Zhaosi (Charlie Parton) mengatakan bahwa 80% sumber daya air yang digunakan di Tiongkok berada di bagian wilayah selatan dan 12 provinsi dan kota penting seperti Beijing, Shanghai, Tianjin, dan lainnya. Tetapi kini mereka menghadapi kekurangan sumber daya air yang serius.

Namun 12 provinsi tersebut telah mencakup 38% daerah pertanian, 50% dari industri energi dan 41% dari populasi, di antaranya, sumber daya air per kapita Beijing bahkan sedikit lebih tinggi dari Arab Saudi.

Charlie Parton berpendapat bahwa menurunnya cadangan air di Tiongkok bukan lagi bersifat sementara karena masalah iklim, juga bukan karena masalah kekeringan, tetapi lebih pada kerusakan serius akibat over eksplorasi pada basis sumber daya.

Ia menyebutkan, bahkan proyek raksasa untuk mengalihkan air dari wilayah selatan ke utara yang didanai sebesar USD. 100 miliar oleh pihak berwenang Tiongkok juga tidak mampu menyelesaikan masalah kekurangan air, meskipun pihak berwenang memproyeksikan bahwa kebutuhan air baru terpenuhi pada tahun 2030. Tapi jika seluruh air yang ada disalurkan semuanya ke Beijing, Tianjin dan wilayah Hebei, jumlahnya hanya akan memenuhi 2/3 dari kekurangan.

Wu Lan, seorang Ahli Lingkungan pada Pusat Penelitian Wilson (Wilson Center) mengatakan, karena tidak ada kegiatan komersial dapat beroperasi di bawah kondisi tanpa air, kelangkaan sumber daya air di Tiongkok akan memukul perekonomian, berdampak pada kesediaan perusahaan multinasional untuk berinvestasi, termasuk kerusakan di bidang industri dan pertanian Tiongkok.

Bagi otoritas Tiongkok, air akan menjadi tantangan penting di masa depan.

Menurut Laporan ‘Rencana Nasional untuk Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran Air Tanah’ yang dikeluarkan Kementerian Perlindungan Lingkungan pada tahun 2011, bahwa pengekangan terhadap pencemaran air tanah akan terlaksana sebelum tahun 2020. Namun, setelah sekian tahun berlalu, masalahnya menjadi semakin serius.

Pada awal bulan Oktober ‘Radio Free Asia’ melaporkan bahwa dalam situasi kekurangan sumber daya air sungai dan makin meningkatnya polusi air sungai di Tiongkok, pencemaran air tanah adalah masalah pelik yang enggan dihadapi otoritas.

Seberapa serius pencemaran air tanah di Tiongkok? Sarjana Tiongkok mengatakan : “butuh 1.000 tahun untuk memurnikan air tanah yang tercemar logam berat di Tiongkok.”

Dari data yang disampaikan dalam ‘Laporan Kondisi Lingkungan Hidup Nasional Tahun 2014’ yang dirilis pada tahun 2015 dapat diketahui bahwa hampir 2/3 air tanah dan 1/3 air permukaan tidak boleh bersentuhan langsung dengan manusia karena terkontaminasi pestisida, logam berat dan air limbah.

Tahun berikutnya, laporan penelitian air yang diterbitkan oleh Akademi Lingkungan dari Universitas Tsinghua di Beijing melaporkan bahwa melalui tes sampel air yang diambil dari 44 kota di 23 propinsi Tiongkok, ditemukan kandungan zat karsinogen yang cukup tinggi.

Menurut laporan Greenpeace yang dirilis bulan Juni tahun lalu, bahwa krisis kualitas air di kota-kota Tiongkok sudah semakin parah dan pencemaran sungai-sungai sudah mencapai tingkat yang tidak dapat bersentuhan dengan manusia.

Menurut laporan tersebut bahwa 85% air permukaan di Shanghai pada tahun 2015, dan 95% air permukaan di daerah sekitar kota Tianjin sudah tidak dapat digunakan untuk minum.

Selain itu, separuh dari air sungai-sungai utama di 8 provinsi yang mana pencemarannya sudah mencapai  level 4. Laporan itu mengatakan bahwa air tersebut tidak aman untuk bersentuhan dengan manusia.

Wang Weiluo, seorang sarjana lingkungan yang tinggal di Jerman mengatakan bahwa pencemaran air tanah di Tiongkok sekarang telah mencemari air tanah yang berada di lapisan yang lebih dalam. Air tanah yang lebih dalam ini nyaris tidak ada pertukaran dengan air permukaan. Oleh karena itu, polutan yang memasuki air tanah di lapisan lebih dalam akan sulit tergantikan oleh air bersih.

Wang Weiluo mengatakan bahwa air di lapisan tanah yang lebih dalam adalah pasokan air paling penting selama berkecamuk perang, sedangkan Tiongkok telah merusak sendiri sumber daya airnya.

Jika air permukaan rusak dan tidak dapat digunakan karena diracuni musuh, maka mau tak mau air tanah yang digunakan, tetapi sekarang air tersebut juga telah tercemar.

Sebelumnya 85% air di Tiongkok digunakan untuk irigasi, tetapi hasil dari pembangunan industri dan urbanisasi, ditambah lagi dengan kurangnya efisiensi air industri, industri baja Tiongkok memerlukan penggunaan 23 ton air per ton baja, sehingga sejumlah besar air limbah industri dan domestik terus menerus dibuang ke dalam sungai.

‘Keajaiban ekonomi Tiongkok’ yang diciptakan oleh reformasi ekonomi telah membayar harga mahal akibat polusi yang tinggi, ia juga menciptakan sejumlah ‘bom ekologi’ yang tidak diketahui kapan akan meledak.

Wang Weiluo mengatakan bahwa pencemaran air pada lapisan tanah lebih dalam adalah bencana nyata bagi rakyat Tiongkok. (Sin/asr)