Apatisme, Sikap yang Dianggap Sebagai Perlawanan Tanpa Kekerasan Kian Populer di Kalangan Pemuda Daratan Tiongkok

oleh Tang Di

Apatisme menjadi kian populer di daratan Tiongkok. Semakin banyak kaum muda berinisiatif untuk mengurangi biaya hidup dan berusaha untuk tidak bekerja atau bekerja sesedikit mungkin. Hal ini telah menggugah perhatian masyarakat. Beberapa orang menganggap ini sebagai perlawanan tanpa kekerasan. 

Kaum muda yang sadar, tidak ingin lagi terus menjadi alat bagi yang berkuasa untuk menghasilkan uang. Mereka tidak ingin terus menjalani kehidupan dengan membanting tulang tetapi dibayar rendah. Mereka mulai berinisiatif untuk mengurangi keinginan dalam hidup, seperti tidak membeli rumah, tidak membeli mobil, tidak menikah, tidak ingin punya anak, tidak mengejar ketenaran atau rejeki, atau bahkan mengurangi belanja. Mereka bekerja sesedikit mungkin agar mampu bertahan hidup dengan standar minimal. Hari-hari yang luang mereka gunakan untuk melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan.

Apatisme secara bertahap menjadi populer di kalangan anak muda, dan telah mendapat pengakuan dari banyak anak muda. 

Mereka juga membentuk komunitas apatisme melalui Internet yang digunakan untuk saling mendiskusikan soal pemahaman sikap-sikap apatisme. Mereka juga berbagi pengalaman mereka tentang cara hidup nyaman dengan apatisme.

Dari pemantauan tentang diskusi mereka di Internet diketahui bahwa, banyak anak muda daratan Tiongkok sekarang yang semakin putus asa dengan harga rumah yang tinggi, ruang hidup yang sempit, dan distribusi sumber daya sosial yang sangat tidak adil. 

Mereka menemukan bahwa tidak peduli seberapa keras mereka mencoba untuk menghemat uang, membeli rumah dengan pinjaman, membeli mobil, menikah dan punya anak, mereka tidak akan dibuat bahagia. Ternyata diri mereka hanya menjadi “ayam petelur” dari para penguasa dan jika sampai sedikit tidak berhati-hati, maka nasib mereka akan berubah menjadi “ayam potong”.

Penganut apatisme menemukan bahwa, baik upaya-upaya normal dan hasil yang didapat, mereka tidak akan mampu mengimbangi rongrongan konsumtif yang luar biasa besarnya dari masyarakat terhadap mereka. Jika di kemudian hari mereka memiliki anak, kesulitan baru pun harus dihadapi. Yang mereka rasakan adalah bahwa kehidupan yang katanya harus ditempuh dengan penuh perjuangan ini seakan tidak berarti. 

Selain itu, mereka juga menyadari bahwa semakin keras mereka bekerja, semakin keras pula mereka membantu para penguasa dan orang-orang berpengaruh itu untuk berbuat kejahatan. Yang paling sering didengungkan oleh mereka adalah : “Berkat Anda bekerja mati-matian, bos Anda akan memiliki lebih banyak sumber daya untuk menindas Anda” . 

Oleh karena itu, banyak dari kaum muda itu percaya bahwa karena mereka tidak dapat mengubah kenyataan yang kejam dan tidak adil, jadi mereka memilih untuk tidak melakukan apa-apa. 

Agar tidak terlibat dalam realitas sosial yang melelahkan, dan tidak membiarkan hidup mereka yang tidak berharga, dimanfaatkan oleh penguasa secara berulang-ulang, mereka memilih untuk bersikap apatisme.

Ada netizen yang menulis : “Ini adalah bentuk dari relaksasi diri setelah mengalami pengencangan yang ekstrim”. 

Beberapa netizen menyebutkan : “Jika berdiri salah, jongkok pun salah, maka rebah sajalah”. Yang lain mengatakan : “Setelah saya mencoba untuk melakukan yang terbaik, tetapi peluang untuk menang sudah tertutup, untuk apa saya ikut bermain ?”

