Mutiara Kebijaksanaan Hadapi Cakramanggilingan

ISWAHYUDI

Setiap bangsa mempunyai kebijaksanaan unik tentang waktu. Orang Arab mengatakan bahwa waktu  ibarat  pedang, jika engkau tidak  menebasnya  maka ia yang akan menebasmu. Orang Inggris mengatakan bahwa waktu adalah uang. 

Penulis Skotlandia, Samuel Smiles pernah mengatakan bahwa kerugian materi dapat digantikan dengan industri, kerugian pengetahuan dengan belajar, kehilangan kesehatan dengan kendali diri sendiri atau obat-obatan, namun waktu yang kita lewati akan hilang selamanya. 

Di India waktu dipersonifikasikan sebagai Dewa tersendiri yaitu Batara Kala (Dewa yang menguasai waktu) yang akan melumat apa saja dan siapa saja di semesta ini, karena pada kenyataannya segala apa yang ada di atas dunia ada jatah waktu, umur, yang sudah ditakdirkan. 

Sang Waktu memberikan kesempatan kepada suatu bangsa untuk menciptakan kegemilangan ataupun pula kehancurannya. Sang Waktu memberikan kesempatan kepada seseorang untuk membuat maha karya yang dikenang sepanjang masa, pun juga bisa membuat seseorang membiarkan begitu saja berlalu hingga tak berbuat apa-apa.

Orang Jawa mempunyai perspektif dan filosofi tersendiri tentang waktu yang dikenal dengan filosofi Cakramanggilingan. Sebenarnya filosofi ini merupakan cara pandang yang tidak linier dari leluhur Jawa tentang gerak sejarah, yang mana dari perspektif disiplin  ilmu  sejarah  terbagi  dalam  tiga  teori gerak  sejarah  yaitu  linier1   (maju),  regres2 (mundur) dan siklus3 (melingkar). 

Cakramanggilingan ini didasarkan pada teori ketiga yaitu siklus. Secara etimologi kata cakra selain berarti “roda” atau “lingkaran” (Bahasa Sansekerta) juga antara lain bermakna: sebentuk lempengan bulat bergerigi dan tajam yang menjadi senjata tokoh “Sri Batara Kresna”. 

Manggilingan berarti: Menggelinding. Yaitu falsafah hidup tentang siklus kehidu- pan, perputaran masa dalam skala mikro dan makro, dan juga peralihan nasib manusia serta dinamika situasi zaman. Dengan kata lain suatu filosofi berkaitan tentang perubahan zaman dan bagaimana menyikapinya. 

Dari perpektif ini memunculkan sebuah kesimpulan bahwa sejarah selalu berulang walaupun lakon, pemain, latar, dan waktunya berbeda- beda tapi pesan, pelajaran dan esesnsi suatu peristiwanya selalu berulang. Yang akhirnya memberikan pelajaran berharga bagi manusia “Janganlah jatuh pada lubang yang sama!” 

Dalam Filosofi Cakramanggilingan, kehidupan manusia mengalami 3 dunia (alam) yaitu Alam Purwa (alam sebelum kelahiran), Alam Madya (alam sesudah lahir di dunia), Alam Wusana (alam sesudah kematian/alam keabadian). 

Beberapa filsafat barat tidak memandang penting untuk membahas alam Purwa dan Wusana sebagai objek analisis karena dianggap metafisik dan tak bermakna, tapi bagi Filosof Jawa merupakan hal yang penting. Malah mempunyai pandangan yang sebaliknya, bahwasanya alam madya dianggap alam maya. Sedang alam yang sejati adalah alam Purwa dan Wusana yang dipandang oleh manusia Jawa sebagai sangkan paraning dumadi. 

Dari perspektif ini kalau alam dunia sekarang dianggap sebagai alam maya, sementara saat ini ada jagat internet yang juga disebut dunia maya. Bukankah berarti dunia internet adalah alam mayanya maya? Alias alam bayangannya bayangan? Tapi anehnya kini seolah-olah sangat nyata.

Masih dalam kerangka berfikir Cakramanggillingan, RM Ronggowarsito membagi siklus peradaban di alam Madya (dunia) menjadi tiga zaman yang siklusnya selalu berulang yaitu Kalatida, Kalabendu, Kalasubo. Kalatida sebuah zaman dimana penuh egoisme, setiap orang mengejar kesenangannya sendiri, akal sehat diremehkan. 

Perbedaan antara yang benar dan yang salah, adil dan tidak adil, baik dan buruk tidak lagi digubris. Zaman Kalabendu (zaman Edan): Zaman yang tampaknya stabil namun dalam ketidaksadaran. Ketidakadilan justru didewakan demi kenyamanan sebagian orang. Kemewahan dipertontonkan sementara jeritan yang lemah dan tertindas tidak dihiraukan. 

Penjahat dipandang sebagai pahlawan, sementara orang yang jujur malah ditertawakan dan disingkirkan. Tata nilai dan tata kebenaran dijungkirbalikkan. Yang terakhir, Zaman kalasubo yaitu zaman penuh stabilitas dan kemakmuran. Muncul seorang tokoh yang akan hadir sebagai penyelamat, ratu adil, yang didukung oleh orang-orang yang selalu eling dan waspada.

