Setelah Wuhan Menutup Semua Rumah Sakit Darurat, Pasien yang Sakit Ditolak Untuk Diberi Pengobatan

Nicole Hao

Seorang pasien dengan gejala Coronavirus di Tiongkok mengatakan kepada The Epoch Times segera setelah ia dibebaskan dari rumah sakit darurat, kondisinya semakin memburuk. Namun, rumah sakit menolak untuk memberinya perawatan.

Sejak tanggal 10 Maret, saat pemimpin Komunis Tiongkok Xi Jinping mengunjungi pusat wabah di kota Wuhan, pemerintah setempat menutup semua rumah sakit darurat. Pemerintah setempat mengklaim bahwa lebih sedikit pasien yang sakit; maka rumah sakit darurat tidak dibutuhkan lagi.

Sementara itu, rezim Tiongkok mengklaim Virus Komunis Tiongkok atau Coronavirus telah mencapai “puncaknya,” dan bahwa rezim Tiongkok berhasil mengendalikan penyebaran virus itu.

Tetapi nyonya Fu mengatakan dirinya, keluarganya, dan pasien lain seperti dirinya masih menderita Coronavirus.

Tanpa Perawatan

Fu berusia 60-an, dan tinggal bersama keluarganya di distrik Hanyang di pusat kota Wuhan. Ia menunjukkan gejala Coronavirus yang ringan. Tetapi hasil uji diagnostiknya kembali negatif, maka ia ditempatkan di pusat karantina pada awal bulan Februari.

Saat kondisinya memburuk, Fu dipindahkan ke rumah sakit darurat di Pusat Pameran Internasional Wuhan di distrik Hanyang, pada tanggal 11 Februari.

Ia mengatakan bahwa lebih dari 900 pasien dikurung di ruang pusat pameran tersebut. Tempat tidur diatur bersebelah satu sama lain tanpa penghalang — 22 tempat tidur dihitung sebagai satu unit.

“Satu dokter merawat delapan unit, yang berarti 176 pasien,” kenang Fu.

“Dokter hanya memeriksa suhu tubuh kami. Saat kami merasa tidak nyaman, kami mendapatkan obat dari stasiun perawat. Tetapi perawat tidak memberi kami perawatan apa pun,” tambah Fu.

Fu dikeluarkan dari rumah sakit darurat pada tanggal 28 Februari. Ia dikirim ke pusat karantina di rumah sakit lain, yang asalnya adalah sebuah hotel, untuk observasi medis.

Fu harus berbagi kamar dengan sesama pasien yang berusia 30 tahun.

Setelah pindah ke pusat karantina tersebut, Fu merasa semakin buruk. “Saya sesak napas. Untuk mengucapkan satu kalimat, saya harus mengambil napas setidaknya satu kali di pertengahan kalimat,” kata Fu.

Pada tanggal 10 Maret, seorang dokter mengirim Fu ke rumah sakit Puren Wuhan, yang ditunjuk sebagai rumah sakit untuk mengobati COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh jenis Coronavirus baru.

Fu harus membayar biaya untuk CT scan dan uji darah.

Laporan diagnosis rumah sakit menyatakan bahwa Fu memiliki selapis tipis yang tampak kabur di kedua paru-parunya, yang mungkin adalah lesi yang terinfeksi. Pada saat yang sama, pembuluh darah, hati, dan kantong empedu Fu juga rusak.

Banyak pasien COVID-19 menunjukkan keburaman di paru-parunya. Meskipun gejala klinis Fu cocok dengan pasien COVID-19, namun rumah sakit menolak merawatnya, mengatakan bahwa uji diagnostiknya kembali negatif.

Rumah Sakit No. 9 Wuhan adalah rumah sakit khusus yang menerima pasien pusat karantina tempat Fu dirawat. Tetapi Rumah Sakit No. 9 Wuhan juga menolak merawat Fu.

Pasien yang Dipulangkan

Fu mengatakan ia bukanlah satu-satunya pasien yang belum pulih yang dibebaskan.

Setelah Wuhan mengumumkan bahwa semua rumah sakit darurat akan ditutup, Pusat Pameran Internasional Wuhan mengirim bus untuk mengangkut pasien-pasien ke pusat karantina. Pasien dalam kondisi parah dipindahkan ke rumah sakit. Pasien yang dianggap sehat dipulangkan ke rumah.

Fu mengatakan bahwa ia berbicara dengan sekitar 20 pasien lain di bus itu. Mereka juga mengalami kerusakan paru-paru.

Seorang pria berusia 36 tahun yang juga dirawat di rumah sakit darurat tempat Fu dirawat, meninggal 36 jam setelah dipulangkan, menurut Fu.

Suami Fu juga terinfeksi Coronavirus. Setelah putra Fu memposting di media sosial untuk meminta bantuan supaya ayahnya dirawat di rumah sakit, akhirnya ayahnya dirawat di Rumah Sakit Rakyat Xinzhou, yang terletak di pinggiran kota di luar Wuhan.

“Suami saya lebih parah daripada saya. Apa yang harus saya lakukan?” tangis Fu.

The Epoch Times berbicara dengan putra Fu pada bulan Februari. Putra Fu mengatakan bahwa ayah sebenarnya sudah meninggal pada tanggal 8 Februari, tetapi keluarga tidak ingin Fu tahu akan hal itu. Kemudian, cucu Fu yang berusia 17 tahun juga terinfeksi Coronavirus, dan kini sedang dirawat di rumah sakit Kangtai Wuhan.Di media sosial, ada juga ada bukti warga Wuhan menghadapi situasi serupa yang dialami Fu.

Pada tanggal 14 Maret, Yang Zhanqing, seorang aktivis Tiongkok yang berbasis di Amerika Serikat, berbagi video di Twitter, yang menampilkan rekaman audio percakapan antara dia dan seorang dokter bermarga Wei di Wuhan di WeChat, aplikasi populer.

Dokter Wei mengatakan dalam video: “Di sini, kami menggunakan diagnosis politik dan pengobatan politik.” Dokter Wei mengatakan ada pasien yang belum sembuh, tetapi rumah sakit tetap membebaskannya — untuk menunjukkan pada pihak berwenang bahwa ada sejumlah besar pasien yang pulih.

Sebagai seorang dokter, Wei mengatakan ia tidak merasa etis untuk melepaskan pasien-pasien semacam ini, tetapi ia tidak punya cara untuk menghentikannya. “Karena spesialis sudah menandatangani lembar pemulangan pasien, saya harus melepaskannya. Jika saya tidak melepaskannya, dokter lain akan melakukannya. “

Yang Zhanqing memposting bahwa ia mendengar dari kontaknya bahwa beberapa perumahan di distrik Hanyang mengalami infeksi massal dalam beberapa hari terakhir, sebagian besar diakibatkan pasien yang pulang ke rumah dan secara tidak sengaja menyebarkan Coronavirus kepada anggota keluarga dan tetangganya.

Pada malam tanggal 13 Maret, netizen Wuhan bernama Zhang Yi menyiarkan langsung video yang memperlihatkan ambulans menjemput pasien-pasien dari rumah mereka. Tetapi setibanya di rumah sakit, rumah sakit menolak untuk menerima pasien-pasien tersebut karena kapasitas rumah sakit penuh. (vv)


FOTO : Seorang pria turun dari pesawat Xiamen Airlines di bandara Tianhe di Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, pada 31 Januari 2020. (STR / AFP via Getty Images)