Upah yang Rendah, Bekerja Berlebihan, Disalahgunakan : Derita Migran Tiongkok yang Bekerja di Belt Road Initiative Rezim Tiongkok

Dorothy Li

Para migran Tiongkok mendaftar bekerja untuk Inisiatif Sabuk dan Jalan Partai Komunis Tiongkok dengan harapan mendapatkan upah yang layak dan mengirimkan dukungan kepada keluarganya di Tiongkok. Sebaliknya, mereka terdampar di beberapa negara akibat pandemi COVID-19 dan menjadi sasaran sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang mustahil mendapat pertolongan di depan mata.

Menurut sebuah laporan dari China Labour Watch yang berbasis di New York, perusahaan milik negara Tiongkok di luar negeri, membatasi kemampuan para pekerja migran Tiongkok untuk melakukan perjalanan selama pandemi dan menolak perawatan medis bagi mereka. 

Penerbangan adalah sulit didapat dan sangat mahal karena rezim Tiongkok, membatasi penerbangan-penerbangan internasional yang masuk ke Tiongkok dan para pekerja migran tersebut  diancam jika mereka berupaya untuk pergi.

Sebuah Kisah Korban

China Labour Watch melakukan beberapa wawancara dengan para pekerja Tiongkok, yang bekerja di berbagai proyek-proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan di luar negeri. Seorang pekerja di sebuah pembangkit listrik berbahan bakar serpih minyak di Yordania mengatakan, mereka tidak diberi alat pelindung diri apa pun ketika virus Komunis Tiongkok (COVID-19) merebak. 

Menurut seorang pekerja, yang dikenal sebagai “Korban A” dalam laporan tersebut, hanya setelah sebuah pemeriksaan oleh para petugas pemerintah Yordania, mereka diberi sebuah masker setiap minggu.

Selama berminggu-minggu setelah proyek tersebut berakhir pada bulan April 2020, Korban A dan pekerja lainnya pergi ke Kedutaan Besar Tiongkok di Yordania untuk memprotes dan menuntut hak mereka untuk kembali ke Tiongkok. 

Polisi Tiongkok menghubungi keluarga Korban A dan memperingatkan jika Korban A terus-menerus melakukan protes, maka nama Korban A akan “dimasukkan dalam sebuah daftar hitam dan tidak akan pernah diizinkan untuk memasuki Tiongkok lagi.”

Meskipun demikian, Korban A tidak mempunyai pilihan lain selain bertahan. Ia ditinggalkan tanpa penghasilan atau tabungan setelah hanya dibayar untuk enam hari pertama ia bekerja, meskipun ia sudah bekerja selama lima bulan. 

Korban A dan pekerja lainnya, memohon dengan sangat kepada staf kelas atas Tiongkok di kantor proyek tersebut untuk membantu mereka kembali ke Tiongkok, tetapi staf tersebut menanggapi dengan memberi peringatan-peringatan bahwa mereka akan ditangkap. Dikarenakan tidak adanya visa kerja, dan meminta penjaga keamanan setempat mengusir mereka dari tempat itu.

Setelah empat bulan berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Tiongkok, para pekerja migran tersebut akhirnya naik sebuah penerbangan charter dan kembali ke Tiongkok pada pertengahan bulan Agustus. Tetapi, lebih dari 300 pekerja migran Tiongkok, masih terdampar di tempat kerja yang sama yaitu di  pembangkit listrik Attarat saat mereka pergi.

Karena takut akan pembalasan, Korban A menceritakan kisahnya tanpa menyebut nama. Laporan China Labour Watch itu berisi 22 pengalaman pekerja Tiongkok di proyek-proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan di Indonesia, Aljazair, Singapura, Yordania, Pakistan, Serbia, dan negara-negara lainnya. Kebanyakan dari mereka menyembunyikan identitasnya.

Gagasan Inisiatif Sabuk dan Jalan 

Proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan yang merupakan andalan Partai Komunis Tiongkok, adalah sebuah skema infrastruktur yang bernilai multi triliun dolar yang berupaya meningkatkan pengaruh Partai Komunis Tiongkok melalui hubungan-hubungan perdagangan global. Itu sekaligus menghasilkan pendapatan bagi Tiongkok, melalui sebuah mekanisme keuangan yang berinvestasi dalam pembangunan berbasis infrastruktur. 

Pertama kali diumumkan pada tahun 2013, gagasan Inisiatif Sabuk dan Jalan akhirnya membuat Partai Komunis Tiongkok mengamankan 205  perjanjian kerjasama yang ditandatangani dengan 140 negara dan 31 organisasi internasional per 20 Januari 2021.

Semua proyek Inisiatif Sabuk dan Jalan dibiayai melalui pemberi pinjaman yang dikendalikan negara Tiongkok.

