Perbedaan Esensial Antara Tentara Komunis Tiongkok dengan Barat

oleh Zhang Ting

Sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Badan Intelijen Pertahanan AS (DIA) mengungkapkan perbedaan esensial antara tentara komunis Tiongkok dengan Barat.

Laporan itu mengatakan bahwa tugas utama tentara yang dikendalikan secara ketat oleh Partai Komunis Tiongkok adalah untuk memastikan kelangsungan hidup rezim Komunis Tiongkok. Mereka mengutamakan pelayanan terhadap partai bukan negara seperti tentara Barat.

Laporan itu bahkan mengungkapkan bahwa kegiatan ekspansi global komunis Tiongkok diperhitungkan secara cermat untuk menghindari langkah yang melampaui ambang batas yang dapat menyulut konflik senjata dengan negara Barat.

Perbedaan mendasar

Badan Intelijen Pertahanan AS (DIA) dalam sebuah laporan yang berjudul ‘Kekuatan Militer Komunis Tiongkok’ menyebutkan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) menjadi pasukan milik partai yang telah dipolitisasi sejak awal. Keberadaan PLA adalah untuk memastikan kelangsungan hidup rezim komunis di atas segalanya.

Melayani negara adalah peran kedua mereka. Terakhir ini dianggap sebagai kekuatan profesional (bersenjata) non-politik yang misi utamanya adalah melindungi negaranya sendiri.

Media ‘The Washington Free Beacon’ mengutip laporan itu memberitakan pada 17 Januari bahwa para pemimpin Partai Komunis Tiongkok terus berusaha memegang kendali tentara dan melakukan reformasi besar-besaran untuk mengubah tentara Tiongkok dari tentara darat menjadi tentara berteknologi tinggi.

Direktur DIA Robert Ashley mengatakan dalam sebuah kata pengantar laporan bahwa penting untuk memahami karakteristik militer Tiongkok.

Untuk mempertahankan kontrol ketat atas militer, rezim Beijing telah membentuk departemen kerja politik PLA baru yang mirip dengan Departemen Politik Umum. Departemen Politik Umum sebelumnya telah mendanai berbagai tindakan berpengaruh, termasuk mencari dukungan kepada mantan perwira militer AS untuk mendukung kebijakan keamanan komunis Tiongkok.

Laporan menyebutkan bahwa sistem kerja politik PLA adalah sarana utama untuk memastikan bahwa rezim yang berkuasa dapat mengendalikan senjata (militer). Dasar teorinya adalah pernyataan Mao Zedong yaitu kekuatan politik tumbuh dari laras senjata.

Hampir semua pejabat PLA adalah anggota Partai Komunis Tiongkok. Dalam beberapa tahun terakhir, pejabat PLA menyumbang sekitar 20% dari anggota komite pusat partai. Mereka yang duduk sebagai anggota Komite Sentral sekarang ada 205 orang.

‘The Washington Free Beacon’ mengatakan bahwa pada tahun 1989, para pemimpin Partai Komunis Tiongkok mengirim pasukan dari luar ibukota untuk menindas protes pro-demokrasi di Lapangan Tiananmen. Sejumlah besar pengunjuk rasa terbunuh, dan insiden itu menyebabkan penindasan yang lebih besar, dan itu berlanjut hingga hari ini.

Di Tiongkok, akibat rezim telah menambahkan kebijakan yang lebih represif dengan tujuan untuk meredam semua perbedaan pendapat dan tuntutan atas kebebasan berbicara, maka suasaan anti-Partai Komunis Tiongkok terus tumbuh.

Mencari cara merujuk pada hegemoni global

Menurut laporan DIA, Beijing terus menekankan apa yang dianggapnya sebagai ‘periode peluang strategis’ di mana ia dapat mencari pengembangan dalam situasi tidak menyebabkan konflik militer besar.

Menurut pandangan ini, Beijing telah menerapkan sebuah metode partisipasi eksternal untuk memperkuat tentakel dan hegemoni mereka di luar negeri melalui beberapa kegiatan.

Kegiatan-kegiatan ini telah diperhitungkan dengan cermat agar berada di bawah batas atau tidak melampaui ambang peringatan komunitas internasional terhadap ekspansi pengaruh global komunis Tiongkok, juga diupayakan agar tidak melebihi batas yang membuat Amerika Serikat dan sekutunya marah sehingga menyulut konflik militer atau pembentukan aliansi anti-komunis.

