Debat Cendekiawan Tiongkok dengan Barat, “Bisakah Tiongkok di Bawah Partai Komunis Beralih ke Demokrasi?”

 oleh Li Lan

Tahun depan, Tiongkok akan menyelenggarakan Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok ke-20 untuk menentukan pemimpin tertinggi partai sebagai kepala negara. Dunia luar sedang menaruh perhatian pada bentuk pemerintahan yang akan dituju. Mari kita dengarkan diskusi antara mantan diplomat Inggris yang pernah bertugas di Tiongkok dengan para cendekiawan Tiongkok di Amerika Serikat melalui forum online milik wadah pemikir.

Robert Garside, adalah seorang diplomat veteran Inggris yang pernah 2 kali dikirim ke Tiongkok untuk bertugas pada saat mantan pemimpin Tiongkok, Mao Zedong meninggal dunia. Dia juga melihat langsung era dimulainya reformasi oleh Deng Xiaoping. Ia berpendapat bahwa para reformis di dalam Partai Komunis Tiongkok  menghendaki Tiongkok beralih ke jalan demokrasi.

Teng Biao, seorang cendekiawan asal Tiongkok yang telah lama tinggal di Amerika Serikat memiliki sudut pandang yang berbeda. Ada tiga alasan yang dia lontarkan. 

1. Utang darah Partai Komunis Tiongkok terhadap rakyatnya yang terakumulasi selama lebih dari 70 tahun membuat tak seorang pemimpin Partai Komunis Tiongkok pun yang dapat mengatakan, “Saya tidak terlibat”. Kejatuhan partai berarti pemimpin akan menghadapi perhitungan yang mengerikan. Karena itulah para pejabat senior partai sangat takut.

2.  Pembunuhan dengan kekerasan yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok secara jangka panjang telah menyebabkan banyak rakyat Tiongkok melepas keinginan untuk melawan.

“Pembantaian di Lapangan Tiananmen membuat masyarakat Tiongkok hidup dalam “sindrom pasca-tank,” kata Teng Biao.

Menurut Teng Biao kemarahan dan ketakutan berubah menjadi diam, kemudian berubah lagi menjadi ketidakpedulian. Dari ketidakpedulian berubah menjadi sinisme.  Oleh karena itu, tirani yang paling menakutkan adalah membuat rakyat merasa tidak perlu melawan atau bahkan membuat rakyat baik secara langsung atau tidak ikut mempertahankan rezim tersebut.

3. Partai Komunis Tiongkok menerapkan totaliterisme melalui teknologi berteknologi tinggi seperti kecerdasan buatan dan data besar untuk lebih dekat mengontrol aktivitas masyarakat. Hal tersebut, selain membuat perlawanan domestik lebih sulit, juga membuat propaganda dan pencucian otak Partai Komunis Tiongkok menjadi lebih efektif.

Teng Biao berpendapat bahwa kekuatan kolektif di tangan seorang pemimpin Tiongkok, Xi Jinping bukan hanya keinginan Xi Jinping pribadi, tetapi juga menjadi kebutuhan Partai Komunis Tiongkok.

“Ini bukan karena Xi Jinping berhasil mendobrak sistem lama Partai Komunis Tiongkok, tetapi partai ini juga ingin cepat-cepat mengalihkan nasib digulingkan kepada individu. Kediktatoran individu lebih efektif dalam menangani krisis berskala penuh daripada kediktatoran kolektif,” jelas Teng Biao.

Diplomat veteran Inggris, Robert Garside percaya bahwa rezim totaliter Partai Komunis Tiongkok adalah sumber dari berbagai masalah yang mengakar di Tiongkok.

“Rezim semacam ini tampak kuat di luar tetapi rapuh di dalam. Dikatakan bahwa semua rezim yang kuat tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan serangkaian masalah mendalam yang telah mempersulit Tiongkok selama beberapa dekade.  Mengapa ? Karena masalah ini sebenarnya adalah produk dari sistem totaliter,” kata Robert Garside.

Kedua cendekiawan itu berpendapat sama yakni Amerika Serikat dan sekutunya harus memainkan peran yang lebih aktif dalam proses Tiongkok menuju demokratisasi.

Robert Garside menilai bahwa Amerika Serikat dan sekutunya memiliki keunggulan ekonomi atas komunis Tiongkok, jadi mereka harus menggunakannya. Itu membutuhkan kolaborasi yang luar biasa antara berbagai lembaga, di dalam pemerintahan, antara pemerintah dan pemerintah, dan antara ahli strategi di luarnya. Pemisahan atau decoupling penuh tampaknya tidak realistis juga tidak boleh dilakukan. 

“Namun, kita harus menanggung biaya ekonomi jangka pendek untuk mempertahankan dan mempromosikan kepentingan politik dan ekonomi jangka panjang kita,” ujar Robert Garside.

Sementara Teng Biao menyerukan untuk berhenti memberikan suara yang memilih wakil komunis Tiongkok menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau menjadi tuan rumah Olimpiade. Berhenti mengorbankan hak asasi manusia karena masalah seperti perdagangan, masalah nuklir atau perubahan iklim. 

“Pemerintah komunis Tiongkok telah menjadi ancaman langsung dan mendesak bagi hak asasi manusia dan demokrasi di seluruh dunia. Menggulingkan kekuasaan Partai Komunis Tiongkok merupakan tugas rakyat Tiongkok, dan ini juga merupakan kepentingan dan tanggung jawab Barat,” pungkas Teng Biao.(sin)