‘Kota Aman’ Huawei Adalah Tidak Efektif, Berdasarkan Angka Kejahatan

Nicole Hao – The Epochtimes

Komunis Tiongkok sangat mempromosikan teknologi pengawasannya kepada pemerintah klien di seluruh dunia. Akan tetapi, selain membuat penduduk setempat  terlilit utang dan meningkatkan risiko keamanan nasional, proyek tersebut memberikan hasil yang kurang memuaskan.

Seperti dikutip oleh The Epochtimes, beberapa kota di Pakistan melaporkan peningkatan angka kejahatan, meskipun memasang infrastruktur “kota aman” yang dibangun oleh perusahaan teknologi Tiongkok yang terhubung dengan negara, Huawei.

Selesai pada tahun 2016 dengan menelan biaya sekitar 100 juta dolar AS, proyek kota aman di Islamabad menawarkan 1.950 kamera pengintai. Tujuh puluh dua layar di markas besar kepolisian ibu kota Pakistan membantu petugas memantau jalan-jalan.

Huawei mengklaim bahwa upaya tersebut akan secara dramatis meningkatkan ketertiban, dengan pengurangan 15 persen kejahatan kekerasan yang diproyeksikan. Walaupun sementara kejahatan menurun pada tahun 2016, pada akhir tahun 2018 kejahatan meningkat 33 persen di Islamabad.

Pakistan adalah negara utama dalam inisiatif ‘Belt and Road,’ atau OBOR proyek investasi infrastruktur global rezim Tiongkok. Pakistan juga merupakan salah satu sekutu jangka panjang Beijing.

Sejak tahun 2015, Pakistan melibatkan Huawei untuk membangun sistem Kota Aman di sembilan kota.

Huawei mengklaim bahwa proyek kota aman sesungguhnya dapat memperbaiki waktu tanggap darurat, angka kejahatan, dan penyelesaian kasus. Tetapi data dari Biro Kepolisian Nasional Pakistan menunjukkan, bahwa angka kejahatan secara keseluruhan naik sebesar 11 persen.

Sebuah laporan pada tanggal 12 November 2019 oleh Bloomberg, mengutip sebuah komite legislatif Pakistan yang mengatakan bahwa setengah dari kamera yang diproduksi Huawei di Islamabad dalam kondisi rusak.

Dari tahun 2017 hingga 2018, misalnya dacoity, istilah yang digunakan di anak benua India untuk merujuk pada bandit bersenjata, naik sebesar 244 persen. Sementara perampokan dan pencurian melihat peningkatan 61,6 persen. Pembunuhan dan penculikan juga lebih sering terjadi.

Statistik kepolisian menunjukkan bahwa kejahatan meningkat 2,86 persen di seluruh Pakistan dari tahun 2017 hingga 2018, di mana ibu kota Pakistan menunjukkan peningkatan yang lebih buruk.

Lebih Banyak Promosi Daripada Hasil

Kenya, negara lain dengan investasi inisiatif ‘Belt and Road’ yang besar, juga memasang sistem kota aman Huawei di kota-kotanya, termasuk Mobassa dan ibu kota, Nairobi.

Menurut Huawei, proyek tersebut membantu menurunkan angka kejahatan di kota-kota sebesar 46 persen tahun-ke-tahun dari tahun 2014 hingga 2015.

Tetapi Badan Kepolisian Nasional Kenya melaporkan hasil yang berbeda, dengan  statistik yang menunjukkan angka kejahatan di Nairobi mengalami sedikit penurunan pada tahun 2015. Akan tetapi meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Jumlahnya mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada sebelum pengenalan program kota aman pada tahun 2017.

Laporan polisi yang sama mengatakan bahwa angka kejahatan di Mombasa, tidak pernah menurun setelah instalasi kota aman, yang juga terjadi pada tahun 2014. Pihak berwenang Kenya belum berkomentar mengapa teknologi Huawei gagal berfungsi seperti yang diiklankan.

Pada tanggal 4 November, Pusat Studi Strategis & Internasional yang berbasis di Washington menerbitkan laporan yang mengatakan, bahwa Huawei menggunakan data berlebihan untuk mempromosikan proyek kota aman miliknya.

