Tolak Potensi Kebangkitan Komunis, Sejumlah Elemen Pertanyakan Diterbitkannya SKKPH kepada Eks PKI

Epochtimes.id- Yayasan Masyarakat Peduli Sejarah (YMPS) dan Centre for Indonesian Communist Study menolak jika telah dikeluarkannya Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM Berat (SKKPH) kepada eks PKI oleh Komnas HAM RI.

Hal demikian disampaikan saat kunjungan ke Kantor Komnas HAM RI, Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, Senin (10/12/2018). Sebagian besar pegiat YMPS yang ke Jakarta kali ini berasal dari Surabaya, Jawa Timur.

Koordinator YMPS Harukat mempertanyakan diterbitkannya SKKPH, apalagi tanpa ada digelarnya proses peradilan sejak tahun 2013 hingga sekarang.

Harukat mempertanyakan, Komnas HAM yang justru menganggap eks anggota PKI dilanggar Hak Asasi Manusia-nya pada peristiwa 1965-1966.

Padahal, kata Harukat, mereka yang merupakan bagian dari anggota Partai Komunis Indonesia, justru banyak melakukan pelanggaran HAM, pengkhianatan, sekaligus kudeta kepada negara maupun bangsa Indonesia sejak sebelum 1965.

Harukat merinci, Yayasan Masyarakat Peduli Sejarah (YMPS), Centre for Indonesian Communist Study (CICS), dan berbagai elemen masyarakat menyampaikan protesnya ketika SKKPH atas Peristiwa Tahun 1965-1966 diterbitkan Komnas HAM.

Yayasan Masyarakat Peduli Sejarah (YMPS) dan Centre for Indonesian Communist Study mendatangi Kantor Komnas HAM RI, Senin 10 Desember 2018 (Foto : istimewa)

Pertanyaan mendasar yang disampaikan yakni dasar hukum, syarat, ketentuan, prosedur, dan tata cara untuk mendapatkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM Berat (SKKPH). Pasalnya, ketika itu justru terjadi pemberontakan dan pelanggaran HAM oleh PKI.

Oleh karena itu, saat pemberontakan PKI terjadi, maka yang menjadi korban justru adalah keluarga korban dan rakayat sipil khusunya umat Islam yang ketika itu turut melakukan perlawanan.  Ditambah dengan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) saat itu telah memutuskan kejahatan PKI dan anggotanya.

Harukat menegaskan, pihaknya telah melakukan kajian atas SKKPH 1965-1966 oleh Komnas HAM. Pada kesimpulannya, kata dia,  terlihat Komnas HAM sangat longgar dan tidak dapat menjamin substansi materil dari definisi atau mewakili sebagai korban yang sesungguhnya.

Apalagi, kata dia, SKKPH dikeluarkan tidak membutuhkan ketetapan pengadilan, bahkan tanpa proses pembuktian di persidangan terbuka untuk umum. “Sehingga, SKKPH hanya dikeluarkan berdasarkan pengakuan dan keterangan saksi sepihak,” tambahnya.

Harukat mengkhawatirkan wujud nyata dari SKKPH akan mendorong terjadinya kebagkitan PKI. Meski demikian, pihaknya menerima iktikad dari Komnas menerima kunjungan mereka.

“Dikeluarkannya SKKPH membuka peluang mereka para eks PKI akan menuntut lebih. Kita menerima iktikad baik komnas HAM untuk membicarakan lebih lanjut SKKPH,” harapnya kepada cendananews. 

Pada kesempatan pertemuan itu, Abdul Latief selaku ketua YMPS turut menyampaikan kepada Sekjen Komnas HAM Tasdiyanto perihal diterbitkannya SKKPH terkait peristiwa 1965.

Menurut Abdul Latif, pihaknya menanyakan soal SKKPH, apakah sudah diterbitkan oleh Komnas HAM, kemudian jika kasus 1965-1966 terkait dengan kasus eks PKI, maka pihaknya menolak SKKPH jika memang Komnas HAM menerbitkan surat ini.

Saat menerima rombongan dari YMPS dan CICS, Sekjen Komnas HAM menyampaikan permohonan maaf dikarenakan seluruh komisioner sedang menghadiri Seminar Peringatan Hari HAM Sedunia 2018 di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan.

Tasdiyanto mengatakan dirinya tidak dapat memutuskan jawaban pertanyaan yang disampaikan oleh YMPS dan CICS. Namun demikian dirinya akan meneruskan kelanjutannya kepada komisioner.

“Apa yang sudah disampaikan akan saya laporkan ke komisioner untuk selanjutnya mereka pelajari dan diproses,” ujarnya. (asr)