Gelombang Epidemi Kedua di India Tidak Unik, Tetapi Adalah Masalah Negara

Venus Uphadayaya

Meskipun gelombang kedua COVID-19 saat ini tidaklah unik bagi India, negara Asia Selatan menghadirkan serangkaian masalah unik yang  memperburuk gelombang penyakit tersebut, menurut seorang ahli kebijakan perawatan kesehatan global yang telah menulis buku mengenai pandemi tersebut. Sementara itu, para ahli memperingatkan bahwa gelombang ketiga COVID-19 tidak dapat dihindari di India.

Joe Chalil, penulis buku berjudul Beyond the COVID-19 Pandemic: Envisioning a Better World by Transforming the Future of Healthcare, kepada The Epoch Times mengatakan, gelombang kedua epidemi terjadi di seluruh dunia. Seperti gelombang pertama di India sempat tertunda beberapa bulan, menurut dia gelombang kedua juga tertunda selama beberapa bulan, tetapi terjadi lebih cepat. 

Tetapi adalah sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat, yang terjadi di Inggris dan Eropa, Prancis, Italia di mana-mana. Jadi ini bukanlah hal baru. Ini diperkirakan akan terjadi. Dan tidak diyakini ini adalah gelombang terakhir.” 

Gelombang kedua telah terjadi beberapa bulan yang lalu di New York dan Miami, dan “seperti yang kita bicarakan” terjadi di tempat-tempat lain di dunia seperti Brasil, tambah Chalil. 

Brasil, sebuah negara berpenduduk hanya 214 juta orang, mengalami lonjakan gelombang kedua hampir sebulan lebih cepat dari India dan mencatat 414.645 kematian pada 6 Mei.  Sementara India menyaksikan lonjakan sehari paling mematikan dari pemecahan rekor yaitu  412.262 kasus infeksi pada 6 Mei. Sedangkan jumlah kematian total pada hari yang sama adalah  230.168 kematian. 

“Masalah-masalah di India mungkin sedikit unik karena populasi yang lebih besar.” kata Chalil, seorang India-Amerika Serikat yang berbasis di Florida.

Chalil setuju bahwa melihat ke belakang adalah 20/20. Persiapan-persiapan seharusnya membantu India. Tetapi mereka tidak melakukan mempersiapkan. Mereka menganggap enteng.” Namun, rasio kematian kasus kematian per 100.000 penduduk India lebih rendah dari Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko.

“Mereka mempercayai beberapa publikasi yang masuk jurnal internasional bahwa alasan mengapa gelombang pertama tidak seburuk itu di India; mereka berupaya mencari alasan untuk itu, berbicara mengenai kekebalan orang-orang India, dan vaksinasi BCG dan profilaksis malaria — semua itu banyak hal,” kata Chalil.

BCG adalah vaksin melawan tuberkulosis, yang digunakan India dalam upaya vaksinasi untuk memberantas penyakit tersebut. Profilaksis malaria melibatkan perlindungan terhadap COVID-19 dengan pemberian sebuah obat yang banyak digunakan untuk membasmi malaria, yang dulu memiliki angka kematian yang tinggi di India.

Setelah pandemi dimulai tahun lalu, sebuah studi oleh Dewan Penelitian Media India mengindikasikan bahwa vaksin BCG yang telah digunakan selama satu abad, dapat membantu orang usia lanjut melawan COVID-19, menurut Times of India.

Chalil mengatakan bahwa setelah gelombang pertama mereda, cenderung sebagian administrator akan menjadi santai dalam persiapannya.

“Tetapi tidak ada alasan untuk tidak menyimpan di peralatan pelindung diri, tidak memiliki cukup oksigen atau obat-obatan, karena hal ini sudah diprediksi akan terjadi,” ujarnya. Namun, situasinya begitu rumit di mana satu faktor tertentu tidak dapat disalahkan.

“Karena bayangkan saja, seperti sebuah kota metropolitan di Amerika Serikat seperti New York, di mana menghabiskan setidaknya 11.000 dolar AS per orang, setiap tahun untuk  biaya perawatan kesehatan. Ya, kami kehabisan ventilator. Kami tidak punya cukup tempat tidur ICU yang tersedia. Kami memiliki pasien-pasien yang sekarat di panti jompo sana sini. Kami memulangkan pasien-pasien COVID-19 ke panti jompo dari rumah sakit,” kata Chalil.

Ia mencatat keputusan-keputusan  New York dan negara-negara bagian lain, untuk meminta panti-panti jompo untuk menerima pasien-pasien yang positif COVID-19 yang telah keluar dari rumah sakit.

Secara historis, gelombang kedua adalah lebih mematikan daripada gelombang pertama, dan tidak ada yang  dipersiapkan untuk itu, menurut Chalil, yang merupakan Ketua Kompleks Dewan Penasihat Sistem Kesehatan, Sekolah Tinggi Bisnis dan Kewirausahaan di Universitas Nova Tenggara di Florida, dan anggota Dewan Pimpinan Eksekutif Kedokteran Allopathic Sekolah Tinggi Dr. Kiran C. Patel.

“Ini seperti sebuah perang dunia. Jadi anda tahu, anda tidak tahu bagaimana hasilnya, apakah itu akan menjadi ringan atau keras, tetapi saya percaya Menteri Kesehatan India harus bertanggung jawab atas kurangnya tindakan,” kata Chalil. 

‘Peringatan’ Adanya Gelombang ke-3 

Sementara beberapa negara telah dilanda sebuah gelombang keempat, minggu ini media India kekenyangan dengan cerita-cerita mengenai apa arti sebuah gelombang ketiga yang tidak terhindarkan bagi India. 

