Polisi Hong Kong Mengancam Pengulangan Peristiwa 4 Juni 1989

Zhou Xiaohui – Epochtimes.com

Selama hampir sepekan, kekejaman yang ditunjukkan oleh polisi Hong Kong yang dengan sengaja mengepung Universitas Mandarin Hong Kong dan Universitas Politeknik Hong Kong. Tragedi dalam kampus dan kegagahberanian para mahasiswa dalam kampus beserta warga yang menjaga kampus yang ditunjukkan ke publik, sekali lagi mengejutkan dunia.

Banyak orang telah menyerukan perhatian mendesak kepada dunia. Pada saat yang sama mencela perilaku keji Komunis Tiongkok. Hal itu semakin memperkuat keyakinan bahwa selama Komunis Tiongkok masih eksis, maka daratan Tiongkok tidak memiliki kedamaian, Hong Kong tidak memiliki hari hari tenang dan dunia juga tidak memiliki kedamaian.

Pada saat kekerasan dilakukan oleh polisi Tiongkok dan Hong Kong di beberapa kampus universitas, menurut laporan media di luar negeri, pada 17 November 2019 sekitar pukul 20:30, sejumlah besar bala bantuan polisi anti huru hara tiba di Jalan Taihe di Tai Po.

Ada sejumlah petugas polisi di atas jembatan yang saling memaki dengan warga di balkon perumahan. Pada saat itu ada polisi berteriak: “Anda jangan pergi, saya akan mengulangi insiden 4 Juni”

Insiden 4 Juni adalah peristiwa pembantaian terhadap para siswa dan warga sipil di Lapangan Tian An Men yang telah menelan ribuan korban jiwa tewas pada 1989 yang dilakukan oleh Komunis Tiongkok.

Petugas polisi itu kemungkinan besar adalah polisi khusus dari daratan Tiongkok yang menyamar menjadi polisi Hong Kong, karena mereka lebih mungkin telah menonton film penindasan 4 Juni terhadap siswa versi Partai Komunis Tiongkok. Mereka sejak lama dicuci otak oleh PKT.

Kata blak-blakan dari seorang polisi biasa yang menyampaikan pesan mengejutkan bahwa: Partai Komunis Tiongkok telah memutuskan secara internal bakal mengulang insiden 4 Juni, yaitu tidak segan-segan melakukan pembantaian di Hong Kong.

Lagi pula tidak perlu diragukan lagi bahwa informasi seperti itu telah disebar dengan jelas kepada personal polisi yang terlibat dalam penindasan, hingga kepada pasukan   Tiongkok yang ditempatkan di Hong Kong.

Polisi Hong Kong yang kini jauh lebih brutal dari masa lalu dan pasukan komunis yang ditempatkan di Hong Kong turun ke jalan tanpa seijin dari otoritas kota, semua   merupakan suatu pertanda.

Tidak ada orang yang meragukan bahwa sinyal seperti itu tiada hubungannya dengan pernyataan sikap keras Xi Jinping terhadap situasi di Hong Kong saat pertemuannya di Brasil pada 14 November 2019 lalu. Dalam pernyataan sikapnya, Xi Jinping mengedepankan “tiga serius”, “tiga dukungan tegas” dan “tiga tekad” yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Xi Jinping menyebutkan bahwa menghentikan dan mengendalikan kekacauan untuk memulihkan ketertiban di Hong Kong adalah tugas paling mendesak saat ini. Mendukung kepolisian Hong Kong melaksanakan penindasan terhadap masyarakat yang protes serta dengan keras menentang dukungan Amerika Serikat dan negara-negara lain terhadap warga pemrotes Hong Kong.

Pada 15 November 2019, juru bicara Kantor Urusan Dewan Negara Hong Kong dan Makau menyatakan bahwa pidato Xi  Jinping telah mengeluarkan suara terkuat dari pemerintah pusat tentang perang melawan kekerasan di Hong Kong dan harus dengan tegas mengimplementasikannya.

Pada 17 dan 18 November 2019, Harian Rakyat dan Kantor Berita Xinhua masing-masing menerbitkan artikel komentar yang memuji-muji pidato Xi Jinping. Artikel menyebutkan bahwa jangan salah memperkirakan niatan pemerintah Tiongkok. Komunis Tiongkok dengan intens mengasah pisaunya terhadap Hong Kong, bagaikan suasana angin kencang menerpa sebelum hujan badai menerjang.

