Polisi Tiongkok Mengancam Putra Korban Virus Atas Upaya Membangun Monumen

Theepochtimes- “Saya merasa mengirim ayah saya kembali ke Wuhan seperti mengirimnya untuk mati. Jika seseorang memberitahu saya bahwa wabah itu adalah parah, saya tidak akan mengirimnya kembali ke Wuhan,” tangis Zhang.

Sejak virus Komunis Tiongkok merebak di kota Wuhan, tengah Tiongkok, angka kematian yang sebenarnya masih tetap misteri, karena pihak berwenang menyembunyikan data sebenarnya dari masyarakat.

Tetapi pada bulan Januari 2020, Zhang, yang tumbuh di Wuhan dan kini tinggal di Shenzhen, metropolis di selatan Tiongkok, tidak menyadari kemampuan virus untuk menyebar, karena pihak berwenang Wuhan awalnya meremehkan keparahan wabah itu.

Tanpa menyadari risikonya, Zhang membawa ayahnya ke rumah sakit Wuhan untuk merawat luka-luka yang diderita ayahnya setelah terjatuh parah.

Ayah Zhang tertular virus Komunis Tiongkok dan meninggal tidak lama setelah itu.

Berharap menghibur orang lain yang senasib dengannya karena kehilangan orang yang dicintainya akibat virus, Zhang baru-baru ini berencana mengumpulkan uang untuk membangun sebuah monumen untuk mengenang korban yang tewas akibat virus tersebut.

Zhang mengatakan pihak berwenang Shenzhen mulai mengawasinya. “Mereka tidak menyelesaikannya masalah saya, tetapi memantau dan memblokir panggilan telepon saya… Orang lain tidak dapat melihat saya posting di media sosial,” kata Zhang dalam sebuah wawancara.

Kembali ke Wuhan

Zhang bekerja di Shenzhen. Pada awal tahun 2019, Zhang membawa ayahnya yang berusia 76 tahun yang sudah  pensiun dari Wuhan ke Shenzhen sehingga mereka dapat hidup bersama.

Pada tanggal 15 Januari, ayah Zhang terjatuh dan tulangnya patah. Saat Zhang menanyakan mengenai opsi perawatan untuk ayahnya, ia diberitahu oleh petugas di Wuhan bahwa ayahnya dapat menerima perawatan rumah sakit gratis di Wuhan, padahal Zhang harus membayar perawatan ayahnya di Shenzhen.

Dari awal hingga pertengahan bulan Januari, pejabat Wuhan mengatakan kepada masyarakat bahwa wabah itu  “dapat dicegah dan dikendalikan.” Bahkan mengklaim risiko penularan dari manusia ke manusia adalah rendah.

Tidak tahu bahwa wabah virus di Wuhan adalah parah, Zhang dan ayahnya melakukan perjalanan kembali ke kampung halamannya pada 16 tanggal Januari. 

Keesokan harinya, ayah Zhang menerima perawatan untuk tulangnya yang patah di Rumah Sakit Umum Komando Teater Pusat Tentara Pembebasan Rakyat, sebuah rumah sakit militer di Wuhan.

“Wuhan seperti biasa pada saat itu. Staf medis tidak memakai jubah pelindung dan orang-orang tidak memakai masker,” kata Zhang.

Beberapa hari kemudian, ayah Zhang menderita demam. Kondisinya memburuk dari hari ke hari. 

Pada tanggal 30 Januari, ayah Zhang didiagnosis secara resmi terinfeksi virus itu. Hari itu, staf medis di rumah sakit tiba-tiba mengenakan jubah pelindung dan alat pelindung diri lainnya, demikian kenang Zhang.

Pada tanggal 1 Februari, ayah Zhang dipindahkan ke ruang isolasi di rumah sakit tersebut, tempat banyak pasien COVID-19 sedang dirawat.

“Saya tidak tahu ada ruang isolasi yang disiapkan untuk pasien COVID-19. Saya tidak tahu kapan ruang isolasi itu disiapkan. Tetapi satu hal yang jelas: rumah sakit tersebut memang mengobati pasien COVID-19 [pada bulan Januari,] dan ayah saya terinfeksi di rumah sakit tersebut,” kata Zhang.

Setelah dirawat di ruang isolasi selama beberapa jam, ayah Zhang meninggal dunia. 

