Demi Politik, Beijing Terdesak untuk Secepatnya Menyepakati Perjanjian Perdagangan

oleh Luo Tingting

Negosiasi perdagangan AS – Tiongkok sedang bergerak menuju tahap final. Bahan bakar fosil telah menjadi alat tawar menawar terbaru.

Media Jerman melaporkan bahwa perang dagang telah menyebabkan politik Beijing terpengaruh, dan untuk secepatnya menyelesaikan perselisihan perdagangan merupakan tugas prioritas bagi Beijing. Namun, tidak begitu buat Amerika Serikat, ia relatif lebih tenang, tidak terburu-buru untuk mengejar kesepakatan dengan Beijing.

Rick Perry, Menteri Energi AS mengatakan pada 12 Maret bahwa ekspor bahan bakar fosil AS, termasuk gas alam cair (LNG) adalah salah satu leverage untuk negosiasi.

Menurut seorang sumber, proyek petrokimia Tiongkok akan menandatangani perjanjian pasokan LNG selama 20 tahun dengan Cheniere Energy setelah berakhirnya perang dagang. Kesepakatan itu bernilai sekitar USD. 16 miliar.

Saat ini, melalui beberapa komitmen lisan Beijing telah berhasil mendapat “hadiah” berupa penundaan tanggal kenaikan tarif AS. Namun, ucapan negosiator AS Lighthizer menunjukkan bahwa waktu yang tersisa sudah tidak banyak lagi buat PKT.

Lighthizer dalam sidang dengar pendapat Senat pada 12 Maret mengatakan bahwa kedua pihak akan mengakhiri negosiasi perdagangan dalam beberapa minggu terakhir, dengan hasil apa pun akan segera diketahui.

Saat ini, kedua belah pihak masih memiliki perbedaan pada beberapa masalah utama. Lighthizer memperingatkan : “Jika masalah yang relevan itu tidak diatasi sesuai kepentingan Amerika Serikat, maka kesepakatan tidak akan kami buat.”

Sengketa perdagangan ini, Beijing jelas-jelas berada pada posisi yang tidak menguntungkan.

Perang dagang tidak hanya berdampak pada ekonomi Tiongkok, tetapi juga menimbulkan ancaman bagi stabilitas kekuatan domestik negara komunis itu.

Wu Qiang, sarjana politik Tiongkok kepada Suara Jerman mengatakan bahwa ia menduga Xi Jinping sangat berharap dapat segera membuat kesepakatan perdagangan dengan AS untuk menstabilkan situasi dalam dan luar negeri Tiongkok tahun ini.

Tang Hao, editor senior urusan internasional pernah menerbitkan sebuah artikel analisisnya seperti berikut : Dengan makin panjangnya waktu konflik perdagangan dengan AS, kemungkinan 6 risiko utama berikut akan terjadi di Tiongkok :

Pertama dan paling mudah dilihat adalah depresiasinya mata uang RMB, menurunnya nilai aset dan pelarian modal.

Kedua, inflasi meningkat, kehidupan rakyat makin tertekan.

Ketiga, kenaikan biaya operasi. menurunnya penjualan, perusahaan hengkang ke luar negeri atau ditutup.

Keempat, jumlah pengangguran meningkat, konsumsi melemah dan pertumbuhan ekonomi menurun,

Kelima, macetnya angsuran KPR menyulut kian membesarnya gelembung perumahan, Keenam, memperburuk krisis utang dan krisis moneter.

Artikel menyebutkan, penyebab munculnya keenam risiko utama dan perang dagang dengan AS tak lain adalah karena terkait dengan ‘kapitalisme negara-partai’ dan ‘politik memanipulasi  ekonomi’ yang dijalankan oleh komunis Tiongkok.

Sebelumnya, dilaporkan bahwa perang dagang telah memicu ketidakpuasan dari dalam PKT. Dunia luar telah menemukan bahwa konflik perdagangan yang telah menarik banyak perhatian dalam Dwi Konperensi yang diadakan di Beijing sudah menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan atau dipublikasikan. Hal ini menunjukkan bahwa pihak berwenang berusaha untuk menekan suara ketidakpuasan itu.

Dunia luar juga mencatat bahwa Li Keqiang, perdana menteri Tiongkok itu pun tidak menyebut perang dagang dalam laporan kerja pemerintah yang ia sampaikan di Dwi Konperensi, tetapi ia mengatakan bahwa Tiongkok menghadapi perkembangan yang lebih rumit dan parah pada tahun 2019. Dalam laporan itu, istilah risiko ia sebut sampai 24 kali, merujuk pada istilah kesulitan, ia ucapkan sebanyak 13 kali, Lapangan kerja, 30 kali, reformasi, 103 kali dan pengurangan pajak, sebanyak 12 kali.

Menurut pendapat Wu Qiang bahwa menyelesaikan isu konflik perdagangan, menjaga stablititas hubungan AS – Tiongkok merupakan tugas prioritas bagi rezim Beijing saat ini.

Wu Qiang  juga mengatakan bahwa KTT Trump – Kim di Hanoi, Vietnam yang gagal di tengah jalan mungkin membuat Beijing ragu terhadap rencana KTT AS – Tiongkok yang tak lama lagi akan diadakan.

Presiden Trump juga mengakui hal ini beberapa hari yang lalu. Reuters melaporkan bahwa Trump kepada wartawan di Gedung Putih pada 13 Maret mengatakan bahwa setelah KTT dengan Kim Jong-un mengalami kegagalan ia mengira bahwa hal itu mungkin juga berpengaruh terhadap Xi Jinping, yang khawatir pertemuannya di Mar-a-Lago juga bisa gagal di tengah jalan.

“Saya pikir Presiden Xi juga menyadari bahwa saya adalah tipe orang yang akan “angkat kaki” jika pertemuan tidak membuat kesepakatan. Anda tahu bahwa situasi ini selalu saja bisa terjadi, meskipun ia tidak menginginkannya,” kata Trump.

Namun, Trump percaya bahwa peluang untuk mencapai kesepakatan dengan Beijing masih cukup tinggi karena sanksi tarif telah menyebabkan kerugian pada ekonomi Tiongkok, dan Beijing berharap untuk mencapai kesepakatan. Tetapi Trump juga mengatakan : “Saya tidak terburu-buru.”

Trump mengatakan bahwa perjanjian tersebut harus bermanfaat bagi Amerika Serikat, jika tidak, kami tidak akan membuat kesepakatan.

Jika kita nilai dari berita yang dirilis oleh kedua belah pihak, tampaknya KTT Trump – Xi tidak mungkin diadakan pada akhir bulan Maret ini. Kedua belah pihak masih belum mencapai kesepakatan tentang perlindungan hak kekayaan intelektual dan mekanisme penegakan hukum.

Baru-baru ini Lighthizer mengatakan bahwa perjanjian itu pasti akan mencakup mekanisme penegakan hukum dan mempertahankan hak untuk AS mengenakan tarif jika Tiongkok gagal memenuhi komitmennya. Jika klausula ini ditolak maka Presiden Trump tidak akan menandatangani perjanjian.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin pada 14 Maret mengatakan bahwa pertemuan tingkat tinggi AS – Tiongkok mungkin tidak terlaksana padaakhir bulan Maret ini, karena masih menyisakan banyak pekerjaan dari meja perundingan yang harus diselesaikan. (Sin/asr)

Video Rekomendasi : 

https://www.youtube.com/watch?v=VvXg_fTauJE