Siasat Agresif Beijing di Tengah Merespon Pandemi Justru Memicu Serangan Balik Global

Cathy He

Diplomasi agresif rezim Tiongkok di tengah-tengah pandemi ini menyebabkan pukulan balik dari seluruh dunia. Itu ketika ada negara-negara dari seluruh dunia semakin gencar menyerukan permintaan untuk penyelidikan penanganan wabah oleh Beijing.

Dalam beberapa minggu terakhir, diplomat Komunis Tiongkok terlibat dalam perdebatan mengenai masalah yang mencakup produk medis yang cacat yang dikirim dari Tiongkok. Sementara itu, negara-negara menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari rezim di Beijing untuk perannya dalam menyebabkan virus  Komunis Tiongkok menyebar di seluruh dunia.

Pendekatan konfrontatif – dijuluki diplomasi “prajurit serigala” setelah dua film aksi Tiongkok dengan nuansa nasionalistis yang dirilis pada tahun 2015 dan 2017 — belum membuahkan hasil.

Semakin banyak negara memanggil Duta Besar Tiongkok untuk pelanggaran terkait, dari menyebarkan disinformasi mengenai pandemi, hingga mendiskriminasi imigran Afrika di kota Guangzhou, selatan Tiongkok, setelah beberapa warga Afrika dinyatakan positif terinfeksi virus itu.

Sementara itu, negara-negara semakin menegaskan sikapnya terhadap rezim Tiongkok, memikirkan kembali ketergantungan manufakturnya pada Tiongkok dan penerimaan perusahaan teknologi Tiongkok yang menimbulkan risiko keamanan.

Ketegangan antara Australia dan Beijing semakin menjadi-jadi selama seminggu terakhir ini, setelah pejabat Australia menyerukan penyelidikan independen mengenai asal usul wabah di Tiongkok. Sebagai tanggapan, Duta Besar Tiongkok Cheng Jingye mengisyaratkan bahwa Tiongkok dapat memboikot barang-barang Australia jika Australia tidak kembali pertanyaannya itu.

Jika penyelidikan itu dilanjutkan, “Orang biasa mungkin bertanya: ‘Mengapa kita harus minum anggur Australia? Kenapa kita harus makan daging sapi Australia?” kata Cheng Jingye di sebuah wawancara dengan media setempat.

Ancaman itu memicu kemarahan para pejabat di seluruh spektrum politik.

Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengecam upaya tersebut sebagai “paksaan ekonomi” sambil mengulangi seruan untuk diadakan penyelidikan.

Rezim Tiongkok “selama beberapa dekade mampu mendesak negara-negara lain dengan mengancam konsekuensi ekonomi…tetapi saya tidak berpikir ancaman itu akan bekerja dengan baik lagi,” kata Helle Dale, rekan senior untuk diplomasi umum di Heritage Foundation, lembaga pemikir yang berbasis di Washington , kepada The Epoch Times. Ia menambahkan bahwa kini negara-negara bekerja sama berupaya menghadapi Tiongkok karena krisis tersebut.

Di Eropa, anggota parlemen di Jerman, Swedia, dan yang terbaru, presiden Komisi Eropa — tangan kanan eksekutif Komisi Uni Eropa—telah meminta penyelidikan mengenai asal virus itu.

Sementara itu, New York Times melaporkan bahwa Uni Eropa memperlunak laporan mengenai informasi sesat pandemi setelah ditekan oleh Beijing, namun klaim itu ditolak oleh diplomat top Uni Eropa, Josep Borrell. Saat mengakui bahwa pejabat Tiongkok keberatan dengan konten tersebut, ia mengatakan bahwa “revisi menjadi bagian dari proses pengeditan normal,” dan temuan tersebut belum melunak.

Sweeping kampanye informasi sesat oleh rezim komunis Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir, yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari kerahasiaan rezim Tiongkok terhadap wabah itu, telah berulang kali mendapatkan perlawanan dari pemerintah Barat. Selain itu, lebih lanjut memicu negara-negara untuk memikirkan kembali hubungannya dengan rezim Tiongkok.

“Tiongkok menjadi lebih agresif, lebih sombong, dan perilakunya sepanjang episode COVID-19 mencerminkan hal ini,” kata Tobias Ellwood, anggota Parlemen untuk Partai Konservatif yang berkuasa di Inggris dan ketua House of Commons Defense Committee, mengatakan kepada NTD, afiliasi The Epoch Times.

Ia mengatakan bahwa kurangnya transparansi rezim Tiongkok selama krisis “telah menerangi apa yang dikhawatirkan banyak orang mengenai kemampuan Tiongkok untuk bertindak secara terbuka dengan masyarakat internasional.”

Tobias Ellwood adalah salah satu di antara semakin banyak politisi Partai Konservatif yang mendesak pengaturan ulang hubungan Inggris dengan rezim Tiongkok, mencakup penolakan terhadap raksasa telekomunikasi Tiongkok Huawei dalam peluncuran 5G di Inggris.

Sebelumnya pada bulan April, pejabat Perdana Menteri Inggris Dominic Raab mengatakan Inggris tidak dapat kembali ke “bisnis seperti biasa” dengan Tiongkok setelah krisis.

“Kita harus mempertanyakan pertanyaan sulit mengenai bagaimana hal itu terjadi dan bagaimana hal itu dihentikan lebih awal,” kata Dominic Raab.

Diplomat Tiongkok dan media yang dikelola pemerintahan komunis Tiongkok melontarkan kritiknya kepada Amerika Serikat saat pemerintahan Donald Trump meningkatkan tuntutan kepada rezim Tiongkok untuk bertanggungjawab atas kerahasiaan rezim Tiongkok terhadap virus tersebut.

Setelah Presiden Donald Trump pada tanggal 27 April menyatakan Amerika Serikat meminta kompensasi “substansial” dari rezim Tiongkok karena menyebabkan pandemi, Geng Shuang, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, menuduh politisi di Amerika Serikat “berbohong.”

Geng Shuang mengatakan pada konferensi pers tanggal 28 April, “Kami menyarankan politisi Amerika Serikat untuk merenungkan masalahnya sendiri dan berusaha yang terbaik untuk mengendalikan epidemi sesegera mungkin, daripada terus bermain trik untuk menangkis kesalahan.”

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo kemudian menyebut pernyataan itu sebagai “informasi sesat komunis yang klasik.” Ia menunjuk upaya rezim Tiongkok untuk membungkam para dokter yang berusaha memperingatkan adanya  wabah selama tahap awal.

“Itu adalah hal-hal yang dilakukan lembaga komunis. Kita semua mengetahui Komunis dari zaman Soviet. Kita mengetahui macam-macam hal yang partai komunis lakukan untuk berusaha  mengelola informasi di dalam negerinya sendiri dan di seluruh dunia,” kata Mike Pompeo dalam wawancara Fox pada tanggal 29 April. (Vivi/asr)


FOTO : Seorang perwira polisi paramiliter Tiongkok memberi isyarat saat dia mengenakan masker pelindung sambil berjaga di pintu masuk Kota Terlarang saat dibuka kembali untuk pengunjung terbatas di Beijing, Tiongkok, pada 1 Mei 2020. (Kevin Frayer / Getty Images)

https://www.youtube.com/watch?v=HdBFYPMRXr4