Mengapa Generasi ke 77 Kong Hu Cu Menolak Kembali ke Daratan Tiongkok?

Epochtimes.id- Konfusius (Kong Zi, di Indonesia lebih populer sebagai Kong Hu Cu), pendiri Konfusianisme, disebut sebagai “Orang Suci Utusan Langit” semasa hidupnya, kemudian dihormati sebagai “Guru Suci” yang senantiasa dikagumi oleh masyarakat dunia.

Dimulai sejak kaisar Wu dari Han (memerintah tahun 141 SM – 87 SM), kaisar pada setiap dinasti setiap tahun harus mengadakan upacara menyembahyangi Konfusius.

Sampai pada dinasti Ming dan Qing (1368 – 1912) upacara sembayang yang demikian ini malah dipandang sebagai ‘Upacara Kenegaraan’ yang sangat khidmat.

Keturunan Kong Hu Cu juga menerima perlakuan istimewa dan diberi gelar kebangsawanan: ‘Gong (公)’dan ‘Hou (侯)’.

Gelar ‘Yan Sheng Gong (衍聖公 Adipati Yan Sheng)’ yang dianugerahkan oleh kaisar Renzong dari Dinasti Song Utara adalah yang paling lama digunakan. Gelar ini terakhir diwariskan kepada Gong Decheng keturunan Konfusius generasi ke 77 yang lahir pada tahun 1919.

Setelah Kong Decheng tiba di Taiwan, dia bergiat mengembangkan budaya tradisional. (Asosiasi Guru Suci Kong Hu Cu Dacheng Zhong Hua)

Ketika Kong Decheng masih dalam kandungan ibu, ayahnya meninggal. Pada tahun 1920 ketika Kong Decheng genap berusia 100 hari, telah menerima Keputusan Presiden Xu Shichang dari Pemerintah Beiyang (atau Pemerintahan Beijing, 1913 – 1928) dan secara resmi dinobatkan sebagai Adipati Yansheng generasi ke 32; pada tahun 1935 ia diangkat sebagai pejabat Fengsi Dacheng Guru Suci generasi Pertama oleh Republik Tiongkok (pemerintahan nasionalis).

Kong Decheng di usia 5 tahun sudah mulai memimpin upacara sembahyang keluarga di Kuil Konfusius, namun setelah Kong Decheng meninggalkan daratan Tiongkok pada tahun 1949 hingga meninggalnya pada tahun 2008 ia tidak pernah kembali lagi ke daratan. Apakah alasan sesungguhnya sehingga tekadnya begitu kuat?

Ketika berkecamuk perang melawan Jepang yang meletus pada tahun 1937, Kong Decheng sekeluarga demi menghindari agresor Jepang lantas melarikan diri ke kota Chongqing (dibaca: Jong J’ing).

Namun setelah tentara Jepang menduduki Qufu (kota kampung halaman Konfusius) bukan hanya tidak merusak malahan mengirim tentara untuk melindungi Kuil Konfusius tersebut. Para jenderal Jepang secara khusus juga datang beribadah disana, karena orang Jepang yang sangat dipengaruhi oleh budaya Konfusius juga sangat respek terhadap Konfusius.

Pada tahun 1947, tentara nasional Kuomintang merebut Qufu dan Kong Decheng dapat kembali ke kampungnya. Pada saat itu mungkin saja ia tidak menyangka bahwa itulah kali terakhir dia berziarah ke Pemakaman Taman Hutan Marga Kong.

Pada tahun 1949 Kong Decheng mengikuti Kuomintang hijrah ke Taiwan, ia bertanggung jawab sebagai profesor di banyak sekolah tinggi seperti di National Taiwan University dan lain-lain, memberikan materi ajaran San Li (3 karya klasik aliran Konfusius), Jin Wen (Aksara Perunggu), ilmu tentang peralatan perunggu kuno dan lain-lain, juga menjabat di Lembaga Ujian Negara Republik Tiongkok dan Museum Nasional Istana Kekaisaran di Taipei, untuk melanjutkan pengembangan budaya Konfusianisme.

Tetapi di daratan Tiongkok, Revolusi Kebudayaan yang bertujuan menghancurkan Budaya Tradisional Tionghoa dan Agama/Kepercayaan Bangsa, telah meletus pada tahun 1966.