Terlepas dari penilaian dan pertimbangan semacam apakah, sikap keras Xi Jinping  telah semakin memperburuk situasi di Hong Kong, sehingga pasca kepala eksekutif Hong Kong Carrie Lam bertemu muka dengan Xi Jinping dan Han Zheng. Kekerasan polisi Hong Kong telah meningkat dan memuncak ke taraf ketinggian baru.

Polisi mengubah Universitas Hong Kong dan Universitas Politeknik menjadi medan perang, dan gembar-gembor polisi membuktikan hal itu. Sebelumnya yakni pada 12 November 2019, akun dari Chang Anjian, anggota Komite Politik dan Hukum Partai Komunis Tiongkok, menyebutkan bahwa perusuh Hong Kong menyerang polisi dan merampas senjata. Pada saat itu, mereka tidak menembak, apa gunanya senjata dan apa gunanya polisi?

 Tidak diragukan sudah muncul gelagat, insiden 4 Juni membantai warga Hong Kong mungkin saja terulang kembali. Jika insiden 4 Juni benar-benar terulang di Hong Kong, akan ada berapa banyak siswa dan warga yang terbunuh secara kejam oleh Komunis Tiongkok? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk ini?

Banyak orang yang berusia di atas 40 tahun masih segar dalam ingatan, kekejaman yang dilakukan oleh pasukan militer Komunis Tiongkok dalam membantai dengan menembaki para siswa dan warga sipil pemrotes yang tidak bersenjata di Lapangan Tiananmen, pada 30 tahun yang lalu.

Saat itu, sesungguhnya ada berapa banyak orang yang terbunuh dalam “Pembantaian Tiananmen”, dewasa ini belum ada kesimpulan akhir. Jumlah yang diterbitkan oleh pejabat Komunis Tiongkok adalah lebih dari 800 orang. Bao Tong sekretaris Perdana Menteri Zhao Ziyang yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, pada tahun 2013 mengungkapkan bahwa menurut statistik Palang Merah pada saat itu, jumlah kematian peristiwaTiananmen mencapai 2.000 orang lebih.

Menurut arsip Uni Soviet yang dideklasifikasi di Rusia pada 2013 lalu mengatakan bahwa pembantaian 4 Juni menewaskan 3.000 orang. Sedangkan file rahasia Gedung Putih Amerika Serikat menunjukkan bahwa sebanyak 40.000 orang terbunuh atau terluka dalam insiden 4 Juni, diantaranya 10.454 orang terbunuh.

Setelah tragedi itu terjadi, kejahatan Komunis Tiongkok dikutuk oleh seluruh dunia. Menurut informasi dari semua pihak menjelaskan bahwa Deng Xiaoping, Li Peng dan Chen Xi-tong telah menjadi pendosa sejarah karena mereka memerintahkan untuk menembak atau karena menerima laporan kondisi militer yang salah dan telah menyetujui penindasan.

Mereka telah dicemooh oleh dunia selama 30 tahun. Untuk itu, tidak hanya keluarga Deng Xiaoping, tetapi juga Li Peng dan yang lainnya di tahun-tahun yang berikutnya menyangkal apa yang telah mereka perbuat, demi menghindari tanggung jawab atas pelanggaran hukum mereka.

Ketika peringatan 10 tahun kembalinya Hong Kong pada tahun 2007, Deng Lin putri sulung Deng Xiaoping pergi ke Hong Kong. Saat diwawancarai oleh media, dia mengatakan bahwa “Insiden 4 Juni” adalah keputusan kolektif para pemimpin saat itu, tidak seharusnya dikatakan pemimpin mana yang secara spesifik bertanggung jawab.

Namun, tidak peduli bagaimana keluarga Deng Xiaoping ingin merahabilitasi atau mengurangi peran Deng Xiaoping dalam pembantaian 4 Juni 1989, juga hampir tidak bermanfaat, karena pada saat itu hanya Deng Xiaoping-lah yang mampu membuat keputusan akhir.