Pengguna Twitter bernama David menulis dalam cuitannya : “Sikap apatisme adalah protes anak muda daratan Tiongkok terhadap kenyataan, dan itu juga merupakan perlawanan atau protes yang tanpa hiruk pikuk dan mampu mencerminkan ketidakberdayaan”.

Namun, setelah beberapa hari diskusi yang hidup di Internet Tiongkok tentang sikap apatisme ini, media corong Partai Komunis Tiongkok mulai memimpin memberikan kritikan. Misalnya, media Partai Komunis Tiongkok ‘Guangming Ribao’ menerbitkan sebuah artikel pada 20 Mei menyebutkan bahwa beberapa anak muda sekarang “layu sebelum berkembang” mereka telah bersikap sangat pasif. Kaum apatisme ini menghambat perkembangan ekonomi dan sosial, perlu menjadi kewaspadaan masyarakat.

Pada saat yang sama, kelompok ‘5 Sen’ yang dipelihara oleh PKT, segera memposting tulisan di platform sosial online luar negeri, memberitakan bahwa kaum apatisme tersebut adalah anak-anak muda Tiongkok yang berkonspirasi dengan kekuatan asing, sehingga perlu diwaspadai, karena mereka dapat mempengaruhi mayoritas pemuda Tiongkok yang mau bekerja keras dan seterusnya.

Akun Twitter @realEmperorPooh baru-baru ini memposting tulisan sebagai berikut : Sikap apatisme berasal dari “Nicaraguan Freedom Fighters Handbook” yang diterbitkan oleh CIA di Nikaragua pada tahun 1980-an. Isi dari handbook itu adalah untuk mendorong masyarakat pekerja untuk datang terlambat di tempat kerja, malas-malasan, cuti sakit dan mangkir kerja, bahkan membuang alat produksi atau pergi membakar kantor polisi. Selain itu, mengatakan bahwa 99,85% dari kaum apatisme itu adalah kaki tangan CIA.

Seorang jurnalis senior asal daratan Tiongkok, juga seorang kritikus politik dan penulis yang sekarang tinggal di Jerman, Chang Ping baru-baru ini menerbitkan sebuah tulisan di media Suara Jerman tentang sikap apatisme yang menjadi tren di daratan Tiongkok saat ini.

Chang Ping menyebutkan bahwa, apatisme yang dianut anak-anak muda daratan Tiongkok saat ini sebenarnya berbeda pengertian dengan “pikiran negatif” atau “tidak menuntut kemajuan”, sebagaimana yang sering diucapkan oleh para generasi tua. Apatisme kaum muda sekarang memiliki arti pilihan inisiatif dan memiliki arti perlawanan. Oleh karena itu, disebut sebagai “emansipasi pikiran kaum muda Tiongkok”. Yang mana, merupakan perlawanan diam-diam dan tak berdaya terhadap persaingan tingkat rendah dalam masyarakat nyata.

Lebih lanjut Chang Ping menyebutkan bahwa, bahkan sikap apatisme itu hanya dapat dicapai dengan perlindungan lingkungan kelembagaan. Pertama-tama, dari segi hardware perlu ada kesejahteraan sosial tertentu, agar pengikut apatisme tidak mudah mati kelaparan. Kedua, perlu juga ada rule of law yang nyata, sehingga pejabat kota tidak dapat mengusir seenaknya terhadap populasi kelas bawah. Ketiga, membutuhkan budaya sosial yang kurang diskriminatif dan lebih menghargai, serta rasa pemberdayaan diri dan kemandirian. Kondisi-kondisi seperti inilah yang belum dimiliki Tiongkok sekarang.

Kesimpulan dari tulisan Ching Ping adalah bahwa dapat dimaklumi, jika anak-anak muda daratan Tiongkok itu hanya sejenak bersikap apatisme karena mereka sudah merasa “terlalu letih”. 

Namun, jika itu benar-benar menghasilkan efek pemberontakan terhadap masyarakat, atau jika itu membuat pihak berwenang merasakan adanya unsur perlawanan, maka pihak berwenang pasti tidak akan membiarkannya terjadi. (sin)