Komunis Tiongkok Hadapi Hari Sensitif Pertama Tahun 2019, Pembatasan Akses ke Tibet

oleh Ling Yun

Tahun 2019, hari-hari peringatan yang sensitif akan datang satu demi satu. Hari sensitif pertama yang segera akan tiba adalah hari peringatan 60 tahun insiden kekerasan di Tibet pada 10 Maret 1959.

Dalam pertemuan delegasi Tibet pada Dwi Kenperensi yang diadakan di Beijing pada 7 Maret, walikota Lhasa, Tibet mengklaim bahwa pemerintah Tibet akan memperkuat kontrol agama yang memungkinkan PKT lebih kuat dalam menggenggam hak pengelolaan kuil, dan mengurangi jumlah kegiatan keagamaan yang berskala besar, baik dalam jumlah hari maupun jumlah partisipannya.

Walikota Lhasa Guoguo menekankan bahwa tujuan politik utama Lhasa adalah pemeliharaan stabilitas.

Pada pertemuan yang sama pada hari itu, Wu Yingjie, sekretaris Komite Wilayah Otonomi Tibet yang mendukung diberlakukannya pembatasan perjalanan orang asing ke wilayah Tibet, mengklaim bahwa larangan tersebut dikeluarkan dengan alasan mempertimbangkan kesehatan wisatawan asing. Sehingga wisatawan yang mau pergi ke wilayah Tiber perlu meminta izin khusus dari pihak berwenang.

Wu Yingjie mengklaim bahwa dalam beberapa tahun terakhir, banyak turis asing menghadapi keadaan khusus ketika bepergian ke daerah dataran tinggi Tibet, seperti kematian karena kekurangan oksigen. Karena itu meminta wisatawan asing yang memasuki Tibet untuk mengurus izin terlebih dahulu.

Setelah ucapan Wu Yingjie itu disebarluaskan oleh media, warganet mengejek dengan tulisan ‘omong kosong’, ‘stop membual !’ dan lainnya.

Seperti yang kita semua tahu alasannya, 10 Maret 1959 di Tibet terjadi pemberontakan masyarakat Tiber terhadap kekuasaan Partai Komunis Tiongkok. Sehingga pada 17 Maret tahun itu, pemimpin spiritual Tibet Dalai Lama memimpin puluhan ribu pengikutnya untuk mengasingkan diri ke India sampai sekarang.

Pada 10 Maret 2008, para biksu Tibet melancarkan protes besar-besaran untuk memperingati 49 tahun Hari Pemberontakan Tibet. Mereka mengalami penindasan secara brutal dari pihak berwenang, menyebabkan setidaknya 100 orang warga Tibet tewas dan lebih dari 1.000 orang terluka. Lebih dari 5.000 orang warga ditangkap.

Penindasan brutal dari militer Tiongkok tidak memadamkan ketidakpuasan orang Tibet terhadap pemerintahan komunis. Sejak tahun 2009, tak kurang dari 150 orang warga Tibet di Tibet, Qinghai, Gansu dan Sichuan melakukan protes dengan membakar diri. Fenomena  tragis ini mengejutkan komunitas internasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, kendali pemerintahan komunis terhadap Tibet menjadi lebih ketat, warga Tibet setempat dilarang menggantung potret Dalai Lama di rumah. Sejak insiden 14 Maret 2008 itu, pemerintah komunis telah sepenuhnya memblokir Tibet dari wisatawan asing pada malam hari sensitif 10 Maret.

Tahun lalu, pemerintahan Trump telah memberlakukan ‘The Reciprocal Access to Tibet Act’ (Undang-undang Persamaan Perjalanan Tibet), menuntut pemerintah Tiongkok mengizinkan wartawan, diplomat, dan turis AS untuk bepergian ke Tibet tanpa batasan. Undang-undang tersebut berupaya memaksa pemerintah Tiongkok untuk membuka daerah Tibet dan menjatuhkan sanksi pada pejabat Tiongkok yang diyakini bertanggung jawab untuk membatasi orang Amerika memasuki wilayah Tibet.

