“Made in China 2025” Bermasalah, Trump Sarankan Xi Hentikan

Wang Hua

“Paham Mengunduh” Komunis Tiongkok Terpukul

Gara-gara Komunis Tiongkok tidak mau memulainya dari riset dasar, maka untuk mencapai “Made in China 2025” pun harus menitikberatkan pada “paham mengunduh” dan jalur cepat belajar dengan meniru, termasuk menukar teknologi perusahaan modal asing dengan ijin masuk ke pasar lokal.

Bahkan menempu dengan berbagai cara mencuri teknologi inti negara asing (termasuk kerjasama perusahaan atau pertukaran SDM) dan lain-lain, dan dengan subsidi keuangan dari pemerintah, dukungan sumber keuangan, pembatasan pembelian pemerintah dan berbagai cara lain untuk menopang perusahaan Tiongkok pada sektor inti.

“Paham mengunduh” bisa membuat suatu negara menjadi negara industri besar, tapi tidak bisa dengan cepat menjadikannya negara industri kuat, khususnya karena ideologi PKT: sistem Marxisme atau komunisme, yang dianggap oleh masyarakat bebas Barat serupa dengan sistem kediktatoran ala Hitler yang perlu ditentang dan dilawan.

Soal sistem ideologi ini ditambah lagi PKT beberapa tahun terakhir terus menyusup ke Barat, seperti kantor berita Xinhua yang memasang iklan LED super besar di Time Square New York, dan dimana-mana bisa terlihat “Confucius Institute” yang lebih menyerupai biro intelijen, serta memanfaatkan “One Belt One Road” yang mengekspor kelebihan kapasitas produksinya, juga membawa kekuasaan otoriter dan korupsi PKT ke negara setempat.

Penyusupan merah oleh PKT telah memicu aksi perlawanan dari masyarakat Barat, yang dikepalai oleh AS sebagai pionir yang melawan PKT.

Perang dagang AS-Tiongkok sebenarnya bukan perang dagang, melainkan perang dingin baru yang menyerupai bekas Uni Soviet dulu, adalah genderang perang dari masyarakat bebas melawan rezim diktator PKT.

2025 Bermasalah, Xi Jinping Seharusnya Berterimakasih Pada Trump

Rencana Made in China 2025 tak hanya menjadi ancaman besar bagi Barat, tapi juga tak akan menguntungkan bagi rakyat Tiongkok.

Tanggal 22 November 2018, wartawan koresponden Bloomberg di Beijing yakni Michael Schuman menulis artikel, rencana 2025 mungkin akan mendatangkan lebih banyak masalah ekonomi bagi RRT. Bahkan melampaui dampaknya terhadap ekonomi dunia. Jadi ia berpendapat bahwa Xi Jinping seharusnya menghentikan program tersebut, dan berterima kasih pada Trump.

Investasi besar dimasukkan ke dalam sektor pengembangan prioritas belum tentu akan menggairahkan persaingan dan inovasi, ini adalah alasan pertama Schuman.

Menurut berita di News Point, beberapa tahun terakhir perkembangan sepeda motor listrik di RRT sangat pesat, ini karena RRT memberikan subsidi sangat besar untuk industri ini, sehingga telah menumbuhkan banyak perusahaan pembuat sepeda motor listrik, namun perusahaan yang memiliki teknologi yang benar-benar kompetitif sangat sedikit.

Dengan kata lain, kebanyakan perusahaan itu bukan menguasai pasar dan meraih keuntungan dengan mengandalkan teknologinya, melainkan hanya untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah.

CEO sekaligus pendiri China Chunhua Capital Group Hu Zuliu juga berpandangan sama. Tanggal 9 November lalu di sebuah Financial Forum ia menyatakan, ekonomi RRT di masa mendatang hanya akan bisa terus bertumbuh jika mengandalkan inovasi dan kemajuan teknologi.

Tapi jangan berharap “Made in China 2025” akan membawa inovasi, karena “Inovasi tidak bisa mengandalkan dokumen Merah, tidak bisa mengandalkan ijin pemimpin, dan bahkan tidak bisa mengandalkan program besar seperti Made in China 2025 ini. Harus ada mekanisme, juga lingkungan dan budaya berinovasi.”