Laporan menunjuk strategi pertahanan Pentagon baru-baru ini yang menyebutkan : Komunis Tiongkok ingin membentuk sebuah dunia yang konsisten dengan model otoriternya dan memperoleh kekuasaan veto atas keputusan ekonomi, diplomatik, dan keamanan negara-negara lain.

Secara militer, ambisi Tiongkok juga bersifat global. Fokus militer Tiongkok juga bergeser ke luar negeri, demikian disebutkan dalam laporan itu.

Mengembangkan senjata secara tidak terkendali

Untuk pertama kalinya, laporan itu secara resmi mengungkapkan bahwa distribusi fasilitas nuklir Tiongkok di seluruh negeri. Komunis Tiongkok memiliki sejumlah cadangan hulu ledak nuklir dan masih terus melakukan penelitian, pengembangan, dan memproduksi jenis senjata nuklir baru.

Sedangkan Amerika Serikat tidak mengembangkan jenis senjata nuklir baru. Dalam menghadapi pengembangan senjata yang tidak terkendali ini Presiden Trump pada 20 Oktober tahun lalu mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan menarik diri dari Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah yang ditandatanganinya dengan Rusia.

Media menganalisis pada saat itu bahwa Amerika Serikat memilih untuk mundur karena ketidakpuasannya terhadap default Rusia, tetapi pertimbangan yang berada di baliknya adalah untuk mengekang pengembangan rudal komunis Tiongkok.

“Jika Rusia sedang melakukan hal ini (mencari senjata nuklir), komunis Tiongkok juga melakukan hal yang sama, sedangkan kami masih bersikeras mentaati traktat tersebut, ini yang tidak dapat kami terima”.

Trump mengatakan : “Jika mereka berubah menjadi lebih bijak, negara-negara lain juga menjadi bijak, mereka akan berkata bahwa jangan lagi kita mengembangkan senjata nuklir yang mengerikan itu, maka saya akan sangat senang.”

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pada 13 November mengatakan : “ika Tiongkok (PKT) adalah yang ikut menandatangani Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah, maka setengah dari jumlah rudal mereka telah melanggar perjanjian itu”.

Jens Stoltenberg mengatakan bahwa ia mendukung perluasan Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia pada tahun 1987 itu dijadikan sebuah perjanjian internasional, sehingga komunis Tiongkok juga termasuk dalam batasan itu.

Michael Pillsbury, mantan pejabat senior Pentagon yang paham dengan situasi Tiongkok mengatakan bahwa laporan terakhir DIA yang bernada serius itu tidak begitu mengkhawatirkan dapat melukai perasaan Tiongkok.

Menurut laporan itu, komunis Tiongkok sedang membangun senjata ruang angkasa, termasuk jammer berbasis darat, laser dan rudal anti-satelit. Sebagian besar informasi tentang senjata itu dirahasiakan. Selain itu, militer mereka masih membangun kekuatan siber yang mampu digunakan untuk memata-matai dan melakukan serangan secara destruktif.

Laporan tersebut untuk pertama kalinya mengkonfirmasikan bahwa departemen intelijen militer PLA, yakni 2PLA yang merupakan bagian dari Staf Gabungan Komisi Militer Pusat.

Jim Fanell, mantan kepala Armada Pasifik dari Angkatan Laut AS mengatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir, apa yang ditegaskan oleh para ahli Tiongkok bahwa Tiongkok tidak memiliki tujuan strategis selain berusaha memodernisasi peralatan militer era Mao Zedong.

Namun kemudian, mereka menyatakan bahwa pembangunan militer Tiongkok  terbatas untuk menciptakan zona penyangga dari wilayah pesisir Tiongkok dan terbatas untuk menjadi kekuatan regional.

“Sekarang kami memiliki bukti yang lebih jelas dalam membuktikan bahwa komunis Tiongkok memiliki rencana hegemoni global,” katanya.

Fanell mengatakan : “Bagaimanapun, komunis Tiongkok telah jauh melampaui harapan kami. Oleh karena itu, kita harus mengadopsi strategi pemerintah secara luas untuk mempertahankan serta melawan ancaman terhadap  kepentingan keamanan nasional kita sendiri, dan kepentingan negara lain dalam komunitas internasional.” (Sin/asr)