Dunia Perlu Mengutuk Komunis Tiongkok yang Menindas Kebebasan Beragama

oleh Wu Ying

Mihigul Tursun, seorang wanita Uighur berusia 29 tahun saat menghadiri sidang dengar pendapat di Kongres AS pada 28 Nopember mengatakan, bahwa ketika ia disiksa dengan sengatan listrik dalam kamp kerja paksa Partai Komunis Tiongkok (PKT). “Saya memohon kepada Tuhan untuk mengakhiri hidup saya” katanya.

Mihrigul Tursun yang mengalami 3 kali penahanan oleh PKT dan berhasil melarikan diri dari Tiongkok telah tiba di Washington DC. pada bulan September tahun ini.

Anggota Kongres AS mengatakan bahwa ada ribuan penganut agama di Tiongkok yang telah dianiaya oleh PKT dengan cara yang sama seperti yang dialami Tursun. Seluruh dunia harus bersatu dan mengutuk PKT yang menindas kebebasan beragama, termasuk penindasan terhadap Falun Gong.

Chris Smith, anggota senior Dewan Perwakilan Rakyat AS menerbitkan sebuah artikel khusus di Washington Post pada 27 Desember 2018 yang menyebutkan bahwa ini adalah sebuah kisah mengejutkan bagi masyarakat Barat, tetapi di bawah kediktatoran satu partai PKT, ini menjadi kisah yang biasa sekali.

“PKT menindas kebebasan beragama, oleh karena itu dunia tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi di sana. Kita semua harus melawan tindak pelanggaran terhadap HAM ini, tulis Smith.

Artikel tersebut menyebutkan bahwa setengah abad yang lalu, Partai Komunis Tiongkok melancarkan Revolusi Kebudayaan yang berdampak buruk pada masyarakat Tiongkok. Salah satu tujuannya adalah untuk menghilangkan agama.

Sejak itu, PKT tidak melepaskan niatnya untuk sepenuhnya mengendalikan atau menghancurkan kelompok agama. PKT takut bahwa kekuatan kepercayaan agama akan menantang legitimasi kekuasaannya dan mencoba mengubah agama menjadi pelayan partai dan mengadopsi kebijakan ketat yang disebut Sinifikasi.

Di bawah sinifikasi, semua agama dan orang percaya harus mematuhi dan secara aktif mempromosikan ideologi komunis, jika tidak mereka tidak akan dapat bertahan hidup di Tiongkok.

Chris Smith menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuannya, pada saat orang-orang beriman di Tiongkok dilecehkan, ditangkap, dipenjara atau disiksa, hanya mereka yang menyerah kepada PKT yang bisa terhindar. Selain itu, buku-buku agama, termasuk Alkitab, dibakar dan gereja dihancurkan.

PKT sekarang bahkan makin intensif dalam membatasi kegiatan agama. peraturan baru mewajibkan para pemimpin agama untuk memasang monitor pengenal wajah di tempat ibadah mereka. Membatasi kebebasan berekspresi secara online tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama, dan melarang mereka yang berusia di bawah 18 tahun untuk berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

Menurut laporan, pejabat PKT masih sedang menulis ulang buku-buku agama, termasuk Alkitab, mereka juga akan menghapus konten yang tidak diinginkan oleh PKT yang ateis, dan meluncurkan program sinifikasi selama 5 tahun untuk orang-orang Kristen Tiongkok.

Smith mengatakan bahwa tindakan PKT menindas agama baru-baru ini telah mempengaruhi jutaan warga masyarakat. Beberapa bulan terakhir, lebih dari 1 juta orang etnis Uighur dan Muslim lainnya di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang telah ditahan di tempat yang disebut ‘kamp pendidikan ulang’, disiksa dan dipaksa untuk menanggalkan keyakinan mereka.

Menurut laporan, pemerintah AS sedang menyelidiki apakah etnis minoritas yang ditahan di kamp tahanan dipaksa untuk memproduksi barang-barang yang kemudian diekspor ke Amerika Serikat.

Tiongkok diperkirakan memiliki antara 10 juta hingga 12 juta orang umat Katolik. Reaksi Vatikan menyangkut penindasan PKT terhadap kebebasan beragama ternyata mengecewakan banyak pihak, tampaknya lebih ke arah kompromi yang disukai pihak Vatikan.

Pada bulan September, para pejabat Vatikan menandatangani perjanjian sementara yang memungkinkan pihak berwenang Tiongkok memiliki kekuasaan dalam memilih kandidat sebagai uskup untuk Tiongkok yang kemudian diserahkan kepada Paus untuk peninjauan akhir.

Zen Ze-kiun, seorang pensiunan uskup Hongkong pada September mengatakan bahwa kesepakatan itu adalah sikap penyerahan total dari pihak Vatikan dan pengkhianatan terhadap umat yang sulit untuk dipercaya.

Di artikel tersebut, Smith mendesak Vatikan untuk mempertimbangkan kembali kesepakatan yang dicapai dengan Partai Komunis Tiongkok dan menunjukkan bahwa untuk melawan penindasan agama yang dipimpin oleh pejabat tinggi PKT.

Amerika Serikat dan negara-negara Eropa telah mengutuk PKT, dan negara-negara lain yang mementingkan kebebasan beragama perlu bersatu untuk mengutuk penindasan PKT terhadap etnis Uighur yang beragama Islam, terhadap orang-orang Kristen, Budha Tibet dan praktisi Falun Gong.

Ia mengatakan bahwa bersama Senator Rubio ia telah mendesak pemerintah Trump untuk memberikan sanksi kepada pejabat PKT yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius berdasarkan ‘Global Magnitsky Act’.

Mereka menuntut ditingkatkannya pemantauan terhadap komoditas ekspor yang diproduksi dari dalam sel tahanan, dan memberikan sanksi juga kepada perusahaan yang mendapat untung dari kerja paksa para tahanan atau penahanan warga Uighur.

Selain itu, Smith dan Rubio mengusulkan ‘Uyghur Human Rights Policy Act’ (Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uyghur) yang telah  menerima dukungan dari anggota parlemen kedua partai.

Pada 19 Desember, Presiden Trump menandatangani ‘Reciprocal Access to Tibet Act’. Menurut undang-undang tersebut, Amerika Serikat dapat melarang pejabat PKT yang melarang orang Amerika memasuki Tibet untuk memasuki wilayah AS.

“Menurut undang-undang ini, Amerika Serikat mengirim pesan kuat untuk Beijing bahwa Tiongkok harus mematuhi norma-norma hak asasi manusia internasional, bukan hanya urusan perdagangan saja,” kata Matteo Mecacci, ketua International Campaign for Tibet (Kampanye Internasional untuk Tibet) di situs webnya. (Sin/asr)