Akan tetapi, evaluasi pada proyek teknologi di RRT terdapat terlalu banyak cara yang tidak transparan, standar teknologi justru bukan faktor yang paling krusial lagi, sama seperti penilaian terhadap para akademisi di Akademi Sains Tiongkok, banyak orang yang tidak berbakat juga tidak beretika justru menjadi akademisi.

Perusahaan yang terpilih dengan cara seperti ini diberikan subsidi oleh pemerintah untuk menghasilkan produk, apakah akan bisa menghasilkan produk yang baik?

Bisa dibayangkan, perusahaan ‘high tech’ yang baru bisa hidup dengan hanya mengandalkan subsidi pemerintah, pemikiran mereka tidak akan ditempatkan dalam pengembangan inovasi, melainkan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang lebih banyak dari pemerintah.

Disinilah muncul masalah kedua seperti yang dikemukakan Schuman, tanpa inovasi teknologi, akan kehilangan daya saing di pasar internasional.

Perusahaan yang berkembang berkat kecondongan kebijakan PKT seperti ini, tidak akan memiliki pengalaman nyata di pasar yang sesungguhnya, tidak tahu bagaimana bersaing dengan produk-produk lain yang telah mendapat kepercayaan masyarakat.

Seperti burung yang terlalu lama tinggal di dalam sangkar, begitu kembali ke alam, tidak memiliki kemampuan mencari makanan lagi, lalu pada akhirnya mungkin akan mati kelaparan.

Tahun 2013 Biyadi (BYD) membuka sebuah pabrik di Los Angeles, juga menjadi perusahaan RRT pertama dengan modal tunggal yang membangun pabrik pembuat bus bertenaga listrik di Amerika.

Awalnya BYD berhasil meraih sukses tertentu di Los Angeles, tapi seiring dengan bus listrik yang diproduksi mengalami banyak kerusakan, suara sumbang yang meragukannya pun semakin banyak.

Schuman mengatakan, jika ada pilihan lain, konsumen AS dan Eropa tidak akan membiarkan anak-anaknya menumpang bus umum yang kerap mengalami kerusakan itu.

Lalu bagaimana? BYD pun hanya bisa beralasan soal harga, yang juga membuktikan istilah “murah tidak menjamin kualitas”.

Tapi ini juga memicu masalah lain, pemerintah asing akan mengambil tindakan untuk melindungi perusahaan dalam negeri. Inilah poin ketiga yang diutarakan Schuman, produk high tech RRT menjadi sasaran yang diperangi pemerintah asing.

Banyak sasaran bea masuk oleh pemerintah Trump terkait dengan “Made in China 2025”. Berita pada surat kabar “Wall Street Journal” tanggal 22 November lalu mengatakan, AS tengah membujuk Jerman, Jepang, Italia dan sekutu Baratnya, untuk tidak menggunakan peralatan telekomunikasi dari Huawei.

Pejabat AS telah memaparkan adanya risiko keamanan yang mereka ketahui pada pejabat negara dan pihak telekomunikasi yang berwenang dari negara-negara tersebut.

Di bawah intervensi pemerintah asing, perusahaan yang “dipelihara” oleh PKT tidak bisa melakukan politik dumping, dan akan segera mengalami kebangkrutan. Dengan demikian, perusahaan ‘mayat hidup’ akan terus bertambah, kredit macet di perbankan juga akan meningkat. Lingkaran setan seperti ini akan semakin menyeret perekonomian Tiongkok.

Menurut Schuman, jika Xi Jinping bisa berjanji akan menarik kembali masalah “Made in China 2025”, ini tidak hanya akan meredakan ketegangan perdagangan dengan AS, juga akan benar-benar mendorong peningkatan daya saing dalam negeri, karena perusahaan swasta di Tiongkok akan memiliki kemampuan untuk mengembangkan produk berteknologi tinggi. Dengan demikian, Xi Jinping mungkin harus berterima kasih pada Trump. (SUD/WHS/asr)