Tan Houlan pemimpin faksi pemberontak Beijing memimpin lebih dari 200 orang melabrak ke kota Qufu di provinsi Shandong dengan slogan “gulingkan Konfusianisme” dan melakukan perusakan besar terhadap cagar budaya yang telah berusia ratusan bahkan 2000 tahun lebih, antara lain: membakar 2.700 jilid kitab kuno, lebih dari 900 lembar lukisan dan kaligrafi, lebih dari 70 benda peninggalan budaya dilindungi tingkat nasional dan lebih dari 1.700 jilid buku edisi terbatas. Selain itu juga menghancurkan 1.000 monumen batu termasuk batu nisan Konfusius, menghancurkan kuil Konfusius dan sebagian hutan di taman pemakaman tersebut.

Yang lebih mengerikan adalah gerombolan Garda Merah itu bahkan menggali makam Konfusius dan makam kedua orang tua Kong Decheng serta menjemur mayat dan diganyang (dikritik) selama beberapa hari lalu dibakar. Kehancuran ini sebenarnya telah memutus warisan budaya Tionghoa selama lebih dari 2000 tahun, mengistilahkannya dengan “Kejahatan luar biasa besar” pun belum memadai.

Tindakan jahat tu masih belum selesai. Pada tahun 1974 laras senapan partai komunis sekali lagi membidik Konfusius, “Gerakan mengganyang Lin Biao dan Konfusius” sudah dimulai. Asal muasal gerakan ini adalah jenderal Lin Biao yang telah ditetapkan sebagai penerus Mao Zedong tiba-tiba melarikan diri lantaran gagal dalam insdden percobaan perebutan kekuasaan dalam internal partai. Saat kediamannya digeledah ditemukan bahwa Lin Biao sangat menggemari ajaran Kong Hu Cu.

Hal tersebut membuat Partai Komunis Tiongkok (PKT) menyadari bahwa budaya konfusianisme masih belum sepenuhnya terhapus dari benak orang Tiongkok, hal itu benar-benar tidak dapat ditoleransi olehnya. Karena ‘filiosofi’ PKT bertolak belakang dengan budaya tradisional Tiongkok.

PKT menyadari bahwa jika masyarakat Tiongkok menggunakan ajaran Konfusius untuk mengukur sepak terjangnya, pasti tidak akan mengakuinya, itu sebabnya PKT dengan segala daya harus mencabut Konfusianisme, seperti halnya budaya tradisional dan aliran kepercayaan lainnya, dari hati rakyat Tiongkok.

Dengan demikian, kala itu di jalan-jalan besar daratan Tiongkok dipenuhi slogan-slogan, karikatur dan poster-poster yang menghujat dengan keji Konfusius. Hingga hari ini, citra agung Konfusius di dalam hati sebagian orang di daratan Tiongkok masih belum pulih seluruhnya.

Hal tersebut bagi Kong Decheng merupakan penghinaan teramat besar dalam kehidupannya! Meskipun setelah Revolusi Kebudayaan, PKT demi tujuan politik Fron Persatuannya, telah memugar kuil Konfusius dan memperbolehkan ritual “sembahyangan Kong Hu Cu.” Namun Kong Decheng menolak untuk mengakuinya. Dalam pandangannya, hal itu sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya dan dia bersumpah untuk tidak kembali lagi ke Qufu hingga kematiannya di tahun 2008.

Menurut memori Kong Chuimei, cucu perempuan Kong Decheng, setelah bertahun-tahun Revolusi Kebudayaan, di suatu hari pada tahun 1990, tuan Kong Decheng yang sedang membaca koran tiba-tiba berkata: “Garda Merah itu, makam ibu saya saja juga tidak diampuni, telah digali habis”, kemudian adalah helaan nafas panjang: “Ah………..”, dapat dibayangkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh malapetaka itu telah terkubur dalam-dalam di hati dan tidak mampu lagi terhapus selamanya.

Tetapi sampai dengan kepergiannya, ia tidak pernah mendapatkan permintaan maaf yang tulus sepatah kata pun dari PKT. (LIN/WHS/asr)

Artikel Ini terbit di Epochtimes cetak versi bahasa Indonesia

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=j8LVdlpJRoI