Sedangkan dalam “‘Diary 4 Juni’ Li Peng” yang diterbitkan di Hong Kong pada 2010 lalu, selain merekam sikap keras Li Peng, bersamaan itu juga membuktikan bahwa Deng Xiaoping memang pelaku utamanya. Sedangkan tanggung jawab kesalahan Li Peng juga tidak ringan. Li Peng, yang meninggal belum lama ini, memikul tanggung jawab kesalahan itu  sampai dia mati, dan telah dikutuk oleh banyak orang.

Adapun Chen Xi-tong walikota Beijing saat itu, menerbitkan sebuah buku di Hong Kong pada 2012 dengan judul “Dikisahkan oleh Chen Xitong sendiri: Opini publik sulit untuk jujur”. Buku itu menyebutkan bahwa ia  pernah membuat “Laporan situasi tentang menghentikan kerusuhan dan meredakan kerusuhan Kontra-Revolusioner” kepada Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional, atas namanya selaku Walikota Beijing merangkap Anggota Komisi Dewan Negara. Menetapkan bahwa gerakan mahasiswa adalah “kerusuhan” dan  penindasan pihak berwenang adalah “meredakan kerusuhan”.

Laporan tersebut telah dicetak sebanyak 1 juta lembar untuk disebarkan ke daerah perkotaan dan pedesaan negara itu. Hal itu dianggap sebagai bukti posisi historis Chen Xitong sebagai pelaku utama pembantaian 4 Juni.

Soal itu, Chen menjelaskan: “Pemerintah pusat meminta saya untuk membuat laporan, saya tidak bisa tidak melakukan. Saya sama sekali tidak ikut serta dalam diskusi, satu tanda baca pun tidak berubah, tetapi sayalah penanggung jawabnya.”

Chen juga menyatakan bahwa  dirinya belum pernah sama sekali ke rumah Deng Xiaoping. Dia hanya seorang “boneka” dan  menyangkal bahwa ia adalah “Panglima Komando Situasi Darurat Beijing”.

Namun, menurut laporan Voice of America, beberapa individu yang secara pribadi berpartisipasi dalam insiden 4 Juni atau kehilangan orang-orang yang mereka cintai selama pembantaian, semua berpendapat bahwa Chen Xi-tong harus memikul tanggung jawab yang layak diterimanya. Ia bukan boneka tetapi adalah “Penanggung jawab utama”.

Keluarga Deng Xiaoping, Li Peng dan Chen Xi-tong, mereka membela diri dan merehabilitasi diri mereka sendiri karena mereka tahu bahwa pembantaian mahasiswa dan warga sipil pada 4 Juni 1989 itu tidak dapat dimaafkan.

Begitu banyak orang tewas secara mengenaskan dan arwah penasaran tanpa pemakaman yang layak, tidak hanya membuat mereka gelisah setiap saat selama sisa hidup mereka. Peran mereka sebagai orang berdosa dalam sejarah juga tidak dapat diubah.

Kemudian, setelah 30 tahun, siapa yang akan memikul tanggung jawab terbesar bagi polisi Tiongkok dan Hong Kong atau pasukan Komunis Tiongkok yang melancarkan pembunuhan di Hong Kong? Apakah Xi Jinping, yang mengeluarkan suara terkuat dari pemerintah pusat untuk menghentikan kerusuhan di Hong Kong? Apakah itu Han Zheng, yang secara langsung memberi perintah ke Hong Kong serta faksi Jiang yang ada di belakangnya? Atau kepala Kantor Urusan Hong Kong dan Makau ataukah Kepala Eksekutif Hong Kong?

Dari informasi yang dikirimkan oleh media resmi Partai Komunis Tiongkok ke dunia luar, begitu 4 Juni terulang lagi di Hong Kong, tak peduli itu didasarkan pada salah penilaian intelijen atau Xi Jinping yang berusaha melindungi kekuasaan lalu mendukung kepolisian Hong Kong, semuanya akan memikul tanggung jawab paling utama. Itu juga karena   ia akan menjadi pendosa sejarah, seiring dengan tercerai-berainya Komunis Tiongkok yang akan berakhir dengan menyedihkan.

Apakah itu benar-benar adalah kehendak Xi Jinping, yang selalu menyatakan bahwa “hati rakyat adalah politik terbesar”?

Jika tidak, maka kembalilah ke jalan yang benar, mungkin masih ada sebersit peluang hidup. (Lin/WHS)