Chalil mengatakan masalahnya bukan mengenai sebuah gelombang baru yang menghantam India, melainkan jika vaksin-vaksin yang tersedia saat ini akan bekerja melawan mutasi-mutasi baru yang menentukan setiap gelombang baru.

“Di atas gelombang kedua, versus gelombang ketiga yang datang beberapa bulan kemudian, ini adalah sebuah peringatan untuk setiap negara! Bagaimana jika virus tersebut bermutasi, dan vaksin yang kita miliki saat ini — orang-orang yang memakai vaksin Pfizer dan vaksin-vaksin lainnya dan vaksin Sputnik atau vaksin Tiongkok? Bagaimana jika vaksin tersebut tidak berhasil?” kata Chalil, yang merupakan seorang ahli perawatan kesehatan di Amerika Serikat.

Di tengah-tengah spekulasi mengenai lockdown nasional lainnya di India, Chalil mengatakan pengalaman tahun lalu dengan lockdown adalah tidak baik, dan malahan India seharusnya fokus untuk mengendalikan hotspot-hotspot pandemi.

“Saya akan menganjurkan apa yang dilakukan Inggris — membuat hotspot-hotspot, mengendalikan hotspot-hotspot tersebut selama beberapa minggu sampai situasi saat ini mereda karena gelombang kedua pandemi akan berlangsung selama beberapa minggu ke depan, dan mungkin pada akhir bulan Mei, seharusnya gelombang kedua pandemi sudah berakhir,” kata Chalil.

“Anda akan melihat semakin sedikit kasus. Tetapi jika anda menutup seluruh negara, maka tindakan tersebut tidak akan membuat gelombang kedua lebih cepat berakhir, tetapi satu-satunya perbedaan adalah bahwa hal tersebut akan mematikan perekonomian India. Dan, hal tersebut akan berdampak jangka panjang pada kelaparan, mati kelaparan dan peningkatan semangat orang-orang miskin dalam beberapa dekade mendatang.”

Undang-Undang Obat dan Kosmetik India tahun 1940

Sebuah undang-undang era kolonial yang berusia 71 tahun yang disebut Undang-Undang Obat dan Kosmetik tahun 1940, masih berfungsi di India dan India harus melakukan modernisasi hukum tersebut untuk “memberikan persetujuan bersyarat segera untuk obat-obat dan vaksin-vaksin COVID-19,” kata Chalil.

“India masih berpegang teguh pada hukum tersebut. Jika saya ingin mengekspor obat-obatan penyelamat hidup ke India, ada tujuh formulir yang harus diisi dan saya harus memiliki sebuah izin impor ke gudang dan fasilitas-fasilitas rantai dingin. Ini semua adalah aturan-aturan buatan Inggris.” Chalil menambahkan, proses impor obat semacam itu dapat memakan waktu “berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun.”

“Jadi, ada beberapa terapi baru yang tersedia di seluruh dunia. … Ada begitu banyak penelitian fase tiga menunjukkan 70 persen penurunan angka kematian, 70 persen atau lebih mendapat manfaat dari kelangsungan hidup tanpa ventilator.”

Sedangkan infeksi-infeksi COVID-19, memicu respons sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai sebuah badai sitokin, atau peradangan yang tidak terkendali yang dapat menyebabkan kematian, ada molekul-molekul kecil seperti penghambat interleukin-6 (IL-6) yang dibuat

di Amerika Serikat dan dapat mengurangi keparahan penyakit serta membantu seorang pasien bertahan hidup, kata Chalil.

Administrasi Makanan dan Obat Amerika Serikat, telah menyetujui dua obat penghambat IL-6 untuk menatalaksana pasien-pasien yang menderita peradangan sistemik, menurut sebuah rilis resmi. Chalil mengatakan, ada beberapa obat lain yang diperlihatkan “efektif dalam mengurangi kematian dan kelangsungan hidup tanpa ventilator.”

“Obat-obat antivirus dan obat anti-peradangan dari beberapa produsen seperti Pfizer, GSK, dan Regeneron, sedang menyelesaikan penelitian-penelitian yang penting. India harus mendorong pembuatan semua obat ini di dalam negerinya dan atau mengimpor kebutuhan yang mendesak,” kata Chalil. 

“Biarkan obat-obat ini masuk ke India, berikan persetujuan bersyarat kepada India, dan mari selamatkan nyawa sekarang.”

Selama gelombang kedua yang mematikan, India telah mengalami sebuah krisis oksigen yang parah. Dikarenakan, rusaknya rantai pasokan, memaksa orang-orang untuk mengais tabung-tabung oksigen.

 Chalil berkata, bahwa India harus membuat rencana yang lebih baik, dan setiap rumah sakit diharuskan memiliki sebuah pabrik pemisahan oksigen atmosfer.

Chalil mengatakan “memberi tabung-tabung oksigen bukanlah solusi” dan bahwa India harus merencanakan sebuah manfaat jangka panjang dari perubahan pada sistem kesehatan India. Tentunya, dengan cara  mengatasi “nexus” yang mencegah hal itu terjadi.

“Jika seluruh dunia dapat melakukannya, mengapa India tidak?” Chalil  berkata.

Chalil mengatakan, orang-orang India harus berhati-hati dan harus memakai maskernya. 

Sebuah penelitian dilakukan oleh The Times of India awal bulan lalu, tepat sebelum gelombang kedua menunjukkan bahwa separuh orang India tidak memakai masker dan separuh orang India  lainnya salah memakai masker.

“Berhati-hatilah dengan cara orang-orang India memakai masker, karena mereka tidak bermaksud mengambil risiko, mereka percaya bahwa mereka lebih muda dan bahwa orang-orang yang menyebarkan penyakit. Jika mereka tidak harus keluar jika dapat bekerja dari rumah, tolong lakukan,” kata Chalil. (Vv)