Misalnya, pembangkit listrik berbahan bakar serpih minyak senilai USD 2,1 miliar di Yordania didukung oleh sebuah utang sebesar USD 1,6 milyar dengan Bank of China dan Bank Industri dan Komersial Tiongkok. 

Tujuh puluh persen dari peralatan diimpor dari Tiongkok, senilai lebih dari USD 540 juta. Guangdong Power Engineering Corp. Tiongkok memimpin teknik, pengadaan, dan pembangunan pembangkit listrik tersebut di bawah sebuah kontrak di mana pembayaran oleh developer atau pemilik proyek, terhadap kontraktor sebagai pelaksana pada saat pekerjaan telah selesai seluruhnya atau pada saat proyek serah terima dari pelaksana ke pemilik.

Para Buruh Tiongkok Mengalami Pelanggaran-Pelanggaran yang Sama

Pengalaman Korban A di Yordania adalah tidak berbeda dengan cerita yang dijelaskan oleh beberapa pekerja migran Tiongkok lainnya di proyek-proyek Partai Komunis Tiongkok. Mereka biasanya memasuki sebuah negara dengan visa turis atau bisnis, dan paspor mereka segera disita pada saat kedatangan. Kompleks tempat mereka bekerja dan tinggal, umumnya berada sebuah lapangan terpencil, dan mereka dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang sangat lama.

Korban A diperkenalkan ke pekerjaan itu oleh seorang teman ayahnya. Terpikat oleh gaji yang bagus dan kontrak yang adil, ia pergi ke Yordania pada Desember 2019.

Paspor Korban A segera diambil setelah ia turun dari pesawat, dan ia diberitahu bahwa tidak ada kontrak. Jika Korban A ingin pergi, ia harus membayar denda sebesar USD 1.240 ditambah sebuah tiket yang mahal, untuk penerbangan pulang ke Tiongkok. Karena tidak mampu membayar denda, ia bertahan dengan majikan yang menipunya.

Tidak ada pekerja yang menerima perawatan medis yang layak karena cedera. Menurut laporan tersebut, seorang pekerja meninggal di asrama tanpa perawatan setelah terinfeksi virus Komunis Tiongkok (COVID-19). Jenazahnya baru ditemukan dua hari setelah kematiannya. 

Sebagian besar pekerja migran itu tidak menerima gaji yang dijanjikan, dan beberapa pekerja migran tidak mampu membayar biaya hidup selama bekerja. Beberapa pekerja migran mengatakan mereka ditahan dan dipukuli oleh para petugas keamanan jika mereka bertengkar dengan pihak manajemen atau berupaya menyerang.

Oleh karena itu, tidak banyak pekerja migran yang mencari bantuan.

Takut Pembalasan

Para pekerja migran enggan menceritakan pengalamannya kepada China Labour Watch, karena takut akan pengawasan yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok terhadap telepon seluler mereka.

Laporan itu mengungkapkan bahwa, saat salah seorang pekerja migran yang memasuki Indonesia melalui bea cukai Tiongkok, inspektur bea cukai Tiongkok menghentikan langkahnya dan memeriksa WeChat miliknya — aplikasi media sosial multiguna terpopuler di Tiongkok.

“Inspektur bea cukai itu adalah waspada untuk menanyakan terlalu banyak pertanyaan mengenai situasi para  pekerja lainnya di grup WeChat, dan ia juga berhati-hati akan terlalu banyaknya keluhan karena ia tidak tahu siapa yang sedang membaca pesan-pesan grup obrolan ,” kata laporan itu.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa mereka dapat “dituduh dan dicurigai ‘melanggar hukum-hukum nasional dan membahayakan keamanan nasional Rakyat Republik Tiongkok,” sebuah tuduhan yang khas untuk para pembangkang di Tiongkok.

Menurut Kementerian Perdagangan Tiongkok, jumlah para pekerja Tiongkok di luar negeri mencapai 992.000 orang pada akhir tahun 2019. Jumlah sebenarnya seharusnya tiga kali lipat dari jumlah tersebut, setidaknya mencapai 3 juta orang, kata Li Qiang, Direktur China Labour Watch kepada Radio Free Asia.

“Bagaimana rezim Tiongkok dapat mengambil keuntungan bagi negara-negara lain di saat rezim Tiongkok tidak peduli sama sekali dengan rakyatnya sendiri?” Li Qiang mempertanyakan, “narasi itu adalah para  pekerja migran tidak ingin kembali ke Tiongkok, tetapi banyak dari mereka, sejauh yang kami ketahui, semua ingin kembali ke negara asalnya. Banyak dari mereka belum pernah dapat kembali ke Tiongkok selama tiga tahun berada di luar negeri.” (Vv)