Laporan tersebut merujuk data dari proyek kota aman Huawei yang dipasang di 73 kota di 52 negara. Huawei sendiri mengklaim bahwa infrastrukturnya disiapkan di 230 kota di 90 negara.

Laporan itu juga mempertanyakan klaim Huawei mengenai keberhasilan program tersebut, mencatat bahwa “semua statistik dilaporkan untuk lokasi dan periode waktu yang tidak ditentukan dan tidak ada data atau sumber spesifik yang disediakan untuk angka-angka tersebut.”

Selain itu, “setelah mengadopsi peralatan Huawei, negara-negara mungkin ‘terjerat’ biaya penggantian yang tinggi,” demikian bunyi laporan itu. Hal demikian termasuk peningkatan teknologi serta penggantian dan perbaikan komponen yang dibangun secara buruk.

Utang dan Keamanan Nasional

Laporan Pusat Studi Strategis & Internasional memperingatkan, bahwa rezim Komunis Tiongkok mungkin “mengekspor otoritarianisme” dengan menggunakan kembali “pengenalan wajah dan plat nomor, pemantauan media sosial, dan kemampuan pengawasan lainnya” yang terkait dengan program tersebut.

Dikarenakan sebagian besar proyek adalah bagian rencana inisiatif ‘Belt and Road, klien cenderung dibebani dengan utang yang tidak mampu dibayarnya. 

Saat ini tidak ada data yang tersedia untuk umum yang menunjukkan berapa banyak utang disebabkan oleh Huawei. Tetapi sebagian besar negara yang menerima inisiatif ‘Belt and Road’ dengan risiko utang tinggi menggunakan sistem Huawei.

Pada tahun 2018, Pusat Pengembangan Global yang berbasis di Washington menerbitkan laporan yang menganalisis utang terkait inisiatif ‘Belt and Road.’

Komunis Tiongkok membayangkan inisiatif ‘Belt and Road’ sebagai proyek untuk menjangkau setidaknya 68 negara dan melibatkan sebanyak 8 triliun dolar AS dalam investasi di seluruh dunia. Tujuannya, untuk membangun jaringan transportasi, energi, dan infrastruktur telekomunikasi yang luas terutama yang menghubungkan Eropa, Afrika, dan Asia.

Untuk membangun jaringan ini, rezim Komunis Tiongkok meminjamkan dana ke negara-negara mitra melalui Bank Pembangunan Tiongkok, Bank Ekspor-Impor Tiongkok (Bank Exim Tiongkok), dan Bank Pengembangan Pertanian Tiongkok.

Untuk memenuhi syarat untuk pinjaman, negara-negara klien diharuskan untuk menggunakan produk Tiongkok.

Laporan tersebut mengintegrasikan keseluruhan rasio utang publik terhadap Produk Domestik Bruto negara tersebut. Bahkan,  konsentrasi utang itu dengan Tiongkok sebagai kreditor, mengidentifikasi delapan negara tempat inisiatif ‘Belt and Road’ tampaknya menciptakan potensi masalah keberlanjutan utang.

Misalnya, Produk Domestik Bruto Djibouti adalah 1,73 miliar dolar AS pada tahun 2016, tetapi Djibouti berutang kepada Tiongkok sebesar 1,2 miliar dolar AS. Jumlahnya lebih dari separuh ekonominya. Tujuh negara berisiko lainnya adalah Pakistan, Laos, Mongolia, Kirgistan, Tajikistan, Maladewa, dan Montenegro.

Kenya berutang kepada Tiongkok sebesar 4 miliar dolar AS,  termasuk di antara 15 negara lainnya yang secara bermakna atau sangat rentan terhadap kesulitan utang. Dikarenakan penerimaan negara-negara tersebut terhadap pinjaman inisiatif ‘Belt and Road’. (Vivi/asr)

FOTO : Seorang pekerja membersihkan kamera pengintai di sebuah jalan di Nairobi, Kenya pada 18 Januari 2019. (YASUYOSHI CHIBA / AFP melalui Getty Images)