Hari Peringatan Datang Berturut-Turut, Pemerintah yang Panik Acap Mengeluarkan Larangan Baru

Tahun 2019 adalah tahun yang istimewa dan menakutkan bagi PKT. Pertama, peringatan 60 tahun pemberontakan di Tibet, diikuti oleh peringatan 30 tahun pembantaian Lapangan Tiananmen 4 Juni, peringatan 10 tahun Kerusuhan Urumqi, Xianjiang pada 5 Juli dan peringatan 20 tahun penindasan kelompok spiritual Falun Gong. Perjalanan sejarah PKT diiringi oleh penindasan dan pembantaian, yang masing-masing adalah hari sensitif dan hari ketakutan bagi PKT.

Media ‘Ming Pao’ baru-baru ini mengutip sumber yang mengatakan bahwa karena hari-hari sensitif tahun ini cukup banyak, maka tahun ini akan memberlakukan kontrol yang lebih ketat terhadap media. Hal ini tidak saja diberlakukan terhadap media daratan, tetapi juga media asing dan luar negeri. Jika tidak esuai dengan irama PKT, berbagai cara akan digunakan untuk menghukum “media non-Daratan”.

Sumber itu juga mengatakan bahwa biro yang bertanggungjawab terhadap propaganda PKT telah mengeluarkan perintah yang intinya melarang keras media melaporkan berita yang dapat memperuncing keadaan.

Sebagai contoh, selama Dwi Konperensi Partai Komunis Tiongkok tahun ini, sistem propaganda telah memerintahkan media untuk melakukan “pencabutan fokus” bahkan melemahkan komentar-komentar mengenai perang dagang Tiongkok – AS, masalah nuklir Korea Utara, masalah Laut Tiongkok Selatan, dan sengketa pada proyek OBOR.

Pada saat yang sama, pihak berwenang telah meminta kepada peserta yang mengikuti Dwi Konperensi untuk berhati-hati dalam memberikan komentar mengenai masalah-masalah besar seperti konflik perdagangan Tiongkok – AS, bahkan dianjurkan untuk tidak berkomentar.

Sejak tahun ini, berbagai hari yang sensitif, ditambah lagi dengan adanya beberapa faktor seperti perang perdagangan, ekonomi Tiongkok dalam kesulitan. Termasuk naiknya tingkat pengangguran, maka ucapan-ucapan seperti ‘risiko Tiongkok makin besar’, ‘perlu mencegah revolusi warna’, ‘keamanan politik dan keamanan institusional PKT harus terus dilindungi.’ Jadi ucapan-ucapan ini kian sering keluar dari mulut tingkat tinggi PKT waktu berpidato.

Pada hari pertama pertemuan Kongres Rakyat Nasional (5/3/2019), ketika Xi Jinping berpartisipasi dalam pembahasan delegasi Mongolia Dalam, ia menekankan kembali soal tugas ‘menjamin perputaran roda ekonomi’ dan ‘menstabilkan situasi masyarakat secara keseluruhan’ adalah sangat sangat penting pada saat ini.

Duncan Innes-Ker, direktur Unit Intelejen Ekonomi Asia mengatakan bahwa PKT khawatir terhadap perlawanan dari tingkat bawah, takut terhadap tuntutan masalah yang timbul akibat perlambatan ekonomi, masalah kesenjangan kaya piskin dan tuntutan reformasi politik setelah  menyelesaikan terpenuhinya masalah sandang pangan.

Duncan mengatakan : “Hasrat mengontrol bukanlah fenomena khusus yang muncul pada waktu-waktu tertentu, tetapi itu sudah merupakan prinsip dasar rezim otoriter, karena mereka selalu dan terus berada dalam fantasi paranoid subversi.” (Sin/asr)

Video Rekomendasi :