Secara  mikro  atau personal,  manusia Jawa selalu mengalami sebuah siklus yang digambarkan dalam tembang-tembang Jawa Macapat yang menggambarkan perjalanan manusia dari kandungan ibu hingga meninggal. 

Ada 11 macam tembang macapat yang masing-masing menggambarkan siklus perjalan hidup manusia; 

(1) Maskumambang (emas yang terapung) yaitu siklus kehidupan manusia ketika dalam kandungan ibunya. Pada fase ini  sosok bayi dipandang sebagai sosok murni seperti emas yang melayang-layang di air ketuban rahim ibunya. 

(2) Mijil, yaitu fase di mana seorang bayi dilahirkan ke dunia. 

(3) Sinom: Masa kanak-kanak sampai remaja,

(4) Kinanthi: masa di mana seorang remaja dituntun, dilatih, dan dididik cara hidup yang baik dan benar. 

(5) Asmarandana, yaitu masa di mana mulai timbul rasa suka dengan lawan jenis yang merupakan kodrat manusia. 

(6) Gambuh: masa dimana ketika sudah cocok dengan yang dicintai dan ber- lanjut dalam jenjang perkawinan. 

(7) Dhandanggulo: fase ketika cita-cita tercapai dan kebahagian  yang  dicita-citakan  terwujud.

(8) Durmo: Fase di mana seseorang merasa berkecukupan hidupnya dan muncul rasa belas kasih kepada sesamanya, sehingga muncul rasa ingin memberi alias berderma.

(9) Pangkur: masa seseorang mempunyai tekad  untuk  menyingkirkan  hawa   nafsu,

(10) Megatruh: fase ketika seseorang mem- persiapkan diri menghadap Tuhan. (11) Pu- cung: saat di mana ruh terlepas dari badan siap dimakamkan dengan selembar kain kafan dan amal baik yang telah dilakukan di dunia.

Menaklukkan Cakramanggilingan

Pengetahuan dan kesadaran dalam  alam berfikir Jawa tentang siklus kehidupan yang terjadi pada level makro (peradaban) atau pada level mikro (individu), telah melahirkan berbagai kebijaksanaan, prinsip hidup, dan filosof dari para pujangga, filosof atau tokoh-tokoh masa lalu yang intinya bagaimana manusia Jawa bisa menaklukkan Cakramanggilingan. 

Berikut beberapa mutiara kebijaksanaan;

I.Filosofi Triwikrama

Secara etimologi Tri artinya tiga, sedangkan krama artinya patrap atau keadaan tubuh. Dalam mitologi Mahabarata, triwikrama adalah sejenis kesaktian untuk mengubah bentuk untuk tujuan tertentu. 

Berkaitan dengan Cakramanggilingan ini adalah sejenis pandangan hidup untuk bisa menguasai/atau menaklukkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Bagi seorang manusia bagaimana ini dilakukan? Tidak lain adalah harus berbuat kebajikan atau selalu menanamkan benih atas hal positif dalam setiap masa. 

Karena landasan dalam filosofi ini ada dua hal 

(1) Yang dirasakan sekarang oleh seseorang, suatu masyarakat, suatu bangsa, bahkan sebuah peradaban adalah buah dari apa yang dilakukan di masa lalu. 

(2) Yang dilakukan oleh seseorang, suatu masyarakat, suatu bangsa, bahkan sebuah peradaban akan dituai hasilnya di masa depan.

II. Filosofi Sangkan Paraning Dumadi

Kehidupan manusia diciptakan oleh Tuhan dan akan kembali menghadap Tuhan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Kehidupan manusia di dunia fana ini diibaratkan dengan ungkapan prasasat urip iku koyo wong mampir ngombe (hidup bagaikan berhenti sejenak untuk minum seteguk air), yang menunjukkan betapa singkatnya  waktu  manusia hidup di dunia dibandingkan hidup di alam keabadian. 

Sudah sepantasnya jika dalam kehidupan yang singkat ini manusia senantiasa mengisinya dengan perbuatan- perbuatan yang mulia dan terpuji. Hal ini dikarenakan apa yang manusia perbuat akan menanggung sendiri apa yang telah dilakukan dalam kehidupannya atau yang sering dikatakan sebagai ngunduh wohing pakarti (menuai buah perbuatan).

III.Filosofi Memayu Hayuning Bawana

Manusia diturunkan di dunia mengemban misi dari Tuhan untuk menjadi wakil- Nya di muka bumi agar memakmurkan bumi-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, hukum-hukum-Nya dan aturan-aturan- Nya. 

Manusia Jawa menyebut misi ini dengan kalimat Memayu Hayuning Bawana, yang berarti Memperindah keindahan dunia, memberi arti dari hidup dan kehidupan. Bagaimana misi ini bisa dilakukan yaitu dengan dua cara 

(1) Menanamkan kebaikan untuk mendapatkan hasil yang baik, 

(2) Mengendapkan nafsu agar lebih terkendali.

