Amerika Evakuasi Sebagian Besar Kedutaan Besar di Irak

EpochTimesId – Amerika Serikat memerintahkan penarikan semua personel non-darurat dari misi diplomatik AS di Irak. Penarikan sebagian staf diplomatik ini, menyusul pengumuman pemerintahan Donald Trump bahwa Iran atau kuasanya di wilayah tersebut merupakan ancaman yang meningkat.

Helikopter lepas landas sepanjang hari dari kompleks kedutaan besar di dekat Sungai Tigris. Mereka membawa staf keluar dari kawasan itu, menurut sumber Irak dan sumber diplomatik di dalam Zona Hijau yang dibentengi Baghdad. Sumber Irak mengatakan staf AS menuju pangkalan militer di bandara Baghdad.

Sebuah peringatan di situs web Kedutaan Besar AS di Baghdad mengatakan semua staf pemerintah AS yang bukan staf darurat diminta untuk meninggalkan Irak segera, di bawah perintah Departemen Luar Negeri. Itu termasuk mereka yang bekerja di Konsulat AS di Erbil, ibukota wilayah Kurdistan semi-otonom. Konsulat AS di Basra telah ditutup sejak September setelah serangan roket yang dituduhkan dilakukan oleh milisi yang didukung Iran.

“Memastikan keselamatan personel dan warga negara AS adalah prioritas tertinggi kami, dan kami ingin mengurangi risiko bahaya,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri.

Alasan Tidak Jelas
Pemerintah Trump menolak untuk menentukan secara spesifik apa alasan yang mendorong penarikan staf. Akan tetapi, pejabat pertahanan dan keamanan telah memperingatkan dalam beberapa pekan terakhir, bahwa ada indikasi dan peringatan yang meningkat, dan ‘ancaman yang dapat dipercaya’ yang dilakukan oleh Iran.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan kepada media pada 6 Mei 2019 bahwa kondisi ini benar-benar kasus yang nyata, akibat tindakan eskalasi dari Iran. Akan tetapi, dia juga mengatakan tidak dapat menjelaskan lebih eksplisit.

Amerika mengumumkan pada 5 Mei 2019, bahwa mereka mengirim satuan pesawat bomber dan basis gugus tempur laut ke wilayah tersebut, meskipun gugus tempur itu sudah dijadwalkan untuk melewati wilayah tersebut pada interval waktu tertentu pada masa mendatang.

Pada 14 Mei 2019, pemberontak Houthi yang berpihak dan didukung oleh Iran melancarkan serangan drone terkoordinasi pada pipa minyak kritis di Arab Saudi, saingan terbesar Teheran di wilayah tersebut.

Anwar Gargash, menteri urusan luar negeri Uni Emirat Arab, mengatakan kepada wartawan di Dubai bahwa koalisi yang dipimpin Saudi akan membalas dendam atas serangan terhadap sasaran sipil, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Saudi Aramco, perusahaan minyak yang dikendalikan pemerintah, mengatakan untuk sementara waktu menutup saluran pipa yang menimbulkan kebakaran, yang menyebabkan kerusakan kecil pada salah satu stasiun pompa. Dia menambahkan bahwa pasokan minyak dan gasnya tidak terpengaruh.

Empat kapal tanker, dua Saudi, satu Emirati, dan satu Norwegia, diserang pada 12 Mei 2019 di dekat Selat Hormuz oleh pelaku sabotase tidak dikenal. Para pejabat AS yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada Reuters bahwa Iran mendorong milisi Syiah yang berbasis di Irak atau Shi’ite, untuk melakukan serangan.

Seorang sumber mengatakan Amerika Serikat meyakini peran Iran adalah salah satu dari upaya secara aktif mendorong para militan untuk melakukan tindakan semacam itu, dan melampaui sekadar memberikan petunjuk. Namun, sumber mengindikasikan Amerika Serikat saat ini tidak memiliki bukti bahwa personil Iran memainkan peran operasional langsung.

Iran membantah terlibat, meskipun telah berulang kali mengancam akan memblokir selat, yang melalui negaranya. Dimana mengalir sekitar seperlima dari pengiriman minyak dunia, jika Amerika Serikat mencoba menghentikan Iran dari mengekspor minyak.

Pemerintahan Trump baru-baru ini menolak untuk memperbarui keringanan dari sanksi AS kepada importir utama minyak Iran sebagai bagian dari upaya untuk memaksa Teheran bernegosiasi untuk menghentikan berbagai kegiatan, termasuk program rudal nuklir dan balistiknya serta mendukung teroris dan militan di seluruh dunia.

“Saya yakin Iran akan segera ingin berbicara,” tulis Presiden Donald Trump di Twitter pada 15 Mei 2019.

Trump keluar dari kesepakatan nuklir Iran pada Mei 2018 dan secara bertahap menerapkan kembali sanksi terhadap negara tersebut.

Pada bulan April, Trump mengumumkan bahwa Dia menetapkan Garda Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran sebagai organisasi teroris asing. Ini adalah pertama kalinya Amerika Serikat menetapkan cabang militer negara asing sebagai organisasi teroris.

Baik Amerika Serikat dan Iran menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan perang, tetapi komandan IRGC mengatakan pada 15 Mei 2019, bahwa lembaga itu selalu siap menghadapi konfrontasi skala penuh dengan musuh. Seperti dikabarkan kantor berita Iran, Fars.

“Momen dalam sejarah ini, karena musuh telah melangkah ke medan konfrontasi dengan kami dengan semua kemampuan yang mungkin, adalah momen paling menentukan dari revolusi Islam,” kata Mayor Jenderal Hossein Salami.

IRGC secara langsung dikendalikan oleh Pemimpin Tertinggi Iran, rezim Islam Ali Khamenei. Mayjen Salami ditunjuk sebagai pemimpin kesatuan tempur itu sejak bulan lalu. (Petr Svab/The Epoch Times/waa)

Video Pilihan :

https://youtu.be/M_mC5lLx2Ow

Simak Juga :

https://youtu.be/rvIS2eUnc7M