Tiongkok Berencana Kurangi Target Pertumbuhan Ekonomi Tahun Ini

oleh Zhang Ting

Reuters mengutip sumber resmi Partai Komunis Tiongkok pada Jumat (11 Januari) melaporkan bahwa menghadapi pelemahan permintaan domestik dan kenaikan tarif Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu, pemerintah Tiongkok berencana mengurangi target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dari target 6,5 % menjadi 6 ~ 6,5 %, yang kepastiannya akan diumumkankan dalam bulan Maret mendatang.

Tiongkok berencana untuk mengurangi target pertumbuhan ekonomi tahun 2019

Reuters mengutip ungkapan yang disampaikan oleh 4 orang sumber peserta Konferensi Kerja Ekonomi Pusat yang diadakan pada bulan Desember tahun lalu. Laporan memberitakan pada Jumat (11 Januari) tetnang usulan penurunan target pertumbuhan ekonomi tahun 2019. Laporan ini telah mendapat persetujuan dari pimpinan puncak Partai Komunis Tiongkok dalam  pertemuan tertutup yang diadakan pada bulan Desember tahun lalu. Kini angka barunya secara resmi akan diumumkan melalui Dwi Konferensi pada bulan Maret mendatang.

Dari data yang akan dirilis akhir bulan ini dapat kita lihat bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2018 diperkirakan sekitar 6,6%, yang merupakan tingkat pertumbuhan terendah sejak tahun 1990.

Analis memperkirakan bahwa jika langkah-langkah pendukung belum bisa diberlakukan, maka ekonomi Tiongkok akan kehilangan lebih banyak momentum pada tahun ini.

“(Tahun ini) tingkat pertumbuhan tahun ini sulit untuk mencapai lebih dari 6,5 %, jika kurang dari 6% mungkin akan timbul masalah” kata seorang sumber.

Menurut sumber dalam lingkungan pengambilan keputusan bahwa, pertumbuhan ekonomi Tiongkok sedang melemah, perang dagang Tiongkok – AS memaksa adanya PHK berskala besar, semua ini adalah faktor yang harus dipertimbangkan oleh para pemimpin Tiongkok.

“Mengingat lapangan kerja, pendapatan, dan stabilitas, tingkat pertumbuhan ekonomi kita tahun ini harus mencapai setidak-tidaknya 6 %” kata salah seorang sumber.

Laporan itu menyebutkan bahwa mengingat banyaknya ketidakpastian yang disebabkan oleh perang dagang, menggunakan interval sebagai target pertumbuhan ekonomi akan memberikan ruang manuver bagi pengambilan keputusan. Baik Amerika Serikat dan Tiongkok saat ini berusaha untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang dapat menyelesaikan perbedaan yang ada antar kedua negara sebelum bulan Maret.

Kantor Pemberitaan Dewan Negara Tiongkok tidak segera menanggapi permintaan komentar yang diajukan Reuters.

Melemahnya ekonomi Tiongkok telah menurunkan perkiraan PDB Tiongkok tahun 2019

Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok telah mendorong semua pihak untuk memangkas ekspektasi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun 2019.

Kantor Manajemen Investasi UBS Tiongkok pada 5 Januari lalu mengumumkan bahwa tingkat pertumbuhan PDB Tiongkok akan menurun dari 6,5 % tahun 2018 menjadi 6,1 %. Perkiraan lembaga think tank Tiongkok, yakni Institut Riset Ekonomi Akademi Ilmu Sosial Tiongkok bahkan lebih pesimistis jika dibandingkan dengan perkiraan UBS.

Akademi Ilmu Sosial Tiongkok mengutip Liu Shangxi, presiden Akademi Ilmu Fiskal Tiongkok mengatakan bahwa situasi ekonomi Tiongkok tahun 2019 dipastikan akan lebih buruk dari tahun 2018. Meskipun untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang 6 % tidak menjadi masalah. tetapi tren penurunan ini akan berlanjut hingga 2019.

Taimur Baig, kepala ekonom DBS Research mengatakan pada 8 Januari bahwa DBS memperkirakan tingkat pertumbuhan PDB Tiongkok saat ini lebih rendah dari 6 % sebab permintaan domestik melemah.

Para ahli pesimis dengan upaya Bank Sentral mengucurkan dana untuk merangsang pertumbuhan

Untuk menghalangi penurunan pertumbuhan ekonomi, Bank Sentral Tiongkok pada 4 Januari mengatakan rencana pemangkasan rasio cadangan deposito (RRR) lembaga keuangan sebesar 1 % yang implementasinya dibagi dalam dua tahap masing-masing 0,5 % yakni pada 15 Januari dan 25 Januari 2019. Langkah tersebut dapat diartikan sebagai pengucuran dana untuk menunjang perputaran ekonomi Tiongkok yang jumlahnya sekitar 1,5 triliun yuan (+/- USD.218 miliar).

The Financial Times pada 7 Januari menerbitkan sebuah artikel tulisan Xu Jin, editor utama saluran keuangan media tersebut yang menyebutkan bahwa sejak musim panas tahun 2018, otoritas Tiongkok telah mengambil serangkaian langkah stimulus fiskal dan moneter, tetapi survei terbaru terhadap pabrik-pabrik Tiongkok menunjukkan bahwa bidang manufaktur Tiongkok selain tidak berkembang malahan sedang menyusut.

Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) bulan Desember yang baru dirilis pihak berwenang Tiongkok menunjukkan angka di bawah batas 50 yakni 49,4 yang menandakan bahwa sedang terjadi kontraksi dalam siklus bisnis Tiongkok.

Angka tersebut merupakan yang terendah selama 34 bulan terakhir, dan lebih rendah dari ekspektasi pasar sebelumnya. Ini adalah data yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus melambat.

The Financial Times menanggapi langkah Bank Sentral Tiongkok memangkas rasio cadangan deposito sebagai upaya melonggarkan likuiditas mengatakan bahwa, jika dari perspektif merangsang ekonomi, hasilnya mungkin tidak besar. Karena peluru untuk merangsang telah habis terpakai di masa lalu.

Kebijakan pelonggaran tidak selalu efektif, dan para bankir yang mencetak uang atau bank sentral tidak adikuasa. Alasannya sangat sederhana, jika mencetak uang kertas itu efektif, negara mana yang tidak bisa mencetak uang ? Premis untuk mencetak uang adalah vitalitas ekonomi itu sendiri.

Laporan tersebut percaya bahwa dengan melihat situasi ekonomi Tiongkok saat ini, ketika operasi perusahaan menghadapi banyak kesulitan, tekanan pada jaminan sosial pajak begitu tinggi sehingga bahkan lingkungan moneter yang longgar tidak dapat merangsang permintaan investasi untuk perusahaan.

The Wall Street Journal memberitakan bahwa kebijakan pelonggaran likuiditas sebelumnya yang berlangsung selama 9 bulan telah menunjukkan hasil yang tidak optimal, sehingga dapat diperkirakan bahwa pengulangan langkah ini sekarang juga tidak akan membawa hasil yang menggembirakan.

Laporan menyebutkan, jika Bank of China (bank sentral) kembali melonggarkan pemberian pinjaman, debiturnya tak lain adalah lembaga-lembaga keuangan dan institusi milik pemerintah, bukanlah perusahaan-perusahaan swasta yang memang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi sedang kekurangan dana perputaran. (Sin/asr)