Refleksi Setahun DPR RI Pasca Pelantikan : Pendukung Setia Pemerintah, Terlihat Hanya Sebagai Pengikut

ETIndonesia- Setahun pasca pelantikan anggota DPR RI 2019-2024, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) memberikan sejumlah catatan reflektif guna mengevaluasi posisi DPR sebagai wakil rakyat, khususnya di tengah situasi kritis akibat munculnya pandemi Covid 19 yang telah ditetapkan sebagai bencana non alam.

Kemunculan Covid 19 yang mengejutkan di awal tahun 2020 ini mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Situasi ini juga turut merubah cara DPR bekerja, dan mestinya juga paradigma DPR dalam merencanakan dan menghasilkan kebijakan.

Formappi dalam siaran persnya Kamis (1/10/2020) menilai sikap DPR dalam melihat pandemi tak ada bedanya dengan cara pandang mereka pada kondisi normal. Dalam banyak momen, Ketua DPR RI memang selalu mengingatkan fokus bangsa pada penanganan pandemi, akan tetapi peringatan Ketua DPR itu tak terlihat ditindaklanjuti oleh setiap alat kelengkapan DPR melalui perumusan agenda kegiatan yang terfokus pada pandemi.

Faktanya hanya mekanisme pelaksanaan sidang saja yang benar-benar berubah pada DPR sepanjang masa pandemi (dari pertemuan tatap muka ke daring). Tak terlihat adanya perubahan dalam perencanaan yang fokus pada upaya penanganan pandemi.

Maka tak mengherankan ketika sepanjang Masa Sidang III hingga sekarang, agenda kerja DPR masih melanjutkan rencana-rencana yang disusun sebelum kemunculan pandemi. Proses pembahasan RUU bahkan terlihat cenderung tak memedulikan situasi krisis akibat pandemi. Pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) justru dikebut seiring dengan terus meningkatnya jumlah rakyat yang tertular virus corona.

Padahal RUU ini merupakan agenda yang direncanakan sebelum masa pandemi dan tidak dirancang sebagai kebijakan yang khusus untuk mengatasi efek pandemi. Demikian halnya dengan RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Bea Meterai, RUU Minerba yang berhasil disahkan DPR selama masa pandemi ini. Bahwa DPR bisa menyelesaikan RUU-RUU Prioritas tersebut tetap perlu kita apresiasi.

Akan tetapi menomorduakan upaya penanganan pandemi demi menyelesaikan RUU-RUU ini tentu bukan sesuatu yang pantas. Keselamatan rakyat harusnya menjadi yang pertama dan utama bagi DPR, karena demi kepentingan itulah mereka dipilih rakyat pada saat Pemilu.

Kegagalan memberikan sumbangsih pada upaya penanganan pandemi juga bisa dilihat dalam pelaksanaan fungsi pokok DPR yang lain yakni fungsi anggaran dan pengawasan. Peran DPR dalam membahas anggaran mestinya terlihat pada upaya DPR menginisiasi peruntukkan anggaran negara untuk kepentingan menangani pandemi.

Faktanya, Presiden yang berinisiatif mengeluarkan Perppu untuk memastikan anggaran bagi penanganan pandemi bisa tertangani. Ketika Perppu Nomor 1 tahun 2020 dikeluarkan Pemerintah, respons DPR justru mempersoalkan klausul dalam Perppu yang dianggap mengabaikan atau bahkan menggerogoti peran mereka. Ini menunjukkan bagaimana sikap DPR di hadapan situasi krisis yang lebih peduli soal kekuasaan mereka sendiri ketimbang misi untuk menyelamatkan situasi krisis itu sendiri.

Parahnya, keberatan yang diperlihatkan DPR di awal kemunculan Perppu itu ternyata tak sangat serius juga karena pada akhirnya Perppu tersebut dengan mulus diterima DPR menjadi UU.

Fungsi pokok terakhir yang mestinya menjadi keutamaan DPR adalah pengawasan. Dengan fungsi pengawasan, DPR bisa memberikan sumbangsih bagi terlaksananya kebijakan pemerintah secara cepat dan tepat dalam masa pandemi ini. Banyak kebijakan yang diluncurkan pemerintah untuk penanganan pandemi, tetapi sejauh ini hasilnya tak berdampak efektif bagi penurunan angka penularan Covid 19.

Sebaliknya dari hari ke hari kita melihat trend penambahan kasus penularan baru. Artinya dampak kebijakan yang diambil pemerintah sebelumnya belum berhasil untuk menekan laju penambahan kasus baru.

Jika fungsi pengawasan DPR berjalan efektif, maka akan segera terlihat kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah di lapangan. DPR harus menjadi yang pertama menyampaikan ke pemerintah apa yang terjadi dan bagaimana seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang efektif demi mencapai tujuan mengatasi pandemi.

Dengan demikian pembentukan dua tim khusus DPR (Tim Satuan Tugas Lawan Covid 19 dan Tim Pengawas DPR RI terhadap Pelaksanaan Penanganan Bencana Pandemi Covid-19) untuk penanganan Covid 19 nampak sia-sia karena hasil kerjanya tidak punya pengaruh (atau bahkan tak ada) dalam rangka menangani pandemi.

Maka bisa disimpulkan bahwa ketiga fungsi pokok yang menjadikan DPR punya peran krusial dalam kehidupan berbangsa kita cenderung gagal dalam memberikan sumbangan bagi penanganan pandemi yang masih berlangsung hingga saat ini. Posisi

 DPR sebagai lembaga tinggi negara dengan fungsi utama sebagai representasi rakyat juga nyaris tak berpengaruh dalam menentukan arah kehidupan berbangsa. Semua kendali utama kebijakan untuk memastikan keselamatan warga negara di hadapan pandemi ada pada pemerintah.

DPR terlihat hanya pengikut, bukan lembaga yang menentukan dengan peran menjadi penyeimbang pemerintah. Satu contoh penting lain untuk menunjukkan betapa DPR cenderung tak berdaya di hadapan pemerintah ketika mereka juga mendukung pelaksanaan Pilkada dilanjutkan pada 9 Desember nanti. Keputusan DPR ini melawan masukan berbagai pihak yang menginginkan penundaan pilkada demi mencegah potensi penularan baru virus Covid 19. Sebagai wakil rakyat, DPR enggan membawa suara penolakan warga atas pelaksanaan Pilkada dan memilih untuk mendukung keinginan pemerintah.

Jika DPR terus dengan posisinya sebagai “pendukung setia” pemerintah, maka sulit berharap bahwa aspirasi rakyat masih relevan untuk disampaikan melalui DPR. Dengan kata lain peran DPR sebagai perwakilan rakyat sudah terkooptasi oleh kepentingan politik DPR sendiri.

Ketika DPR tidak lagi mengemban amanat sebagai wakil rakyat, maka rakyat harus berjuang sendiri misalnya berjuang menurunkan kenaikan iuran BPJS ke pengadilan sendiri dan menang. DPR justru tidak berdaya bahkan untuk kedua kali BPJS dinaikkan untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan tak justru mencelakakan rakyat.

“Ujian pertama akan segera datang ketika DPR dan Pemerintah berkompromi diam-diam untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja, rakyat harus segera bertindak menentangnya karena apa yang diputuskan di sana tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Masih ada 4 tahun tersisa sebelum akhir periode, DPR masih punya waktu untuk membuktikan seberapa mereka jujur sebagai wakil rakyat,” pungkas FORMAPPI. (asr)