Jenazah ayah Zhang dijemput oleh staf rumah duka Wuchang. Zhang tidak diizinkan untuk melihat jenazah ayahnya dibawa pergi sebelum dikremasi di rumah duka Wuchang.

Abu di Guci

Pada akhir bulan Maret, pemerintah Wuhan mengizinkan warga untuk mengambil guci berisi abu orang yang mereka cintai dari rumah duka. 

Sebelumnya, karantina kota Wuhan  melarang orang-orang mengunjungi rumah duka.

Zhang mengatakan pihak berwenang mewajibkan semua kerabat yang mengunjungi rumah duka didampingi oleh staf pemerintah.

“Dalam kebudayaan Tiongkok, mengambil dan mengubur guci adalah hal yang sangat pribadi…Tidak seorang pun yang menginginkan orang asing berpartisipasi,” kata Zhang.

Zhang percaya bahwa pihak berwenang berusaha mencegah kerabat korban berbicara satu sama lain dan menyebarkan informasi mengenai wabah.

“Pemerintah memaksa kami untuk mengambil dan mengubur guci… Banyak dari kami memboikot aturan paksa ini dan tidak mengambil guci,” kata Zhang, termasuk dirinya.

Suatu hari di akhir bulan Maret, Zhang mengatakan ia menerima panggilan telepon dari seorang pejabat di Komisi Urusan Politik dan Hukum cabang Wuhan, sebuah badan keamanan. 

Penelepon itu secara keliru mengira Zhang adalah pejabat lain, dan mulai berbicara mengenai cara memantau dan mengendalikan Zhang.

Penelepon itu menyebutkan pesan pribadi yang dikirim Zhang kepada kerabat dan teman-temannya, dan bagaimana pihak berwenang menyensor pesan Zhang. Di telepon Zhang, aplikasi akan menunjukkan bahwa pesannya dikirim. Tetapi penerima tidak mendapatkan pesan Zhang.

Zhang kembali ke Shenzhen untuk bekerja pada tanggal 8 April.

Monumen untuk Mengenang

Zhang baru-baru ini memutuskan untuk mengumpulkan uang untuk membangun sebuah monumen yang didedikasikan untuk korban virus yang akan dibangun di Wuhan.

“Monumen itu sebagai tanda berkabung untuk kerabat kami, dan juga untuk memperingatkan orang-orang agar ingat sejarah ini. Monumen itu memperingatkan pemerintah untuk mengumumkan informasi wabah secara tepat waktu… Jika tidak ada yang berubah, maka bencana yang sama akan terjadi lagi,” kata Zhang.

Setelah Zhang mulai mengatur mengumpulkan uang untuk membangun monument itu, ia dipanggil dua kali oleh polisi Shenzhen.

Panggilan pertama pada tanggal 29 April, di mana polisi memaksanya untuk berhenti memposting media sosial.

Panggilan kedua pada tanggal 4 Mei, saat Zhang mendirikan grup obrolan di WeChat, platform perpesanan populer, untuk kerabat korban virus. Kali ini, polisi menunjukkan posting-posting Zhang di media sosial dan memaksa Zhang menghapus grup obrolan itu.

“Aku tidak takut…[Rezim Tiongkok] telah membunuh orang yang saya cintai. Bagaimana saya berdiam diri? Bagaimana saya tidak boleh mengeluarkan pendapat dan meminta pertanggungjawaban orang yang bertanggung jawab?” kata Zhang.

Zhang mengatakan beberapa anggota grup obrolannya berada di Wuhan, dan kini ditindas oleh polisi Wuhan: “Mereka diberitahu [oleh polisi] bahwa mereka tidak akan dimonitor jika mereka tutup mulut selama satu bulan.”

Zhang mengatakan ia tidak akan menyerah pada rencananya. Jika uang yang terkumpul tidak cukup untuk membangun monumen itu, ia akan menghabiskan uang itu untuk membantu kerabat korban virus.

Keterangan Gambar: Seorang warga mempersembahkan bunga kepada para martir yang tewas dalam perang melawan wabah virus PKC dan rekan senegaranya yang meninggal karena penyakit di Wuhan, Tiongkok pada 4 April 2020. (Getty Images)

(Vivi/asr)

Video Rekomendasi