IV. Filosofi ilmu bahagia ala Ki Ageng Suryomentaraman4

Untuk menaklukkan Cakramanggilingan, Ki Ageng Suryomentaraman mempunyai kebijaksanan bahwa walaupun apa yang terjadi, seseorang atau sebuah peradaban pun tidak boleh lupa tentang bahagia. Hari ini banyak orang dan mayoritas negara di dunia mengejar pertumbuhan dan kekayaan ekonomi, tapi sangat lupa untuk bahagia. Indeks kebahagiaan sering dino- mersekiankan, padahal itu sejatinya yang paling penting. 

Ki Ageng Suryomentaraman mempunyai formula filosofis tentang bagaimana hidup bahagia yaitu hidup secara tidak berlebih-lebihan dan juga tidak berkekurangan, yang dirumuskan menjadi NEMSA (6-SA): Sakepenake (senyamannya), Sabutuhe (sesuai kebutuhan), Saper- lune (seperlunya), Sacukupe (secukupnya), Samesthine (semestinya), Sabenere (sesungguhnya, realistis). Untuk sampai pada itu semua, maka Ki Ageng menawarkan rumusan kawruh jiwa, metode mengetahui diri sendiri. Jika kita sebagai manusia mengetahui diri sendiri, memahami dirinya sendiri secara jujur, maka kita akan mengerti orang lain, dan akan paham lingkungannya. Jika sudah demikian, kita akan menjadi orang yang bahagia.

Sumber ketidakbahagiaan menurut Ki Ageng Suryomentaram adalah keinginan. Wujud keinginan itu ada semat, drajat dan kramat. Semat itu kekayaan, kesenangan, kecantikan, kegantengan, biasanya sifatnya fisik. 

Sementara drajat, bisa berupa keluhuran, kemuliaan, keutamaan,  status sosial. Dan kramat adalah kekuasaan, kedudukan, pangkat. Tidak dilarang mengejar ketiganya asal jangan mati-matian. Seseorang perlu memahami filosofi Mulurlan mungkret, yang artinya bahagia dan susah sifatnya sementara.

Selanjutnya Ki Ageng merumuskan 4 rasa yang menyebabkan seseorang terperosok dalam neraka dunia; Pertama, rasa iri. Jika rasa ini muncul, setiap hari akan seperti neraka. Setiap hari kita akan memikirkan bagaimana mengungguli orang lain. Kedua, rasa sombong. Merasa menang terhadap orang lain. 

Orang yang sombong juga neraka bagi dirinya sendiri. Merasa lebih baik, merasa lebih utama, dibandingkan dengan orang lain. Ketiga, Rasa kecewa. Takut akan pengalaman yang sudah dialami. Orang yang selalu meratapi masa lalu tidak akan bahagia. 

Keempat, Rasa khawatir. Mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi di masa yang akan datang juga menyebabkan seseorang berada dalam kesusahan bahkan sebelum sesuatu itu terjadi.

Catatan:

1)Linier/maju;  sejarah  itu  bersifat  linier menuju ke tahap yang lebih maju, meninggalkan tahapan sebelumnya baik secara evolutif maupun revolutif. Ide kelinieran sejarah diungkapkan oleh Francis Bacon, Auguste Comte, dan Hegel.

2)Regres/Mundur: Gerak sejarah tidak selalu maju, terkadang di tengah gerak maju itu ada proses kemunduran. Di tengah kemajuan ada kemunduran. Misalnya peradaban moderen sekarang boleh jadi secara kuantitaf maju, tapi secara kualitatif mengalami kemunduran misalnya dalam hal moral, spiritual, solidaritas, lingkungan hidup dan lain-lain. Pendukung teori ini adalah Goethe, George Bernard Shaw, Fritjof Capra, Sayyed Hussein Nasr. Menurut teori ini era terbaik adalah masa lalu

3)Siklus/Melingkar: Sejarah bergerak secara siklus/berputar. Tidak ada peradaban yang terus di atas atau terus di bawah. Sejarah adalah proses sejarah yang selalu dipergilirkan. Pendukung teori ini adalah Giambattista Vico, Ibnu Khaldun, Spengler, Arnold Toynbee.

4)Ki Ageng Suryomentaram (lahir 20 Mei 1892 -18 Maret 1962 pada umur 69 tahun) mempunyai kisah yang hampir mirip dengan Pangeran Sidharta dari Kapilawastu, tapi ini terjadi pada abad 20. Merupakan putra ke-55 dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan Bendoro Raden Ayu Retnomandojo. Ia meninggalkan Istana, gelar kebangsawanan, pergi bertapa dan mengembara sebagai rakyat jelata demi mendapatkan pencerahan hidup. Akhirnya beliau menjadi sosok guru suatu disiplin spiritual Kawruh Begja yang berarti ilmu bahagia. Penganutnya cukup banyak dan terkenal di seluruh Jawa, meskipun tanpa ada organisasi atau propaganda seperti yang dilakukan oleh aliran-aliran yang lain.